A Whole New World

754 82 0
                                    

LIONEL membantu Ice berjalan semakin tinggi, ke puncak menukik yang pertama dilihatnya.

"Es abadi ada di puncak gunung, katanya," ucap Lionel. "Kita belum benar-benar mencapai puncak."

"Tidak ada puncak yang lebih tinggi lagi-" Kalimat Ice terputus. Pasalnya, ada sebentuk lingkaran bebatuan di tengah-tengah sana, masing-masing batu tinggi dan tajam seperti pagar.

Semakin mendekat ke sana, jalanan semakin sulit. Kerikil-kerikil tajam berada di sana, dan tanam-tanaman hijau berduri setinggi betis tumbuh liar.

Ice merasakan kakinya mulai terluka, dan gadis itu dapat melihat Lionel menahan sakit pula.

Mereka berjalan semakin dekat, dan Ice menyadari bahwa formasi batuan itu amat rapat. Tinggi batuannya tiga kali lipat Ice, dan terlihat tidak mungkin dipanjat karena licin. Kalau pun bisa, ujungnya yang lancip akan menyulitkan mereka.

Di sisi yang lebih positif, Ice bisa yakin bahwa es abadi berada di balik pagar-pagar batu itu.

Tapi bagaimana cara mereka melewatinya?

Ice menelan ludah dan mendongak, berusaha mengira-ngira. Sulit. Hampir tidak mungkin.

"Ada celah," gumam Lionel

Ice menoleh cepat. "Huh?"

"Ada celah, tapi dikelilingi duri."

Ice mengikuti arah pandangan Lionel. Benar saja, ada sebuah celah di antara dua buah batu, tetapi dihiasi oleh tumbuhan berduri tajam. Ice dapat melihat cairan kemerah-merahan di duri itu, dan dia bergidik.

Apakah itu... Darah?

Celah itu benar-benar ditumbuhi tanaman berduri yang tebal. Ice sungguh tidak yakin mereka bisa menyelinap, tapi gadis itu mengeluarkan pedangnya untuk menebas tanaman yang menghalangi.

Tanaman itu tumbuh kembali, bahkan dengan lebih tinggi, nyaris setelah ditebas.

Ice merinding.

Keduanya saling menatap, memahami pikiran satu sama lain. Tanaman ini tidak akan bisa ditebas habis. Mereka harus terluka melewatinya.

Meraih sesuatu yang telah diharapkan jelas butuh pengorbanan.

Tanpa membuang waktu lagi, Lionel segera merangkak menerobos tanaman duri itu. Ice mengikuti di belakangnya. Duri-duri tajam itu menusuk kulitnya, dan Ice tahu darah mengalir keluar dari tubuhnya, tapi tidak ada pilihan lain kecuali maju.

Di balik batu-batu yang mengelilingi itu, ada setangkai bunga.

Bunga.

Ice tidak dapat mempercayai matanya. Perjuangan mereka adalah untuk mencari... Bunga? Nyaris dia menjerit frustasi, tapi langkah kaki Lionel menarik perhatiannya.

Pemuda itu mendekat pada objek di depannya, menatapnya penuh kekaguman, seolah ada sesuatu yang lain alih-alih setangkai tanaman biasa.

Dari tempatnya berada, bunga itu terlihat memiliki tujuh kelopak besar berwarna putih. Di sekitarnya terdapat bunga-bunga kecil warna-warni. Indah, memang, tapi bukan yang mereka harapkan.

"Ice, lihat baik-baik," bisik Lionel.

Ice menurutinya. Didekatinya bunga putih itu, dan dia nyaris kehilangan napas saat melihat kristal-kristal es kecil bertaburan di atas kelopaknya.

Dari jarak yang cukup jauh, Ice dapat merasakan udara dingin dari bunga itu. Inikah es abadi? Mereka berdua melangkah mendekat.

Ice mengigit bibir bawahnya. Tangan kanannya meraih tangkai bunga itu perlahan dan hampir memetiknya.

Tapi dalam sekejap, dunia di sekeliling mereka berubah.

Merah. Itu yang Ice sadari pertama kali. Tanahnya merah meranggas, tetapi setangkai bunga putih itu masih ada di sana. Akarnya menancap kuat, mengabaikan fakta bahwa tidak ada tanaman lain yang tumbuh di sana. Saat Ice berusaha memetiknya lagi, tangannya membentur benteng tak kasat mata yang meninggalkan memar di punggung tangannya.

Lionel menatapnya panik, dan Ice menyadari bahwa dia juga merasakan hal yang sama. Di mana mereka? Tempat ini berubah. Tidak lagi ditemukannya puncak gunung es yang anehnya hijau, justru kebalikannya. Ice kehilangan kata-kata.

Ice memutar tubuhnya, menatap suasana di sekelilingnya. Tidak ada petunjuk mengenai di mana persisnya mereka. Tapi satu hal yang Ice tahu, mereka tidak berada di Forewood.

Tidak juga di Gunung Beku.

Tidak di Dataran Terra.

Mereka ada di sebuah dunia yang berbeda.

SETELAH berkeliling di puncak gunung selama beberapa saat, keduanya mengambil keputusan untuk menuruni gunung.

Ice tahu bahwa kontur gunung ini adalah sama dengan yang mereka lewati sebelumnya. Bentuk gunung ini sama sepenuhnya. Hanya saja, warna dan keadaannya berbanding terbalik.

Alih-alih dingin, mereka merasakan panas luar biasa. Rasanya seperti api menjilat-jilat kulit mereka. Langit di atas mereka merah, terlalu merah sampai Ice sendiri tidak dapat membedakan yang mana matahari.

Adakah matahari di sini?

Kondisi kaki Ice yang kembali ke keadaan semula sedikit menghambat perjalanan mereka. Ice merasa bersalah dan berkali-kali minta maaf pada Lionel, tapi pemuda itu hanya mengibaskan tangannya dan mengatakan untuk tidak memikirkannya.

Mereka baru tiba di tempat terakhir beristirahat semalam. Kalau dipikir lagi, ini bukan tempat yang sama. Hanya saja gua yang sempat mereka tumpangi semalam berbentuk persis sama.

Ada cahaya dari dalamnya, menandakan ada orang di sana.

Ice dan Lionel saling menatap ragu. Terakhir kali mereka berada di sini, tiga orang peri gila menyerang dan berusaha membunuh mereka. Tentu saja ini terlihat seperti dunia yang berbeda, dan barangkali memang berbeda, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa yang meninggali tempat itu adalah makhluk yang sama.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Lionel, menatap gua di depan mereka.

Ice menghela napas. "Apa lagi? Kita tidak punya pilihan lain selain masuk ke sana. Kita tidak tahu di mana ini, dan kita jelas butuh bantuan."

Lionel mengangguk paham. "Kau benar."

Lionel membantu Ice berjalan mendekati gua itu. Mereka hampir mencapai mulut gua saat seorang gadis muda berpakaian kain merah kusam keluar dari sana. Wajahnya yang tertunduk dengan cepat terangkat, memandang keduanya terkejut. "Siapa kalian?!"

Lionel mundur satu langkah, nyaris membuat Ice terjatuh. "Hai... Kami hanya ingin menanyakan sesuatu."

"Tidak ada yang pergi ke gunung ini," kata si gadis curiga. "Dari mana kalian? Apa yang kalian lakukan di sini?" Gadis itu terus mencecar.

"Kami-"

"Kalian dari Bawah, bukan? Tidak ada dari kalian yang boleh ke sini!" Wajahnya berubah panik. "Pergi, cepat pergi!"

Ice melangkah maju. "Tenanglah."

"Bagaimana aku bisa tenang!" Bukan pertanyaan. "Masyarakat Bawah tidak ada yang menginjakkan kaki di sini. Gunung ini terkutuk! Terbuang!"

"Kami bukan dari bawah atau apa lah itu," ucap Lionel. Gadis ini sepertinya bisa meledak sebentar lagi. "Justru sebaliknya, kami dari atas."

Ice setengah mengira gadis itu akan semakin panik dan mengusir mereka, tapi justru si gadis terdiam sejenak. "Oh."

"Bisakah kau memberi tahu kami tentang... Tempat ini?" tanya Ice pelan.

Gadis itu menghela napas. "Kalian dari Dingin."

Ice dan Lionel saling menatap, sedikit terhibur dengan kata-kata itu. Bisa dibilang Gunung Beku memang sangat dingin. "Barangkali," sahut Ice tersenyum. "Namaku Ice, dan ini Lionel."

Si gadis berusaha tersenyum, tapi matanya yang cemas tidak dapat berbohong. "Aku Delaide. Selamat datang di dunia kegelapan." []

Forewood Kingdom: Ice's Blood [5]Where stories live. Discover now