3. Wawancara Terindah

22 7 3
                                    

Siang yang begitu terik membuat Reta merasa lelah dan mengantuk, terlebih lagi saat ini ia tengah belajar fisika. Suara Pak Rusta saat menjelaskan materi gerak harmonik sederhana semakin membuat kelopak matanya ingin menutup.

"Ret bentar lo mau wawancara kak Tara kan?" bisik Naya ditelinga Reta.

Reta yang tadinya mengantuk berat segera menegakkan kepalanya saat mendengar nama Tara di sebut.

"Iya tapi gue belum minta waktunya, gimana dong?"

"Sebentarkan masih ada 45 menit waktu literasi sebelum pulang, kita langsung ke kelasnya aja." saran Naya.

Reta tersenyum senang, ia jadi tak sabar menunggu berakhirnya proses belajar mengajar. Lesung pipi milik Tara terngiang-ngiang dikepala Reta hingga ia tak sadar bahwa Pak Rusta telah berdiri dihadapannya.

"Renata Aliandra Halim, tolong jelaskan kembali apa yang tadi saya jelaskan." suara bariton milik Pak Rusta terdengar horor ditelinga Reta membuat gadis itu mengalihkan tatapannya dari jendela ke wajah Pak Rusta yang menyeramkan.

"Eh... Gerak harmonik sederhana adalah..."

Reta menyikut lengan Naya meminta bantuan yang juga tampak terkejut dengan kehadiran Pak Rusta.

"Sepertinya pemandangan diluar sana lebih menarik dari penjelasan saya, jadi saya berbaik hati dengan membuat anda menikmati itu semua dengan puas. Silahkan keluar dari kelas ini nona Renata."

Reta bergidik mendengar rentetan kata-kata formal milik Pak Rusta.

"Ta...tapi pak."

"Sekarang nona, atau mau saya menambahkan lagi kebaikan saya?"

"Nggak pak, saya akan keluar sekarang."

Reta segera bangkit tapi tak lupa diambilnya ponselnya dari balik buku tulis yang sejak tadi ia sembunyikan. Begitu berada di depan kelas, ia kebingungan sendiri akan menetap dimana sampai jam belajar mengajar berakhir dan akhirnya langkahnya berhenti di depan pintu perpustakaan.

Pintu perpustakaan yang berbahan dari kaca itu ia dorong dan seketika puluhan rak-rak buku terpampang lebar dihadapannya. Setelah menulis namanya di dalam daftar kunjungan perpustakaan, ia segera mencari bangku kosong yang akan ia duduki tapi matanya berhenti saat menatap satu sosok yang ia kenali.

Elin, dia adalah sahabat Reta, tapi sepertinya sejak cewek itu mengkhianati Reta dengan berpacaran dengan Dana membuat status sahabat itu luntur. Elin sedang membaca buku dengan judul Karya Sastra yang terpampang jelas dari balik sampul buku tebal itu, sepertinya ia sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti lomba sastra.

Reta tersenyum sinis, ia selalu benci saat melihat Elin disekitarnya, terlebih karena sifat munafik yang cewek itu miliki. Elin sangat tahu bahwa Reta menyukai Dana, ia bahkan sering memberikan nasehat kepada Reta saat Reta mengatakan bahwa ia akan memberitahu Dana tentang perasaannya. Reta sangat ingat saat itu Elin menyuruhnya untuk tidak mengatakan perasaannya pada Dana karena menurut Elin, cewek itu harus memiliki harga diri yang tinggi. Tapi apa yang terjadi? Dua bulan setelah nasehatnya itu, Elin menembak Dana. Catat, Elin menembak Dana.

Jadi, apa salah jika Reta begitu membenci orang yang bermuka dua seperti Elin?

Reta berjalan menuju meja Elin dengan langkah pasti. Begitu sejajar dengan meja Elin, Reta sengaja menyenggol gelas yang berada disamping buku Elin sehingga gelas itu jatuh menyamping dan air yang ada didalamnya membasahi buku Elin. Reta tertawa sinis sebelum melangkah menuju keluar. Reta senang menjadi peran antagonis, karena menjadi peran protagonis akan membuatnya terlihat begitu menyedihkan.

***

"Nay lo nggak bisa nemenin gue ke kelasnya kak Tara?" tanya Reta untuk entah keberapa kalinya.

"Iya Retaku sayang, lo nggak denger barusan ada pengumuman kalo pengurus OSIS disuruh rapat?"

"Tapi bentar doang kok." kembali Reta memohon.

"Aduh nggak bisa Ret. Lo ajak Denara gih!"

Reta segera berbalik dan menatap Denara yang sedang membereskan bukunya.

"Denara-ku yang cantik dan baik hati..." panggil Reta.

"Nggak bisa, gue ada urusan sama Bu Ina."

"Kampret emang lo berdua!" teriak Reta sambil berbalik arah menuju pintu.

Dada Reta bergemuruh saat kakinya sudah mencapai anak tangga yang terakhir. Tidak perlu waktu yang lama untuk sampai di kelas Tara karena kelas Tara berada tepat diatas kelas Reta.

"Permisi kak." ucap Reta pada seorang cewek yang Reta ketahui merupakan teman sekelas Tara.

"Iya dek, kenapa?"

"Kak Taranya ada?"

"Tara yah? Tunggu aku panggilin."

Reta bernafas lega saat cewek tadi masuk ke kelasnya dan meneriaki nama Tara, tapi nampaknya ia kembali tegang saat Tara keluar dengan wajah bingung.

"Kenapa yah?" tanya Tara.

Rasanya Reta lemas seketika saat mendengar suara bass milik Tara.

"Oh iya kak, saya Reta dari organisasi jurnalis, bisa minta waktunya sebentar?" tanya Reta formalitas.

"Iya boleh, mau wawancara yah?"

Reta cukup senang karena Tara peka dan tak harus di jelaskan lagi.

"Iya kak, wawancara tentang siswa berprestasi dan hasilnya akan masuk di buletin dan website sekolah. Kira-kira bisa?"

"Iya. Sekarang yah?"

"Kalau kak Tara ada waktu, bisa sekarang saja." tawar Reta.

"Kayaknya bisa tapi boleh nggak jangan di sekolah soalnya malu dilihatin temen-temen." ucap Tara sambil menoleh ke arah teman-temannya yang tampak penasaran dari balik jendela kelas.

"Bisa, baiknya dimana kak?"

"Di warkop deket sini aja."

"Oke, kalau gitu ketemu disana yah kak." saran Reta.

"Eh jangan, bareng aja. Kamu nggak bawa motor hari ini kan?"

Reta menangguk bingung. Kok bisa Tara tahu kalau hari ini dia nggak bawa motor? pikir Reta.

Walaupun kebingungan, tapi ia tetap mengikuti kemauan Tara. Reta cukup deg-degan saat dibonceng Tara yang nota bene belum pernah terlihat membonceng cewek selama ini dan dalam hatinya Reta ingin untuk melingkarkan tangannya di perut Tara, tapi dia masih sadar diri kok.

Begitu sampai Reta dan Tara segera memesan minum lalu menuju meja di bagian pojok untuk mendapatkan ketenangan.

"Hmm... Bisa saya mulai kak?" tanya Reta memecah keheningan.

"Iya boleh."

"Pertanyaan pertama, lomba ap..."

"Kamu temennya Naya kan?" Tara memotong pertanyaan Reta. "Dari tadi aku udah mau nanyain ini tapi kelupaan."

Reta mengangguk dan bingung untuk menjawab apa. Tadi juga ia sempat berkecil hati karena berpikir bahwa Tara hanya bercanda saat menanyakan namanya tempo hari.

"Kita lanjut kak?" tanya Reta.

"Tunggu, nomor lo berapa?"

Reta kira itu hanya candaan Tara tapi begitu melihat Tara mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan menyodorkan benda pipih itu dihadapannya, Reta sadar kalau itu bukan sekedar candaan.

Apakah begini rasanya saat cinta berbalas?

###

Dan Reta kembali baper pada Tara.

Btw terima kasih untuk para pembaca yang dengan senang hati mau membaca cerita pertama saya ini,

Salam anak Kendari.

DIVERGEWhere stories live. Discover now