Lionel Maxwell Daynes

771 81 1
                                    

"KITA sudah di bawah, Ice, kita sudah di bawah," Lionel berkata, nyaris putus asa. "Ice?" Gadis di gendongannya itu terasa sangat ringan. Lionel tidak bisa melihat mata hitam kemerahannya itu, dan itu membuatnya kehilangan harapan. "Ice?" panggilnya lagi, pelan. Ditaruhnya gadis itu di tanah perlahan-lahan.

Mata hitam kemerahan itu perlahan membuka, menatapnya. Lionel mengerjapkan matanya, senyumnya merekah. "Ice!" Matanya terasa berair, pasti karena terlalu dingin. Pasti.

"Hai, Lionel," Suara Ice nyaris tidak dapat didengarnya.

"Kau hidup, kau hidup," Lionel berbisik, memeluk Ice erat.

"Aku tidak yakin," bisik Ice pelan. Gadis itu terdiam sejenak, berusaha mendapatkan napasnya. "Lionel... Katakan pada ibuku, pada adikku, aku sangat menyayangi mereka."

Lionel melebarkan matanya. "Jangan bicara seperti itu!" Pemuda itu membalas dengan nada keras.

Ice tersenyum lemah. "Aku tahu keadaanku sendiri, Lionel. Mungkin aku berhak menerima ini," bisiknya lirih. "Pastikan... Es Abadi itu tiba di tangan Yang Mulia."

"Pasti, pasti, dan kau akan memberikannya bersama denganku," Lionel menjawab, berusaha menjaga suaranya agar tidak bergetar.

Ice menggeleng kecil, dan Lionel merasakan hatinya merosot ke rongga perut. "Hati-hati dengan Lirsk, Lionel... Forewood harus menang."

"Ya, ya, dan kau akan membantu kami memenangkannya," jawab Lionel, berusaha tersenyum pada Ice. Kenyataannya, air mata tertahan menyengat pelupuk matanya, tapi Lionel tidak bisa membiarkan air mata itu terjatuh.

Ice menghela napas kecil, bergetar, dan memejamkan matanya. "Aku hanya mau menjadi diriku sendiri..."

"Kau akan menjadi dirimu sendiri, Ice," Hendak diangkatnya lagi tubuh Ice, tapi gestur gadis itu menghentikannya.

Ice mengangkat tangannya, lemah, karena setelahnya tangan itu terjatuh lagi ke atas salju yang dingin. "Lionel..." Matanya kembali terbuka, menemukan mata Lionel.

Udara dingin membuatnya mengigil, dan ketakutan melintasi wajah Lionel. "Tidak, tidak, jangan berani-beraninya kau meninggalkanku!"

Ice terkekeh lemah. "Aku tidak akan berani, sungguh, tapi..."

"Kau akan hidup, kau akan hidup," Lionel menggumamkan hal itu berkali-kali. "Percaya padaku, kau akan hidup, Ice," katanya, melemah di akhir kalimat. Pemuda itu merasakan tubuh Ice juga mendingin, seolah-olah jiwanya sudah nyaris tak berada di sana untuk menghangatkan tubuh itu.

Ice masih berusaha tersenyum. "Ah, ya, katakan juga pada Lionel... aku menyayanginya."

Lalu mata hitam kemerahan itu perlahan menutup, dan Lionel merasakan setitik air mata mengalir ke pipinya.

LIONEL mengamati Sang Ratu yang berada tak jauh dari tempatnya, sehat seperti sebelumnya. Sebelum seluruh tragedi ini terjadi.

Sang Ratu mendapatkan kesadarannya setelah Beth menambahkan es abadi ke dalam ramuan penyembuhnya. Beth sempat memarahi kelakuannya yang langsung kabur begitu saja, tapi saat melihat Lionel hanya menatapnya kosong, Beth berhenti berbicara dan menepuk pundaknya.

Ice... Ice benar-benar pergi.

Sang Ratu tidak senang mengetahui orang-orang kepercayaannya merahasiakan kondisi perang darinya, terutama adik angkatnya sendiri juga ikut serta. Mengetahui bahwa diri sendiri pulih atas harga nyawa lain juga jelas bukan hal yang membuat orang berjingkrak gembira. Sang Ratu langsung menjemput keluarga Ice ke istana.

Sekarang, Sang Ratu sedang berbicara dengan mereka.

