C h a p t e r 2 5

1.9K 72 0
                                    

"Maaf, Zaidan, tetapi, sepertinya penyakit kamu tidak bisa disembuhkan," ujar Dr. Joshua.

Dada Zaidan terasa seperti dihujam oleh pisau. Semua harapannya untuk dapat sembuh telah sirna.

"Teknologinya tidak efektif, bahkan dapat disebut gagal. Obatmu juga sebenarnya tidak membuat kamu menjadi cepat sembuh. Obatmu hanya untuk mengurangi gejala saja. Saya turut menyesal. Saya minta maaf," jelas Dr. Joshua.

Shania menatap ke arah Zaidan. Mata Zaidan mulai berkaca-kaca.

"Tidak apa-apa, Dok," ujar Zaidan dengan suara serak.

"Sekarang, yang bisa menyembuhkan kamu itu hanya kebahagiaan diri kamu dan mukjizat Tuhan. Jangan stres, ya, Zaidan. Shania, saya minta tolong, ya. Jaga dia," mohon Dr. Joshua.

Shania mengangguk. "Terima kasih, Dok."

•••

"Zai,"

"Sha, aku boleh nangis, ga?" tanya Zaidan.

"Sini." Shania memeluknya. Zaidan balas memeluknya, lalu menangis di pundaknya.

"Jangan ditahan, nangis aja, ga apa-apa kok,"

Baru pertama kali, ada seorang laki-laki yang menangis di depan Shania. Mendengar isakan Zaidan, rasanya, Shania ingin ikut menangis. Isakannya sangat memilukan. Zaidan benar-benar sedih.

"Kamu jangan salahkan Tuhan, ya, Zai. Ini udah takdir. Kalau Tuhan menghendaki, Zai pasti bisa sembuh, kok," ujar Shania.

"You just like a porcelain. Beautiful, but easy to break." lanjut Shania sambil mengelus punggung Zaidan.

Zaidan masih terisak. Shania menenangkannya.

"Isha, a-aku udah ga b-bisa semb-buh," ujar Zaidan pasrah di tengah tangisnya.

"Bisa, Zai. Zai banyak-banyak doa sama Tuhan. Zai harus minum obat kalau kambuh. Zai ga boleh merasa tertekan," ujar Shania memberi semangat.

Zaidan mengeratkan pelukannya ke Shania. "Iya, Sha. Doain aku biar aku bisa sembuh."

•••

Zaidan pulang dengan mata sembab dan wajah ditekuk. Shania mampir ke rumah Zaidan. Nayla dan Erick menyambut mereka, namun mereka heran melihat wajah abangnya.

"Abang kenapa?" tanya Erick.

"Kok matanya sembab?" lanjut Nayla.

Zaidan menyikut Shania, menyuruh Shania menjawab pertanyaan adiknya.

"Ngg.... Kemungkinan, penyakit Zai ga bisa disembuhkan." jawab Shania sambil menggigit bibir bawahnya.

"Hah? Serius?" tanya Nayla dan Erick bersamaan. Zaidan mengangguk pelan.

Erick langsung memeluk Zaidan, diikuti oleh Nayla.

"Abang, teh, harus strong. Abang pasti bisa sembuh, kok," ujar Erick dengan logat Sundanya yang khas.

"Ada kita, Bang. Kita pasti selalu support Abang. Ya, kan, Rick? Kak Sha?" ujar Nayla. Erick dan Shania mengangguk.

"Makasih, ya. Gua sayang kalian." ujar Zaidan sambil menarik tangan Shania agar ia mendekat, lalu memeluk mereka bertiga.

"Gua berasa kayak teletubbies, anying,"

•••

Shania menatap langit sore di rooftop rumah Zaidan. Zaidan menggenggam tangannya.

"Sha, terima kasih atas segalanya,"

"Terima kasih juga, Zai,"

"Sha, maaf, aku ga bisa pacaran sama kamu. Aku trauma, banget. Maaf," ujar Zaidan.

"Santai aja. Aku juga trauma pacaran. Sekalinya aku pacaran sama orang selain kamu, dianya mau bunuh kita." Shania tertawa pelan.

"Karena aku ga bisa milikin kamu sekarang, aku mau membuat janji. Tapi, sebelumnya, kalau aku ingkar, apa hukumannya?" tanya Zaidan.

"Aku ga akan pernah mau lagi kenal kamu," jawab Shania asal.

"Aku janji, aku akan terus berusaha buat kebahagiaan kamu," ujar Zaidan yang diikuti oleh anggukan Shania.

"Mungkin, sekarang, kamu bukan milik aku. But, I promise that you'll be mine soon," ujar Zaidan dengan senyumnya yang sangat manis.

Shania mengangguk lagi. "Tepati janji-janji kamu itu, ya. Akan selalu aku ingat."

"Janji ga akan tinggalkan Zai?" tanya Zaidan.

Shania mengangguk lagi. "Janji."

•••

Gimana?😂
I hope you enjoy the story,guys.
Share ke temen² kalian juga yak!
Jangan lupa vote & follow!

Auf Wiedersehen.

After ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang