"Geli."

Lea tersenyum menggoda, "Geli atau malu?"

"Nih udah selesai."

Lea beralih menatap kanvas yang Bara unjukkan. Seketika wajahnya berbinar, kala melihat sebuah sketsa yang sangat familiar.

"Ih bagus banget! Makasih ya!"

Bara mengangguk singkat, memperhatikan Lea yang tengah tersenyum lebar sambil memandang sebuah sketsa bergambar dirinya.

"Oh iya, sini gue tanda tanganin dulu."

Lea kembali menyerahkan kanvas tersebut pada Bara, yang langsung dituliskan sesuatu olehnya.

"You are mine. Don't ever leave my side." ucap Lea mengulang apa yang Bara tulis.

"--Bara." kata Lea lagi. Setelahnya Bara tanda tangan di bawah tulisan tersebut, kemudian, Lea langsung mengambil alih kanvas yang Bara berikan, lalu memeluknya erat.

"Makasih banyak, Bara!"

Melihat Lea yang ceria, membuat kedua sudut bibir Bara ikut terangkat. Sungguh, moodnya membaik di kala Lea tersenyum seperti sekarang.

"Pulang nggak?"

Lea mengangguk kuat, senyum masih belum pudar dari wajah cantiknya.

"Jalan-jalan dulu ya?"

"Ke mana?" tanya Bara sambil memakai jaket levisnya.

"Umm... Aku pengin makan bakso deh."

"Yaudah. Gue tau warung bakso yang enak di mana,"

***

Lea menyeruput es teh manisnya dengan tenang, sesekali matanya melirik ke arah Bara yang duduk di hadapannya.

Lea mengulum senyum, ketika melihat Bara yang mengunyah bulat-bulat baksonya. Membuat kedua pipinya menjadi gembung.

"Aku paling benci deh sama bawang goreng. Rasanya aneh."

"Kalo gak suka taruh aja di mangkok gue."

Lea mengangguk. Mengumpulkan bawang goreng yang bertaburan di kuah baksonya, lalu memindahkannya ke mangkuk Bara.

"Lain kali kalo nggak suka sama apa yang lo makan, taruh di piring gue aja."

Perut Lea terasa di hinggapi ribuan kupu-kupu, waktu Bara mengatakan hal itu padanya secara langsung.

Ya ampun, dia merasa sangat bahagia sekarang. Karena jika dia makan bersama mantan pacarnya yang dulu-dulu, mereka pasti akan menyuruhnya untuk menyingkirkan bawang yang tidak bersalah itu.

"Kamu nggak suka pedes ya?"

"Nggak."

Bara mencelupkan kerupuk yang sudah dia bagi menjadi dua ke dalam mangkuk bakso kuah kecapnya, lantas dia kembali berbicara. "Lagian lambung gue juga nggak kuat kalo makan pedes. Kalo lo, suka pedes ya?"

"Iya, suka banget. Rasanya tuh hambar kalo makan tanpa ada sambal ataupun cabe."

Bara berdecak kecil. "Kenapa sih, perempuan suka banget makan pedes?"

"Ih, enak tau--"

"Bukan masalah enak atau enggaknya. Tapi kasian lambung kamu."

Lea tersentak sedikit, waktu mendengar Bara yang melafalkan kata 'kamu'.

"Cie pake kamu,"

"Lo gak suka?"

"Suka! Mulai sekarang ngomongnya pake aku-kamu, ya?"

"Biar?"

"Biar aku seneng ngedengarnya!"

Bara terkekeh menanggapi seruan gadisnya, lalu tanpa di sangka-sangka, sebuah kotak berukuran sedang sudah berada tepat di depan matanya.

"Kotak apa'an nih?"

"Buka aja." ujar Lea tersenyum misterius.

"Gak ah. Bukan punya--"

"Punya kamu kok. Dari aku."

