[50]

116 13 0
                                    

        

Berkali-kali kamu menjewer telinga sendiri. Kamu sangsi benar itu adalah namamu.

"Itu namamu, eh," teriak Galea. Sudah biasa memang kalau ia yang berteriak. Tapi ini, orang-orang di balik pintu itu yang meneriakkan namamu? Kamu menyorongkan telinga. Tak berani terlalu dekat, yang penting variasi vokal terdengar; cukup. Benar. Namamu disebut, diteriakkan, digumamkan, diulang-ulang. Tak jauh usai pengingkaran mengancam dari Archer terhadap keputusanmu yang (sepertinya) keliru itu. Sungguh ini suatu horor yang tak kausangka akan datang begitu cepat.

"Deev segitunya.... Ya, ya, segitunya. Sudah kubilang, kan?"

Archer mengangguk. Matanya nyaris menutup. Namun, seperti Archer yang kamu kenal, fungsi tubuhnya yang terakhir lenyap sebelum ia ambruk pingsan karena mabuk, adalah otaknya. Biasanya ia masih sanggup berkata-kata lurus meskipun tampangnya sudah seperti pesakitan alkohol.

"Belum tentu ini suruhan Sanomat!" bela Galea.

"Kalau bukan suruhan perdana menteri langsung, tidak mungkin mereka sekasar itu."

Debat Galea dan Kirkin, melawan mabuknya Archer, sepertinya takkan berhenti dalam waktu singkat. Mereka memang para pendebat kusir. Kamu mengambil keputusan sendiri. Mungkin bodoh, kalau dipikir-pikir. Namun bagimu tidak ada lagi kemungkinan lain.

Kemungkinan untuk tiba-tiba mati dan berpindah ke dimensi lain, misalnya. Atau kemungkinan untuk melarikan diri keluar dari kabin sialan di fasilitas sempit ini. Di ruangan tempatmu berada saja tidak ada jendela. Benar-benar menyesakkan, sekaligus tempat yang cocok untuk menyudutkan orang.

Kamu terpojok oleh nasib dan faktor kebetulan.

Tanganmu meraih selot kunci. Galea berteriak sekali lagi, tetapi terlambat.

Keputusanmu sudah bulat.

Begitu daun pintu mengayun terbuka, sebilah borgol menggelingsir liar. Mencari-cari di udara kosong selama satu setengah detik, lalu mendarat dan mengatup tepat di pergelangan kananmu.

"A-a-a-anda...." sahutmu terbata. Sosok itu belum memperlihatkan muka. Baru bulu ayamnya yang berjuntai-juntai di tutup kepala. Kamu menebak-nebak. Bisa saja Archer keliru.

"Utusan Sanomat. Anda kami tangkap karena memerintahkan komitariat Anda untuk menolak kerja sama dengan komitariat sebelah."

Setelah itu, hening. Hanya ada beberapa pasang derap langkah yang merangsek masuk, masing-masing menangkap sepasang pergelangan tangan, memborgolnya, dan meringkus pundak tengkuk dan kepala setiap orang. Archer, yang masih mabuk, meronta-ronta. Ia mengaku punya informasi bagus. Bagus apanya? Pasukan ini siap mengirim kalian ke pengadilan, lalu menjebloskan kalian ke neraka pilihan masing-masing.

Kamu mencoba menawar. Daripada mati konyol begitu saja?

"Kamerad," sahutmu parau, "aku tidak menolak bekerja sama."

"Tapi kamu tahu itu telepon dari Deev. Kamu bukannya tidak tahu situasi," balas salah seorang prajurit yang tidak memegangmu, "Ini situasi perang, tahu? Kalian harusnya saling dukung. Bukannya memisah-misahkan diri begini. Sampai kapan kalian mau jadi primitif?"

"Aku tidak tahu itu semacam ajakan...."

"Bohong. Sekarang semua telepon di Augariana sudah punya sensor nama penelepon. NAMA PENELEPON! Bukan nomor. Ingat. Kita sudah mengintegrasikan sistem telepon dengan nama orang, bukan dengan nomor, eh? Kamu tahu itu Deev. Kamu bisa menduga demi apa dia menelepon kamu, eh?"

"Dalam situasi perang, apa saja mungkin terjadi. Musuh yang mengajak berbaikan karena takut mati, atau sahabat yang jadi bermusuhan karena memihak kubu yang berbeda," sahut prajurit yang berdiri tepat di belakangmu. Genggamnya mengetat, terasa kuku-kuku yang menghunjam kuat ke kulitmu. Kamu meringis.

Conundrum AproposTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang