Mereka berdua terus berjalan sampai akhirnya tiba di sebuah gua—hulu dari sungai yang mereka susuri.

Si pria mengeluarkan isi ranselnya. Mengeluarkan bermacam-macam benda aneh

Batu giok lima warna.

Guci-guci sebesar genggaman tangan.

Botol-botol silinder berisi aneka cairan warna.

Keris.

Boneka jerami.

Kemenyan.

Sesajen.

Rupa-rupa pernak pernik persembahan.

Pria itu menggambar sebuah simbol. Bintang hitam dalam matahari merah yang berkobar di atas kain putih seluas satu meter persegi.

Lima batu giok ditaruh di kelima sudut bintang.

Bayi yang wanita itu bawa diletakkan di tengah-tengahnya.

Si pria melantunkan semacam mantra. Itu bukanlah bahasa manusia. Aku belum pernah mendengarnya.

Seraya berucap, pria itu menaburkan bubuk aneh dalam guci pada tubuh si bayi yang sedari tadi tertidur lelap kini terbangun dan menangis. Bukannya menenangkan bayi itu, mereka malah pergi meninggalkannya. Meninggalkan bayi itu sendirian dalam gua yang tersinari cahaya obor.

Tangisan si bayi menggema di dalam gua. Mengundang makhluk-makhluk lain datang mendekatinya.

Setelah sepasang manusia itu keluar dari gua, sosok lain muncul tepat di hadapan si bayi.

Dia merangkulnya.

Mendekapnya dalam pangkuan.

Menatap wajah bayi itu lekat-lekat.

Tangisan si bayi lenyap saat Sandekala itu mengembuskan sesuatu dari balik tudungnya seperti asap putih kebiruan yang menyala. Lalu, mata bayi yang awalnya abu-abu berubah jadi biru cemerlang.

Aku bertanya-tanya ada apa ini?

Apa maksud semua ini?

Apa yang ingin disampaikan makhluk itu padaku?

Kenapa dia memperlihatkan semua ini padaku?

Rekaman video itu mulai tampak samar sebelum akhirnya mati.

"Kau adalah milikku ...," suara itu berembus di telingaku.

"Apa maksudmu?" tanyaku.

Meskipun aku tidak melihat siapa-siapa di ruangan ini tapi aku tahu siapa yang berbicara.

"Orangtuamu telah memberikan jiwamu padaku!" jawabnya.

"Apa?! Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan!"

"Mereka berdua adalah orangtua kandungmu!"

Tak bisa aku mungkiri bahwa wajahku ini mirip dengan mereka berdua. Hidungku, bibirku, rambutku mirip dengan pria Jepang itu. Sedangkan bentuk muka dan warna kulitku mirip dengan wanita itu. Hanya mataku yang tidak mirip dengan keduanya.

"Kalau itu memang benar, kenapa orangtuaku sendiri meninggalkanku, mengorbankanku, dan memberikan jiwaku padamu?"

"Kau tak perlu tahu apa yang telah orangtuamu lakukan. Tapi yang jelas, mereka berutang budi padaku. Dan aku menginginkanmu!"

Aku roboh.

Terduduk di lantai.

Aku tidak tahu apa yang aku pikirkan.

Ini semua begitu membingungkan.

Rasanya aku ingin melontarkan ribuan pertanyaan. Tapi tak ada pertanyaan lagi yang terekam untuk aku tanyakan.

Perasaanku bercampur aduk tak keruan.

Bingung.

Marah.

Kesal.

Benci.

Kecewa.

Sedih.

"Kenapa?" satu kata yang mewakili ribuan pertanyaanku. Berharap aku mendapatkan penjelasan yang sejelas-jelasnya darinya.

"Ini adalah takdirmu. Aku sudah menunggumu selama 16 tahun. Aku sudah memberikan tenggang waktu selama itu padamu. Harusnya aku mengambil jiwamu saat itu. Saat orangtuamu memberikanmu padaku. Tapi ... ibumu melanggar perjanjian yang telah kami sepakati. Sekarang aku menginginkanmu. Lagi pula ada sebagian milikku dalam tubuhmu itu. Dan aku memintanya kembali! Bersama dengan jiwamu!"

Aku tahu apa maksudnya.

Mataku bukanlah milikku! Ini adalah miliknya.

"Bagaimana jika aku tidak mau memberikan jiwaku padamu?!"

"Tak ada gunanya kau berkata seperti itu! Kau sudah berada dalam genggamanku! Tak akan ada yang menolongmu!"

Makhluk itu berdiri di belakangku. Memeluk erat tubuhku. Lengan kanannya mencengkeram daguku, menengadahkan kepalaku ke atas dan dia menghirup napasku. Lama kelamaan aku mulai sesak. Sesuatu perlahan keluar dari mulut dan hidungku. Seperti cahaya, transparan, putih kebiruan. Jiwaku akan diisap olehnya!

"Danny!" teriak seorang gadis.

Suaranya menggema.

Tempat gelap itu dalam sekejap berubah terang.

Sebilah benda tajam melesat di atas wajahku bak anak panah.

Evilis Naifu.

Benda itu menancap di kepala Sandekala yang menjeratku.

Dalam hitungan tak sampai satu detik, makhluk itu musnah menjadi abu. Aku tersungkur ke permukaan yang keras. Saat aku melihat sekeliling, aku berada di atas batu meja.

Aku lihat Shanty dan neneknya berada tak jauh dariku. Gelapnya hutan terterangi oleh ribuan bintang yang menghiasi malam ini.

"Danny! Di belakangmu!" teriak Shanty.

Sandekala lain mendekatiku. Bukan cuma satu atau lima atau sepuluh tapi ratusan. Mereka menyesaki hutan hitam.

Para Sandekala itu saling memanjat bukit batu. Berlomba-lomba mendapatkanku.

Tiba-tiba seberkas cahaya meluncur ke angkasa. Dan kali ini aku tahu dari mana asalnya. Tongkat itu. Tongkat berkepala emas milik nenek Shanty itu mengeluarkan cahaya saat dia mengangkatnya.

Cahaya itu meluncur ke angkasa seperti roket dan meledak. Memecah belah sinarnya menjadi bagian-bagian kecil. Butiran-butiran cahaya itu jatuh seperti meteor yang menghancurkan bumi. Cahaya itu menghujani para Sandekala. Ledakan demi ledakan terdengar ketika cahaya itu menyentuh wujud dari Sandekala bersamaan dengan hancurnya raga mereka.

Berkali-kali cahaya itu menerangi angkasa

Menerangi hutan hitam yang gelap.

Membikin para Sandekala hancur lebur.

Mereka menjerit.

Mereka melolong.

Mereka melengking.

Makin lama makin memekakan telinga.

Pekikan yang dipenuhi kesedihan dan penderitaan.

Di balik raungan kesengsaraan iblis itu, aku dapat mendengar suara lainnya.

Suara anak-anak ketakutan yang meminta tolong entah di mana.

"Kakak tolong kami!"

"Bebaskan kami!"

"Kami takut!"

Jerit tangis, duka lara, dan rasa sakit mereka terngiang-ngiang di kepalaku. Aku tak tahu lagi apa itu berasal dari para Sandekala, atau anak-anak yang telah diculik mereka.

Sekuat tenaga aku tutup telinga.

Tak bisa.

Aku tak sanggup lagi.

Aku lemah.

Aku sakit.

Aku jatuh pingsan.

Kie Light #1: Sandekala (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang