Worse

897 83 2
                                    

"RATU tidak tahu akan adanya perang."

"Huh?" Ice menoleh terkejut. "Bagaimana bisa?"

Mereka sedang berada pada istirahat makan siang di kedai yang sama tempat mereka pertama bertemu. Mangkuk-mangkuk kayu di depan mereka kosong, sudah dihabiskan mulut-mulut lapar. "Sang Ratu sangat lemah waktu tanda-tanda serangan awal terjadi," gumam Lionel pelan, tapi Ice masih bisa mendengarnya di tengah kedai ramai itu. "Tuan Putri memutuskan untuk tidak memberitahu Yang Mulia Ratu karenanya, didukung oleh sebagian besar dewan istana. Meski sisanya... Tidak terlalu senang atas keputusan itu."

Ice mengigit bibir bawahnya. "Kenapa?"

Lionel menatapnya bertanya. "Kenapa kita tidak memberitahunya atau kenapa ada yang tidak setuju?"

Ice mengangkat bahu. "Keduanya?"

Lionel mengangguk-angguk. "Yah, dia akan memaksakan dirinya ikut perang yang hanya akan memperparah keadaannya. Dan anggota dewan istana yang tidak setuju menganggap... Keputusan ini melanggar hukum. Bagaimana pun, Ratu berhak tahu semua hal mengenai kerajaannya."

"Ah..." Ice mengerjapkan mata.

"Tapi tentu saja ada yang sekedar tidak menyukai Putri Ashley." Lionel mencibir pelan. "Mereka benar-benar konyol. Masa depan kerajaan ada di tangan Sang Ratu, jika penyakitnya semakin parah..." Lionel menghela napas. "Lagi pula, tidak ada hukum yang mengatur soal pengetahuan seorang pemimpin kerajaan kala mereka sedang tidak mampu melaksanakan tugas."

Ice mengangguk paham. "Aku setuju. Lebih baik biarkan Yang Mulia beristirahat dulu."

Lionel tersenyum. "Aku tahu kau pasti mengerti. Soal ini... Tidak banyak juga yang tahu, tolong jangan beritahu siapa pun."

Kerongkongan Ice tiba-tiba kering. Gadis itu menelan ludahnya. Ini lagi. Mengapa pemuda ini kerap mempercayainya? Dia masih belum memutuskan apa yang harus dilakukannya.

Sementara, dia memilih berpura-pura mencari cara untuk membebaskan Nieve. Tapi kata-kata ibunya masih berputar dalam pikirannya. Ice tahu dia harus cepat-cepat memutuskan.

"Ice?"

Ice tersentak dari pikirannya. "A-ah ya, aku mengerti. Tapi... Bagaimana perasaannya kira-kira saat Yang Mulia tahu telah terjadi perang dan dia... Tidak mampu melakukan apa pun?"

Lionel tercenung. "Ah..." Pemuda itu menunduk, menghela napas. "Mari berharap Yang Mulia akan jadi lebih baik secepat mungkin."

Harapan Lionel itu hancur berantakan saat seorang prajurit wanita tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam kedai, memanggil-manggil Lionel. "Daynes!" seru prajurit itu, menghampiri meja mereka. Keramaian kedai mereda, banyak orang menatap mereka penasaran.

Ice menelan ludah. Apa yang terjadi? Apakah mereka sudah mengetahui bahwa dirinya adalah seorang mata-mata?

Lionel mencekal lengan prajurit itu, menyuruhnya lebih tenang. Perhatian orang-orang pada mereka adalah hal yang buruk. Prajurit itu seperti menyadari kesalahannya, perlahan duduk pada kursi kosong di meja mereka.

Orang-orang mulai kehilangan ketertarikan. Setelah meyakinkan diri bahwa tidak ada yang mendengarkan mereka, prajurit itu berucap dengan suara rendah. "Kau dibutuhkan di istana, Daynes. Keadaannya... Memburuk."

Wajah Ice memucat. Tanpa bertanya, dia tahu siapa yang prajurit itu maksud.

Sang Ratu.

MEREKA semua berusaha keluar dari kedai dengan tenang tanpa menimbulkan kecurigaan. Tiba di gerbang istana, Ice memisahkan diri, hendak menuju ke barak. Dirinya jelas tidak diundang.

Forewood Kingdom: Ice's Blood [5]On viuen les histories. Descobreix ara