Bara mengernyit, menatap sekeliling yang ternyata ada beberapa siswi SMA yang kepergok memperhatikannya, lalu kembali menatap ke arah Lea.

"Buat gue?" Lea mengangguk.

Dan perlahan, Bara mulai membuka kotak berbahan dasar kertas tersebut. Kemudian, ekspresi wajahnya berubah dalam sekejap. Setelah mengetahui isi dari kotak itu.

"Kamu suka?"

"Ini apa?"

Lea nggak menjawab, karena dia tahu--kalau Bara sudah tau apa jawabannya.

Sedangkan Bara, dia masih nggak menyangka dengan isi kotak yang pacarnya berikan.

Karena di dalam kotak itu ada sebuah kotak kecil lagi, sekaleng permen dan sebuah post-it yang sudah di tulis oleh Lea.

Pun tangan Bara gemetar sedikit, kala mengambil kotak kecil yang di hiasi oleh pita berwarna merah. Untuk yang kesekian kali, matanya menatap Lea. Memastikan bahwa kotak ini benar miliknya.

Lalu, Bara mulai membuka pita tersebut, kemudian ketika tutup kotaknya dia angkat, tubuhnya kembali gemetar.

Lea menghadiahinya sebuah jam tangan bermerek Seven Friday. Jam tangan bermodel klasik yang harganya setara dengan sebuah sepeda motor matic.

Bara menggeleng tak percaya. Bukan soal jam tangan, tapi dia berpikir, dari mana Lea mendapatkan uang sebanyak ini?

"Lo ... Lo beli ini pake uang siapa?"

"Uang aku."

"Minta ya?!" selidik Bara.

Lea mendengus geli. Hell, dia nggak sedurhaka itu buat minta duit belasan juta cuma untuk membelikan kado sang pacar.

"Aku punya uang sendiri. Udah deh, intinya kamu suka 'kan?"

Lagi dan lagi, Bara nggak menjawab. Dia masih syok. Sebab untuk yang pertama kali di hidupnya, ada cewek yang membelikan jam tangan mahal untuknya.

"Gue ganti duit--"

"Nggak usah! Kamu juga pernah 'kan kasih aku iPhone?"

"Le, sumpah ini harganya bisa buat makan gue setahun, udah sebutin aja angkanya biar gue transfer--"

"Nggak usah, Onta. Udah deh diem sebelum muka kamu aku siram pakai sambel."

Kali ini Bara nggak berdecak seperti yang sering dia lakukan, melainkan hanya diam sambil terus memandang jam yang masih ada di tangannya.

Astaga, Bara syok dan wajahnya terlihat lucu!

"Bar, nggak usah syok gitu."

Bara mendongak, masih dengan wajah pucatnya.

"Ini--gila mahal banget. Gue ganti ya?"

"Nggak usah! Udah ya kalo sekali lagi kamu bahas soal harga jam, kita putus."

Bara menelan ludahnya lamat-lamat, bingung harus melakukan apa. Sampai beberapa detik kemudian, dia kembali menutup kotak jamnya, dan beralih mengambil post-it yang sampulnya sudah di hiasi stiker berbentuk huruf B dan L.

Bara sontak tersenyum, saat mengetahui Lea sangatlah alay.

"Pijet gratis? Temenin futsal? Piknik? Apa'an nih maksudnya?!"

"Jadi ini kayak tiket gitu. Misal nih ya, kamu mau aku pijetin, nah kertasnya kamu ambil, terus setor ke aku--"

"Terus lo pijetin gue?"

Lea mengangguk mengiyakan. Namun, setelah itu keningnya mengerut, saat Bara terlihat sibuk membolak-balikkan post-it itu.

"Nyari apa sih?"

"Ck. Ini gue lagi nyari--tidur bareng, ada enggak ya?"

***

Bela-belain begadang demi nyelesain satu part ini :') betewe maafkan onta yang mesum ya :')

Match Made in Heaven[SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now