Lionel melihat ibu Ice, juga adiknya yang sering gadis itu ceritakan. Mengetahui kabar Ice yang hanya tinggal tubuh tak bernyawa jelas mematahkan hati mereka. Ibu Ice terlihat hampir pingsan di tempat, tapi wanita kuat itu berdiri tegak untuk berbicara dengan Sang Ratu.

Lionel membuka-buka berkas keprajuritan Ice kemarin, dan menemukan bahwa Ice meninggal sehari sebelum ulang tahunnya. Kenyataan itu membuatnya semakin jatuh ke dalam lubang hitam. Ini semua salahnya. Jika dia melarang Ice ikut waktu itu... Jika saja...

Lionel tidak bisa membayangkan apa yang ibu Ice rasakan. Mengetahui anakmu tewas sehari sebelum ulang tahunnya jelas adalah hal yang menghancurkan hati.

Ice bahkan belum enam belas tahun.

"Aku sungguh minta maaf," Sang Ratu berkata, menarik napas dalam-dalam. "Ini semua memang salahku dan aku bersedia menanggungnya. Aku tidak masalah jika Anda ingin membenciku, Nyonya."

Ibu Ice tersenyum lemah. "Saya tidak akan menyalahkan Anda, Yang Mulia. Ice... Saya tahu Ice anak yang baik. Bisa berguna untuk kerajaan ini adalah hal terbaik yang bisa diharapkannya." Ibu Ice menunduk. "Nama... Namanya bukan Ice Lakh, Yang Mulia. Namanya Ice Lirsk, anak dari Jericho Lirsk. Ayahnya... Ayah anak itu menyuruhnya untuk menyusupi istana, karena mengancam nyawa kami," Ibu Ice menghela napas, menarik anak laki-lakinya mendekat.

Di sebelah ibunya, Kale mendongak, anak itu tampak kebingungan. Lionel kembali menyalahkan dirinya untuk itu. Adik kesayangan Ice, kehilangan kakaknya karena dirinya.

Di luar dugaan, Sang Ratu tersenyum. "Kesetiaan seseorang tidak terletak pada kelahirannya, Nyonya, tapi pada hatinya. Hati Ice begitu tulus. Dia bukan seorang penyusup, bukan seorang pengkhianat. Dia seorang pahlawan." Lionel melihat Sang Ratu mengusap ujung matanya. Di depannya, ibu Ice terlihat hampir menangis. Lionel merasakan hatinya bergetar dalam kesedihan.

"Nyonya... Nyonya, aku minta maaf." Lionel menghampiri ibu Ice, tepat sebelum wanita itu mendatangi Sang Ratu untuk memenuhi undangan yang dilayangkan kepadanya.

Wanita itu menatap Lionel sejenak, kebingungan. "Ada apa?" Tapi sebelum Lionel bisa membuka mulutnya, wajah ibu Ice berubah sedih. Wanita itu berusaha keras untuk tersenyum. "Tidak apa-apa. Tidak apa-apa."

Cara wanita itu meyakinkan dirinya sendiri membuat hati Lionel nyeri. "Aku... Ice bilang dia menyayangi kalian." Kata-kata itu keluar dari mulut Lionel, matanya sesaat beralih ke arah adik Ice yang berada di gandengan ibunya.

Kale, anak laki-laki itu, menatap Lionel tak mengerti. "Dimana kakakku?"

Jantung Lionel seolah diremas. "Maaf... Maafkan aku, Kale. Maafkan aku, Nyonya. Aku tidak bisa menjaganya."

Ibu Ice mempertahankan senyumnya, menepuk bahu Lionel sambil menggandeng Kale berjalan pergi. "Terima kasih banyak," ucap wanita itu perlahan.

Ibu Ice tidak menyalahkannya, justru menepuk bahunya dan mengucapkan terima kasih.

Lionel tidak mengerti. Dia berhak disalahkan. Ini semua adalah salahnya. Tapi mengingat kembali, kata-kata Ice waktu itu berputar dalam pikirannya.

"Aku hanya mau menjadi diriku sendiri..."

Dan Ice adalah dirinya sendiri. Seorang teman yang dapat dipercaya, seorang keluarga yang penyayang, seorang ksatria yang rela berkorban. []

Forewood Kingdom: Ice's Blood [5]Where stories live. Discover now