keduapuluhtujuh

192 7 2
                                    

Bandung aku kembali. Saat ini aku konvoi main ke Bandung bersama teman-teman kampusku. Suasana bandung lebih ku rasa saat ini, kenapa? Karena biasanya saat bersama Wira aku hanya berada di kamarnya. Bandung begitu romantis dari semua penjuru sudut yang tak dapat kulukiskan. Malam begitu gelap saat aku masih berada di icon Bandung paling hits dan yang menjadi keinginanku, berfoto dengan latar belakang tulisan Pidi Baiq.

Jam ku lihat sudah pukul 12 malam dan kami masih belum tahu menginap di mana. Akhirnya kami putuskan untuk tidur di salah satu masjid. Menyedihkan tapi seperti itu lah kira-kira. Ku kirimkan lokasiku pada Wira dan Wira langsung membalas dengan cepat. Menanggapi keberadaanku yang berada di tengah kota Bandung sementara ia berada di selatan bagian timur di kabupaten Bandung.

"Lagi dimana? Udah malem kenapa masi main?"

"Ini udah mau tidur di masjid"

"Jangan kaya gembel ke kontrakan aja sini"

"Ama temen-temen banyakan"

Sebuah telepon masuk, nama Wira terpampang jelas di layar handphone. Andai kalian lihat reaksi wajahku pasti kalian sudah tertawa.

"Ke bandung kenapa gak ngomong?"

"Dadakan ini"

"Berapa orang?"

"7 orang"

"Yaudah kesini aja gapapa muat ini mah"

"Gausa udah malem Ra"

"Dari pada kaya gembel?"

"Gapapa kok"

"Kapan kesini lagi? Gue tunggu. Apa besok pagi-pagi dijemput?"

Aku terdiam. Pilihan yang amat begitu sulit, aku tak tahu ini pilihan seperti apa. Disatu sisi aku sangat menginginkan bertemu dengan Wira. Namun disatu sisi pasti teman-temanku tidak akan setuju jika aku bersama Wira. Dan aku tak tahu yang jelas rasa ini selalu menginginkan untuk kembali kepangkuannya. Selalu ingin kembali lalu kembali kepangkuan laki-laki sipit penyejuk hati.

"Sha?"

"Iya akhir bulan gimana? Gakbisa kalo sekarang soalnya gue harus balik pagi-pagi,"

"Ditunggu,"

Telepon langsung terputus dari seberang sana. Kulihat wajah ku dari cermin handphone. Merona merah seakan begitu bahagia. Entah lah, disaat orang mati-matian mengejar cintanya untuk bahagia, aku dengan mudah bahagia hanya karena mendengar suaranya. Suara anak itu, entah meskipun biasa saja kurasa aku begitu bahagia mendengar suaranya. Mungkin ini cinta sejati? Aku bahkan tak terlalu berharap esok hari Wira kembali sebagai pendamping, yang aku rasakan dan aku inginkan, ia bahagia, dengan siapapun ia bersama, aku hanya ingin ia bahagia.

"Kenapa lo senyum-senyum?" Tanya Dzikril.

"Sha, jangan gila please," tambah Dhika.

"Apaan sih gakpapa elah udah ah mau tidur," balasku.

Langit Bandung berada dalam titik tergelap. udara dingin masuk ke dalam pori-pori bergerak masuk menusuk tulang. Tidur di masjid dengan tubuh yang langsung menginjak lantai dan udara dingin memperkeruh, membuat aku semakin terbuai dalam kenyamanan saat seluruh tubuhku berhasil ku tutup dengan jaket. Nyaman, senyaman diriku yang berada di dalam pelukanmu. Terdiam menatap hari esok, andaikan boleh ku bertanya pada hari esok

"Akankah aku masih dapat merasakan pelukannya esok hari?"

***

Dua minggu berlalu saat ini aku sedang sibuk merasakan UAS pertama dalam kehidupan perkuliahan. Entahlahmungkin baru semester awal sehingga aku begitu memikirkan. Aku menyusun strategi. Kata orang, belajar malam akan lebih meningkatkan daya ingat sehingga aku tidur lebih awal dan bangun pukul 2. Semua sudah ku atur, alarm berkali-kali pasti terdengar begitu menyakitkan karena kuletakkan handphone persis di telinga. Siap dan aku tidur menunggu pukul 2.

Dretdretdretdret. Suara handphone mengagetkanku dan membuatku terbangun. Bukan, aku bukan kaget karena begitu keras di telinga, tapi aku kaget karena suara yang keluar bukanlah suara alarm yang biasa kudengar. Mataku masih samar-samar melihat saat ku baca telepon masuk dari Wira. Aku langsung duduk mengamati layar handphone. Setelah aku pastikan itu benar Wira, aku menggeser ke kanan icon hijau sehingga ku dengar suaranya yang begitu ku rindukan. Boleh aku minta tiap malam seperti ini?

"Udah tidur?"

"Udah tadi tapi bangun mau belajar"

"Ngapain belajar?"

"Ih kan gue lagi UAS"

"Gue lagi UAS aja malah telponan"

"Iya gue juga sekarang malah telponan"

"Kapan kesini? Janjinya kemarin apa?"

"Kalo bisa sih selasa depan, kalo lonya bisa sih"

"Bentar gue kirim jadwal UAS"

Dertdert. Suara pesan masuk dan benar, Wira mengirimkan jadwal UASnya padaku.

"Liat dah gue udah ngirim tuh gue UAS selesai Senin"

"yauda berarti bisa ya? Gue juga UAS selesai hari Senin"

"Senin jam?"

"Sampe jam 11"

"Yaudah berangkat senin aja kan bisa sampe sore disini"

"Mau makan-makan dulu sama temen ih"

"Bisalah sore yaaaa"

"Yaudah iya tapi gue bawa motor"

"Berani?"

"Berani lah"

"Yaudah ati-ati, jangan pake jeans takut ujan, pake sepatu"

Perbincangan beralih ke aktivitas yang ia lakukan. Ya meskipun Wira tak pernah bertanya aktivitasku disini, mendengarkan seluruh celotehnya itu sudah membuatku bahagia sendiri. Entah lah ku rasa pipiku begitu pegal tersenyum saat ini, berjam-jam ku dengar celotehnya dan selama itu pula senyum selalu mengembang sempurna di wajahku. Kebahagiaan apa yang Tuhan berikan, aku bahkan sampai melupakan jika paginya aku harus bertemu dengan dosen killer, pelajaran sulit, dan pelajaran yang belum terserap sempurna di kepala.

***

"Ra, gamau berangkat kalo lu belom bales chat gue,"

Entah sudah berapa pesan Line yang ku kirimkan dan jahatnya Wira tak membalas sedikitpun chatku. Waktu sudah menujukkan pukul 14:30 dan belum ada tanda-tanda manusia itu membalas pesan. Aku terdiam melihat layar handphone. Bahkan aku sudah siap berangkat sejak 1 jam yang lalu dan Wira hingga saat ini belum memberikanku kabar sama sekali. Iseng ku buka jadwal UAS-nya.

"Oh dia masi ada kelas ampe jam 15:15," kataku yang sudah sangat cemas. Meskipun begitu rasa cemasku belum hilang, aku hanya takut ia membatalkan janji dan ya, aku harus mengubur rasaku untik bertemu.

Setengah jam lebih kucoba untuk menunggu tanpa menerornya saat 15:15 handphone ku berbunyi. Sebuah pesan masuk yang ku tunggu hadir dan membuatku bersemangat.

"Gue kuliah dongoo, yaudah sini aja otw,"

***

Udara dingin terminal leuwipanjang menyambutku saat aku turun dari bus. Padatnya aktivitas membuatku bingung, harus kemana lagi untuk menunggu Wira? 15 menit lalu aku mencoba menghubungi Wira, meminta menjemput karena aku sudah ingin exit dari tol. Dan hingga kini, aku tak melihat tanda-tanda manusia itu ingin membalas.

Aku mengutuk hati. Tak percaya dengan apa yang dilakukan Wira saat ini. Aku pergi ke kota ini membawa kebahagiaan, lalu semudah itu ia hempaskan dengan kejadian-kejadian tak terduga. Apakah aku harus kesini dengan kenangan? Lalu aku hempaskan disini bersama anganku untuk bersamamu? Entah, berapa kali ia menjatuhkanku, menerbangkanku bersama angin, dan nyatanya saat ia membutuhkanku ia kembali, kembali memanggil angin untuk mengirimkanku padanya, dan bodohnya, aku mengikuti keinginan angin. Sesulit inikah mencintai?

***

Maafin aku yang gak pernah update lagi. Maafin aku lagi sibuk di dunia nyata yang bikin cerita ini terabaikan. Karena dunia nyata begitu menguras tenaga.

Btw kayanya ceritanya mau tamat, tapi gatau juga deh, mau aku samain sama kenyataan? Atau di improve? Kalo disamain sama kenyataan mah endingnya masih lama:")

Bandung dan Semua Yang Tertinggal [TAMAT]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum