A Friend

1.1K 92 0
                                    

ICE berjalan keluar dari barak. Giliran tugasnya sudah berakhir beberapa jam yang lalu, dan setelah gagal mengistirahatkan diri dari perjalanan panjang dan seleksi fisik yang baru dijalaninya, Ice memutuskan untuk menyusuri ibukota.

Kuda yang mengantarkannya ke sini sudah menghilang dari tempat Ice meninggalkannya. Ice rasa si kuda telah diambil kembali oleh mata-mata Lirsk di kota ini. Entahlah, Ice tidak peduli.

Sore itu ibukota Forewood, Naveland, dipenuhi berbagai aktivitas. Ice berjalan mengikuti arus orang-orang. Ada yang sibuk bertransaksi satu sama lain, ada yang berjalan terburu-buru sambil sesekali menoleh ke belakang, ada yang berdesak-desakan berusaha menyaksikan atraksi jalanan. Ice menunduk menatap pakaiannya. Beruntung dia berpikir untuk mengganti pakaian dari seragam pengawal barunya, karena jika tidak, dia akan terlihat sangat mencolok di tengah-tengah rakyat Naveland.

Sebuah kedai di pinggir jalan menarik perhatiannya. Kedai terbuka itu terlihat ramai, dipenuhi musik, obrolan, dan tawa rakyat Naveland. Mengingat dirinya memang belum menyentuh makanan sejak sampai ke ibukota ini, Ice memutuskan untuk masuk ke sana.

Ice memilih langsung duduk di ujung sebuah meja dengan kursi tunggal. Seorang pelayan yang tampak lebih muda darinya langsung mendekat dengan senyum dan menanyakan apa yang diinginkannya. Ice memesan sup hangat yang kelihatannya cocok untuk sore musim dingin ini.

Samar-samar Ice bisa mendengar obrolan rendah tentang perang. Meski terlihat menikmati diri, Ice merasakan kegelisahan yang menyelinap di antara seluruh rakyat. Perang selalu membuat cemas, dan ini perang kelima dalam sejarah Kerajaan Forewood. Dalam selang waktu yang begitu singkat, musuh kembali menyerang...

Musuh itu dipimpin oleh ayahnya sendiri.

Dan dirinya berada di sini pula hanya untuk berkhianat.

Ice menghela napas. Seharusnya dia tahu akan jadi begini. Bagaimana pun, dia adalah putri seorang pengkhianat kerajaan.

Ice menggelengkan kepala, berusaha menghilangkan pikiran itu dari kepalanya saat pelayan yang sama kembali menghampirinya dan menaruh pesanan di hadapannya. Ice mengucapkan terima kasih, yang dibalas oleh senyum si pelayan remaja.

Ice baru saja ingin menyendok sup hangatnya kala seorang pemuda berambut pirang seumurannya duduk pada meja di seberangnya. Pemuda itu memiliki aura khas di sekitarnya yang membuat Ice harus menunda memakan supnya. Aura aneh yang entah mengapa terasa... Hangat?

Apa-apaan? Ice menggeleng-gelengkan kepalanya, kembali terfokuskan pada makanan di hadapannya.

Meski begitu, Ice tahu bahwa pemuda di meja seberangnya memesan makanan yang sama dengannya. Ice juga tahu saat pemuda itu mengalihkan tatapan ke arahnya, membuat Ice merasa gugup dan hampir menjatuhkan sendoknya. Dia tidak pernah suka dilihati saat sedang bersantap.

"Hei." Pemuda itu tiba-tiba menyapanya.

Ice terkejut dan hampir menumpahkan isi mangkuk supnya. Untungnya tidak. Ice menoleh dan menemukan mata cokelat muda hampir kekuningan menatapnya lekat. "Hai...?" jawabnya tak yakin.

Pemuda itu terkekeh. "Pendatang baru?"

Ice menaruh sendoknya perlahan-lahan, memutuskan untuk menanggapi pemuda itu. "Ya," angguknya, "bagaimana kau tahu?"

Pemuda itu tersenyum. "Aku sering ke sini, jadi mudah untuk membedakan wajah baru di antara wajah-wajah lama." Dia mengulurkan tangannya. "Lionel," katanya.

Ice menimbang-nimbang antara menyambut uluran itu atau tidak, tapi senyum si pemuda membuatnya tanpa sadar telah menjabat tangan yang terulur itu. "Ice, namaku," sahut Ice.

Lionel mengangkat sebelah alisnya, dan Ice paham mengapa. Namanya memang tergolong... tidak biasa, kalau tidak mau disebut aneh. Ice mengangkat bahunya, menyuapkan sesendok sup ke dalam mulutnya.

Forewood Kingdom: Ice's Blood [5]Where stories live. Discover now