C h a p t e r 1 4

1.8K 94 0
                                    

Shania berjalan sendirian ke kelasnya. Sudah beberapa hari ini, Rizki tidak mengantar-jemput dirinya. Tapi, Shania tidak masalah dengan hal itu. Kan, dia pacarnya, bukan ojek langganannya.

"Tumben jomblo." Zaidan menepuk pundak Shania, mengagetkannya.

"Zai, munculnya bisa, ga, pakai tanda-tanda dulu? Ngagetin, sumpah," ujar Shania kesal.

"Yaudah, sih, maaf. Rizki mana? Biasanya, kan, berangkat sekolah & pulang sekolah sama lu." tanya Zaidan sambil meletakkan tasnya.

"Ga tahu, udah lama engga antar-jemput gua," jawab Shania.

"Oh, mungkin dia sibuk antar-jemput yang lain," canda Zaidan.

Shania meninju pelan bahu Zaidan. Zaidan meringis. Setelah itu, Shania berpikir.

Ada benarnya apa yang Zaidan omong. Rizki agak berubah, batinnya.

•••

Keesokan harinya, Shania berjalan menuju kelas XII IPS 3. Ia menemui Echa, sahabat Rizki.

"Halo, Shania! Mau ketemu Rizki? Rizkinya ga ada," ujar Echa dalam satu tarikan napas.

"Halo juga, Kak Echa. Engga. Aku mau ketemu kakak," jawab Shania.

"Kenapa?"

"Kak, Rizki agak berubah gitu, ga, sih, sekarang?" tanya Shania.

"NAH! Iya, bener. Dia jadi lebih sibuk sama handphone-nya, terus kalau ada kerja kelompok, pasti dia ga datang, katanya ada urusan," jelas Echa panjang lebar.

"Rizki kenapa, sih? Kakak tahu, ga, kenapa?"

"Engga tahu. Dia ga cerita apa-apa. Dia jadi misterius gitu sekarang." jawab Echa sambil mengangkat bahu.

"Oh, oke. Makasih, Kak!"

•••

Zaidan sedang bermain game di handphone-nya ketika Shania menggoyangkan bahunya.

"Tunggu dulu, Sha. Bentar lagi," tunda Zaidan, masih fokus pada handphone-nya.

Shania cemberut. Beberapa saat kemudian, Zaidan meletakkan handphone-nya dan menatap Shania.

"Kenapa, Sha? Isha mau apa?" tanya Zaidan lembut.

"Nanti gua mau buntutin Rizki. Temenin gua, ya, Zai. Please," rengek Shania.

"Ya, ampun, Sha, omongan gua tadi cuma bercanda, ga betulan," Zaidan merasa bersalah.

"Ih, tapi gua mau buntutin. Ya, temenin, ya? Please, Jidan ganteng deh," rengek Shania lagi.

"Iya iya, pas banget hari ini gua bawa motor. Dan kayaknya, gua tahu, mana tempat yang harus lu kunjungi," ujar Zaidan.

•••

Motor Zaidan berhenti di sebuah sekolah. Shania menatap sekolah itu.

"Zai, ini, kan, sekolah Ara,"

Zaidan berdehem. Beberapa saat kemudian, Zaidan menunjuk ke seorang laki-laki. Rizki.

"Sst, diam dulu aja, Sha, jangan langsung labrak," bisik Zaidan.

Seorang perempuan mendekatinya. Shania memicingkan matanya. Itu Ara. Shania ingin menghampirinya, tetapi ia mengingat kata Zaidan tadi. Ara dan Rizki mengobrol seperti layaknya orang berpacaran.

"Itu pacar lu, Ra?" teriak salah satu teman Ara yang terdengar sampai ke telinga Zaidan dan Shania.

Ara dan Rizki membalas pertanyaan itu dengan senyum. Bahkan, Rizki mengangguk pelan. Ara naik ke motor Rizki dan pulang bersamanya.

Dada Shania seperti dihujam oleh ratusan pedang. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Sha, jangan nangis dulu, oke? Gua antar lu pulang dulu." ujar Zaidan sambil merangkul & menenangkannya.

•••

Sesampainya di rumah Shania, Shania menangis sambil memeluk Zaidan. Zaidan hanya bisa menenangkannya. Setelah puas menangis, Shania melepaskan pelukan Zaidan.

"Zai, lu tahu dari mana tentang Rizki sama Ara?" tanya Shania, masih sesegukkan.

"Ingat, ga, waktu gua ceritain ke lu kenapa gua putus sama Ara?" Shania mengangguk pelan.

"Ini rekaman teleponnya, Ara menyebut 'Ki', kan, di sana?" Zaidan menyerahkan handphone-nya. Shania mendengarkannya, lalu mengangguk.

"Setiap kali lu ngomongin Ara, dia pergi?" tanya Zaidan lagi. Shania mengangguk lagi.

"Ya, begitulah,"

Sesaat, keheningan menyelimuti mereka berdua.

"Zai, gu-gua ... kesal. Dia udah ambil lu dari gua tahun lalu. Masih engga cukup, apa?" ujar Shania sedih bercampur frustasi.

"Sekarang, gua di sini, Sha. Gua di sini. Marahnya sama gua aja, ya, jangan sama mereka." ujar Zaidan lembut sambil menatap mata Shania. Shania memeluknya sekali lagi.

Gua sayang sama lu, Sha. Gua harap lu masih sayang sama gua, batin Zaidan.

"Eh, nanti dulu." Shania melepaskan pelukannya.

"Kalau yang Ara telepon itu Rizki, berarti, partner-nya Ara itu Rizki, dong?"

Zaidan tersenyum sinis.

•••

Zaidan pulang ke rumah. Nayla dan Erick sudah menunggunya.

"Bang, kenapa lama banget, sih? Gak tahu orang lapar?" protes Erick.

Zaidan tertawa. "Kayak gua pernah mikirin lu aja."

"Oh, iya, Bang. Gimana caranya kita ngasih tahu Kak Sha tentang Rizki?" tanya Nayla.

"Dia udah tahu, kok." ujar Zaidan sambil menutup pintu kamarnya.

Nayla dan Erick saling melempar pandangan.

"Kak, firasat gua ga enak, dah,"

•••

Malamnya, Shania sedang di mobil bersama Pak Andi, supirnya. Ia sedang menelepon Zaidan ketika sesuatu menghantam mobilnya. Semua terjadi sangat cepat. Kakinya terasa sangat sakit digerakkan. Tiba-tiba, pandangannya menjadi hitam. Gelap.

"Isha?"

"Ada sesuatu yang salah?"

"Sha?"

•••

Gimana?😂
I hope you enjoy the story, guys.
Share ke temen² kalian juga yak!
Jangan lupa vote & follow!

Auf Wiedersehen.

After ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang