Three Is A Disaster

812 89 0
                                    

"LARI!" Ice berteriak, menarik Lionel yang masih berusaha untuk menyerang monster es kedua.

Rupanya, monster es yang sedang marah besar dan berduka itu lebih liar dan menyeramkan lagi. Apalagi ternyata tubuhnya dua kali lipat lebih besar dari monster es pertama. Mengalahkannya akan menjadi tugas yang tidak mungkin, terutama untuk mereka yang tenaganya sudah terkuras dari mendaki hingga mengalahkan monster es pertama.

Dentuman keras akibat kaki si monster yang menubruk tanah menyebabkan keduanya nyaris kehilangan keseimbangan. Medan di depan mereka curam, yang berarti mereka harus memanjat dinding batu lebih cepat dibandingkan si monster es. Ice tidak tahu seberapa cepat seekor monster besar dapat memanjat, tapi dia tidak ingin menunggu untuk mencari tahu.

Pada dentuman kedua, Ice nyaris terjatuh jika saja Lionel tidak menangkap tangannya. Sayangnya, tas kulitnya terlepas dan menghantam kepala si monster es. Untuk si monster yang begitu besar, tas kecil itu tentu saja tidak berpengaruh, tapi bagi Ice, seluruh perbekalannya untuk beberapa hari ke depan ada di sana.

Ice meringis. Mereka tidak punya waktu untuk menyesali kehilangan ransum, jadi Ice terus memanjat sebelum si monster dapat menyusul mereka.

Di bawah mereka, si monster berusaha memanjat dengan susah payah. Dinding batu curam yang mereka panjat runtuh sedikit, untungnya baik Lionel mau pun Ice sudah berhasil mencapai ujung. Jalan di depan mereka masih agak curam, tapi bisa ditempuh dengan berjalan dan hanya sedikit memanjat.

Tak ingin berlama-lama, Ice langsung menarik Lionel menjauh dari tepi tebing itu. Tepat setelahnya, tempat mereka baru saja berdiri runtuh akibat si monster es. Ice dapat mendengar gerungan keras, lalu suara langkah kaki besar yang menjauh.

Keduanya menghela napas bersamaan dan terus berjalan.

Sore sudah menjelang, dan mereka memutuskan untuk terus berjalan sampai matahari benar-benar terbenam. Ice menghela napas. Gunung Beku rasanya sangat tinggi. Sudah hampir dua hari mereka mendaki, tapi belum juga mereka tiba.

"Sebentar lagi kita mencapai puncak, seharusnya," Lionel berkata. "Mungkin tidak sore ini juga. Jika besok kita berangkat pagi-pagi sekali, kita mungkin tiba pada siang hari."

Ice mengangguk-angguk. Terdengar cukup bagus untuknya. Benar-benar suatu keajaiban mereka masih belum tewas saat ini. Tidak ingin jadi pesimis, tetapi dengan begitu banyaknya kisah mengerikan yang dia dengar tentang Gunung Beku, kelihatannya tiba di sini saja sudah luar biasa.

Ice mengerang saat teringat persediaan makanannya yang terjatuh di tebing tadi. Beruntung dia menyandang busurnya langsung di punggung dan pedangnya masih aman di pinggang. Ice tidak yakin, tapi, akan apa yang bisa mereka hadapi dengan pedang itu.

"Kita bisa berbagi makanan," Lionel tersenyum ke arahnya.

Ice menghela napas. "Terima kasih banyak. Kurasa tidak perlu—Aku tidak lapar."

"Jangan bohong."

Ice mengangkat bahunya. Nasib mereka sudah cukup baik dengan tidak mati di tempat. Kehilangan setengah perbekalan tidak begitu buruk. Ice juga merasa cukup beradaptasi dengan udara di sekitarnya, meski kadang dingin masih menggigit kulitnya yang terbuka.

Mereka bisa saja berburu, tapi—mungkin inilah yang semua orang maksudkan bahwa Gunung Beku adalah daerah terlarang. Sejak mereka menginjakkan kaki di sini, tidak ada satu pun hewan yang mereka temukan. Hanya ada bebatuan. Tanaman pun... Ice tidak yakin dia pernah melihat warna hijau pada lingkungan di sekitarnya.

Gadis itu bergidik.

Lionel sepertinya memiliki pikiran yang sama, karena dia menghela napas. "Ayo pikirkan hal-hal yang lebih menyenangkan, ya?"

Forewood Kingdom: Ice's Blood [5]Where stories live. Discover now