Iqbaal memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. “Tolong kasihkan sama (Namakamu), lo tau lah kenapa gue nitipnya ke lo. Bilang aja dari lo, kalau dari gue mana mau dia terima. Oke ?” ucap Iqbaal dengan tatapannya yang melebut saat mengucapkan nama (Namakamu).

Sherly yang tadi tersenyum kini senyum itu hilang seketika saat mendengar Iqbaal menyebut nama itu lagi, (Namakamu).

Kenapa lo harus peduli sama orang yang bahkan nggak pernah nganggap kalau lo itu ada ? Nggak ada hasil juga ‘kan lo peduliin dia ?”Kini Sherly menatap tajam Iqbaal. Sherly berubah, dia bukanlah Sherly yang pintar memainkan emosinya di depan semua orang. Kini di hadapan Iqbaal, Sherly adalah wanita berbahaya.

Kenapa juga lo peduliin gue kalau gue nggak pernah sama sekali peduliin lo ?mikir dulu sebelum bicara. Kaca diciptakan untuk kita melihat diri. Jadi, perbanyaklah mengaca diri, oke?” balas Iqbaal dengan senyumnya yang mulai angkuh.

Sherly tertawa kecil mendengar Iqbaal yang kembali membalikkan ucapannya. “Lo tau ‘kan, Baal kalau gue udah suka sama lo sejak—“

Nggak perlu lo ulang-ulang lagi tentang sejarah perasaan lo ke gue. Gue hanya mau dengar kalau lo udah ngantar makanannya ke (Namakamu).” Tanpa ada satu kalimat bercanda Iqbaal, dia benar-benar menekankan setiap kalimat yang diucapkannya.

Gue bakal ngehancurin (Namakamu)! Gue benci (Namakamu)!” teriak Sherly tepat di hadapan Iqbaal.

PRANG!

Iqbaal melemparkan piring somay itu dengan kuat lalu membuang minuman itu ke sembarang arah. Iqbaal menarik baju Sherly mendekat ke arahnya. Kedua mata Sherly memerah, ia begitu emosi.

Sekali aja lo sentuh, (Namakamu). Jangan harap hidup lo akan tenang! Lo camkan ucapan gue, Sher. Gue nggak akan segan-segan buat ngehancuri lo balik! Ngerti ?”bisik Iqbaal tepat di hadapan Sherly.

Sherly bergetar, ia menangis. Iqbaal melepaskannyaa begitu saja, ia pun ikut emosi. “Antar makanan sama minuman untuk (Namakamu), gue bakal balik ke sini.” Iqbaal pergi menjauh dari Sherly yang sudah menangis.

Sherly mengepalkan kedua tangannya. “Gue benar-benar akan hancurin dia!”

**

“Makasih.”

Iqbaal yang tengah duduk  di teras rumahnya yang besar itu pun tersenyum saat melihat (Namakamu) membalikkan sweater-nya.  Malam hari yang biasanya Iqbaal habiskan untuk merenung kini harus terhenti melihat (Namakamu) yang berada di hadapannya.

“Gue nggak nerima ucapannya, tapi gue nerima ciumannya. Cukup pipi aja, sih,” ucap Iqbaal sambil tersenyum menggoda ke arah (Namakamu). (Namakamu) dengan sedikit kesal meletakkan sweater Iqbaal tepat di pangkuan Iqbaal. Iqbaal terkejut.

“Lo kira gue cewek apaan main cium-cium cowok! Masih untung gue balikkin sweater-nya, kalau gue nggak punya hati bakal gue bakar sweater lo!” balas (Namakamu) dengan kesal.

Iqbaal tersenyum kembali mendengar ocehan (Namakamu). “ Jadi intinya lo mau cium atau enggak ?” kembali Iqbaal menggoda (Namakamu).

(Namakamu) menggelengkan kepalanya dengan pelan, menarik napasnya dengan pelan lalu menghembuskannya secara perlahan-lahan. “ Semoga lo bahagia aja dengan hidup lo yang penuh dosa itu. “ Setelah (Namakamu) mengucap kata-kata itu, ia membalikkan badannya untuk kembali pulang ke rumahnya.

Namun, kembali ia harus dihentikan oleh tangan Iqbaal yang menahan dirinya. (Namakamu) tidak membalikkan badannya, Iqbaal menahan (Namakamu) dengan lembut.

“Gue harap lo bisa buka mata lo, (Namakamu). Coba perhatikan sekeliling lo dan lihat siapa yang benar-benar peduli sama lo dan yang enggak. Gue nggak mau lo tersakiti karena suatu hal yang selalu lo percaya kini hancur karena suatu hal yang nggak pernah terpikirkan sama lo. Tolong perhatikan lagi.” Iqbaal melepaskan genggaman itu dengan pelan lalu berdiri dari duduknya setelah ia mengucapkan itu kepada (Namakamu). Menatap sebentar ke arah punggung (Namakamu) kemudian masuk ke dalam rumahnya.

(Namakamu) membalikkan tubuhnya mengarah kepada pintu utama rumah Iqbaal. “Maksudnya? Ada yang mengkhianati gue ?”

**

bersambung

Mrs. Happy Endingحيث تعيش القصص. اكتشف الآن