[48]

645 87 5
                                    

Pagi itu tanggal delapan.

Kamu bangun pagi-pagi benar, menggosok gigi dengan benar, berpakaian dengan benar, dan mengunci segala yang biasanya terbuka dan menganga, juga dengan benar. Kamu beruntung; air masih mengalir dengan benar dari keran yang benar--dingin di dingin, panas di panas--kamu masih memijaki lantai yang benar, dan kamu masih ingat cara bernapas yang benar. Lalu kamu letakkan tanganmu di bahunya dengan benar, membelainya ke arah yang benar, dan mengeja namanya dengan benar, tepat di depan telinga yang benar. Leth terbangun dengan benar, tanpa pengar. Kamu duluanlah yang ingar sebentar, ketika Leth mencelupkan stripnya, dan mendapati dua garis datar. Bukan sekarang waktunya bersuka ria. Kamu memeluknya erat saja, cukuplah. Yang terpenting, semua berjalan dengan baik. Benar.

Melakukan segalanya dengan benar dan sesuai prosedur adalah penting di hari-hari perang. Setidaknya, itulah pedoman nomor satu bagi orang-orang sipil. Kamu tak mau sesumbar, tetap tinggal di bawah mimbar hingga semua jalan berbubar. Di komitariat sebelah mana pun kamu berada dulu, tak lagi menjadi soal. Kalian telah memutuskan berbaur, menyatu dalam melawan peperangan.

Sekilas, dari lantai enam belas, tak tampak ada yang beda antara suasana perang dan tidak. Jalanan begitu kecil. Manusia di bawah sana, yang berseliweran di trotoar dan sesekali menuntun anjing, tampak menyerupai semut. Udara bulan itu masih dingin, seperti tahun-tahun sebelumnya. Aroma segar beterbangan bebas, kadang sejumput wangi berbeda menyelinap, lalu hilang bersama jatuhnya dedaunan ke tanah. Sekilas, semua tampak sama seperti bertahun-tahun yang lalu.

Kalau diperhatikan benar, memang berbeda. Tentara penyandang bedil sibuk mondar-mandir. Beberapa truk terpacak di sejumlah titik, antara menunggu mangsa atau menunggu patroli. Beberapa pintu terbuka mungkin menghadirkan pemandangan anak yang lengannya habis disayat paksa, atau kakek-nenek yang punggung dan tengkuknya disilet memilukan. Semua demi pengaparan Veritasensor. Kamu, yang tengah mengancingkan kemejamu yang paling layak, menoleh ke bawah; sekali lagi menemukan penampakan ini. Kali itu, yang jadi korban adalah seorang anak yang duduk di kursi roda. Kamu memalingkan muka, memasangkan dasimu.

"Kamu sudah siap?"

Kamu mengangguk. Kaugandeng tangannya yang bersarung, seusai membebatkan selendang di bahunya.

Tiga puluh enam jam yang lalu, Deev sukses mengajak Sanomat angkat bicara, empat belas mata dengan kalian. Ia mengatur sedemikian rupa, agar jalan dari rumah susun menuju alun-alun tidak diblokade oleh para tentara. Kamu menuruni elevator bersama ranselmu dan Leth, berdua saja, hanya untuk tiba di lobi yang sekarang sepi seperti kuburan. Tidak lagi ada petugas dan sekuriti berjaga. Mereka semua dikerahkan ke jalanan. Kap lampu di puncak tiang yang berdiri persis di depan rumah susunmu pecah berantakan. Tapak trotoar penuh serpihan hitam bercampur hijau dan cokelat: itu pasti tanah, bekas bata yang lantak, dedaunan, dan sisa-sisa dedaunan. Tukang sapu pun tak berani berkeliaran; karena mereka tahu pangkal tangkai sapu mereka tak bisa mengeluarkan peluru, juga tak bisa dipakai untuk memopor orang. Jalanan kotor, terserak. Jarak ke alun-alun sekitar lima ratus meter. Kamu berjalan lima langkah di belakang Leth.

Pintu alun-alun memang dijaga oleh enam tentara sekaligus. Beberapa anjing besar sibuk menyalak, mengira kamu dan Leth sepasang turis yang banyak lagak. Sidik jarimu diperiksa hati-hati dengan pemindai khusus. Lalu matamu. Mereka berkomentar soal jejalin iris matamu yang pecah di arah jam tujuh, menampakkan bercak kehijauan di antara cokelat kopi. Lalu menera temperatur lidah, dan memindai palmistri. Usai diadang selama nyaris tiga menit, kamu dibiarkan masuk. Leth segera menyusulmu.

Lapangan itu kosong. Dulu, di sana selalu ada minimal enam cikar dan dua belas gerobak tukang jualan. Sekarang, setarik napas pun tak terdengar di udara. Dari kejauhan, matamu menangkap sesosok yang bergerak. Berambut perak. Dengan seorang pria yang tak pernah absen dari sisinya.

Conundrum AproposTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang