"Sayang,"

Lea menatap manik mata Bara sekilas, lalu pandangan matanya ia turunkan lagi.

"Cerita ya?"

"Aku nggak pa'pa,"

Bara berdecak jengkel. Cuma orang bodoh yang percaya dengan omongan gadis ini. Jelas-jelas, Lea sedang ada masalah dan sedang menahan tangisannya.

"Yaudah gue gak bakal maksa lo buat cerita."

Tangan Lea bergerak naik, melepaskan tangan hangat Bara yang tengah mengusap pipinya. Dalam hatinya Lea tertawa miris, ketika menyadari Bara adalah orang yang gampang menyerah.

Ah, lagi pula ... Lea 'kan bukan tipe cewek idamannya Bara, jadi, buat apa Bara susah payah memperjuangkannya?

Iya 'kan?

Pandangan Lea memburam, dan saat dia mengedipkan mata, setetes air mata yang dia tahan sedari tadi, akhirnya tumpah.

"Nah 'kan nangis juga akhirnya. Sini peluk,"

Lea menggeleng seraya mengusap air matanya. Dia gak habis pikir, bagaimana bisa Bara dengan mudah memintanya berpelukan sedangkan posisi mereka sekarang ini masih di dalam warungnya Bang James?

Apalagi ketika tadi Bara meminta izin pada kawan-kawannya dan juga Bang James untuk berduaan dengannya, mereka semua malah meneriakinya 'Jangan indehoi.' atau menyuruh Bara menahan imannya.

"Aku minta maaf." cicit Lea.

"Untuk?" jawab Bara lembut sambil mengusap air mata gadisnya dengan ibu jarinya.

"Udah marah nggak jelas sama kamu,"

"Iya nggak pa'pa. Gue ngerti."

Lea menatap Bara yang sekarang tersenyum manis, masa bodoh soal air mata yang masih mengalir deras.

"Maaf juga udah ngerepotin kamu soal makanan i--"

"Gue gak repot, Ale."

"Tapi itu jam tiga pagi! Kamu juga belum sembuh total." seru Lea.

"Gue bakal ngelakuin apapun yang lo mau, meski kesehatan gue sedikit terancam."

"Jangan gila."

"Asal lo bahagia, kenapa enggak?"

Lea merengut, "Tapi aku gak bahagia, aku ngomong itu karena kesel doang sama kamu."

Bara mendesah. Tangan kanannya menggengam tangan mungil gadisnya, sedangkan tangan kirinya masih setia mengusap air mata Lea.

"Iya gak pa'pa, Sayang. Sekarang lo tinggal bilang, semalem kesel kenapa?"

Cewek itu bungkam. Pikirannya menimbang-nimbang, haruskah dia mengatakannya sekarang?

"Ale,"

"Tempo hari ... Mama kamu bilang ke aku,"

Bara mengernyit. "Bilang apa?"

Dan akhirnya, Lea menceritakan masalah yang cukup memenuhi pikirannya belakangan ini. Tentang Mayang yang bercerita ini itu soal tipe cewek idaman Bara yang jelas-jelas bukan Lea sekali. Yang lebih parahnya lagi, Mayang justru menanyakan "Kamu pasti cewek yang Tante maksud 'kan?"

"Dengar," melepaskan genggamannya, Bara kemudian menyisir rambut Lea melalui jari-jarinya. "Asal lo tau, tipe cewek idaman gue berubah setelah gue mengenal lo."

Lea menghela napas, terkejut.

Astaga, ini ... Serius?

"Bohong!" elak Lea.

Alis Bara menyatu, lalu tangannya ia turunkan. Kembali menggengam sebelah tangan gadisnya.

"Lo gak percaya sama gue?"

Cowok itu berdecak.

"Dengar Sayang, hubungan tanpa adanya kepercayaan itu ibarat mobil tanpa bensin. Lo bisa tinggal di dalamnya selama yang lo mau. Tapi inget, lo itu nggak bisa pergi kemanapun. Hanya di situ-situ aja. Ngerti 'kan maksud gue?"

Lea menunduk sambil memilin baju seragamnya yang dia crop. Omongan Bara memang benar adanya, duh lagi pula, kenapa sih dia punya pikiran negatif mulu ke orang lain?!

"Sekarang jelasin,"

Bara menyisipkan rambut sang gadis seraya tersenyum manis.

"Kenapa lo terlihat berantakan kayak gini? Siapa yang giniin lo?"

Lea melengos, enggan menatap senyuman Bara yang mampu membuat hatinya luluh.

"Tapi kamu harus janji gak melabrak orangnya."

"Tergantung. Kalo orangnya cowok ya gue gak segan-segan buat ngehajarnya habis-habisan."

"Bara," rengek Lea.

"Ck. Iya janji."

Menunduk, Lea kembali memilin bajunya sembari bercerita.

"Aku berantem sama ... Sonya. Gara-gara dia bilang aku bitch sama cewek kegatelan. Terus ya gini ... Main jambak-jambakan,"

"Anak cewek berantemnya nggak elit banget."

"Bar, please..."

"Iya udah sekarang gini, gak usah ngeladenin atau mikirin orang-orang yang nggak suka sama lo. Karena dia cuma iri. Iri sama kecantikan lo, iri sama ketenaran lo dan dia juga iri karena lo berhasil milikin gue."

Lea mencibir pelan ketika mendengar ucapan terakhir Bara.

"Udah gak usah di pikirin lagi. Sebab haters lo itu cuma manusia-manusia bodoh yang ngehabisin waktunya di dunia buat mikirin lo tanpa mikirin dirinya sendiri."

"Kenapa? Mau peluk? Sini," goda Bara kala melihat mata Lea yang berbinar.

"Mau ... Tapi mal--"

"Yaudah, gue aja yang peluk lo."

Dan Bara memeluk erat Lea. Dengan posisi dagu Bara yang dia taruh di bahu gadisnya. Pun Bara bisa melihat, teman-temannya termangu melihat aksi dua sejoli yang tengah berpelukan-- oh ralat, hanya Bara yang memeluk Lea.

Bara tersenyum miring, atau bahkan bisa di bilang senyum kemenangan karena bisa mendapatkan Lea, si primadona Bintang Harapan yang jadi incaran para kaum adam.

Ah, masa bodoh soal kawan-kawannya atau Bang James yang terbengong karena kedainya di jadikan tempat bermesraan. Yang terpenting, Bara bahagia.

Merubah posisi kepalanya, Bara pun menaruh kepalanya di bahu Lea, lantas tanpa sadar mencium sekilas leher putih bersih tersebut dan menikmati harumnya rambut dan tubuh Lea.

Ya ampun, kenapa rasanya Bara ingin melamar Lea sekarang?

***

Gimana sama part ini?

Match Made in Heaven[SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang