Kesembilanbelas

222 7 0
                                    

Sudahlah sepertinya sia-sia apa yang ku lakukan saat ini. Semua seakan biasa saja, tak ada yang spesial untuk hari esok.

Wira tak membalas apapun setelah itu. Mungkin Wira sedang mencari contekan untuk memaksakan datang. Ya bukannya Wira selalu seperti itu? Aku masih ingat saat ulangtahunku yang ke-16 dan aku mengajaknya untuk datang dan dia tak datang dengan alasan teman, teman dan teman. Aku bahkan hampir muak melihat tingkahnya itu. Aku yang selalu di nomer sekiankan dan teman yang selalu diagungkan, itu Wira.

Aku membuang angan-anganku untuk kehadirannya, sudahlah, bukankah ini sama dengan jalan-jalan gratis?

Aku tidur di kamar Zhani. Kamar Zhani tidak luas, hanya kasur kecil dan lemari saja yang muat di dalam. Zhani memang tinggal bersama tantenya di sini dan menempati kamar depan. Teman-temanku serta Zhani tidur di depan tv, bersana motor yang entah ada berapa terparkir di dalam. Aku melihat ke sekeliling, membayangkan hari esok aku bertemu dengan Wira, ah bukankah bermimpi itu boleh?

Pintu digedor oleh Zhani agar dapat membangunkanku. Memang kita harus berangkat sebelum pukul 6 untuk menghindari buka tutup jalur yang diberlakukan di Puncak. Ku lihat handphone, pukul setengah 4 tanpa ada chat dari Wira, kemana dia?

Aku segera membuka pintu. Di depan berdiri sesosok manusia tinggi dengan baju yang sudah rapih, Zhani sudah mandi jam segini.

"Cepet mandi, gantian ama yang laen," aku segera berangkat ke kamar mandi dengan wajah yang masih mengantuk. Padahal aku baru saja tidur jam 1 dan sudah dibangunkan jam segini.

Dua jam berlalu dan kami semua siap untuk berangkat. Kami berangkat dengan dua mobil, yang satu dikendarai oleh Muchlis. Canda tawa berterbangan, mengisi perjalanan dan mengisi kekosongan. Kosong, hampa, tawaku hanya penghias, penghias waktu yang berjalan meski tak diinginkan, waktu, aku hanya ingin bertemu Wira sekejap, meskipun itu membuatku semakin rindu.

Pukul 10 aku sudah sampai ke dalam villa dua lantai yang amat elok. Rombongan dari Bekasi sudah lebih dahulu sampai sehingga pacar Zhanipun sudah sampai terlebih dahulu. Aku memang dekat dengan Puspa, bahkan Puspa mengetahui ceritaku bersama Wira. Ku pinjakkan kaki di lantai dua yang begitu dingin menembus sukma, entah bagaimana caranya aku untuk mandi di sini? hari ini sudah siang namun masih terasa dinginnya.

Kegabutan terjadi. manusia-manusia yang baru sampai langsung mengambil posisi terenak untuk tidur. meninggalkan aku dan Puspa yang sedang tertawa-tawa bercerita tentang kehidupan.

"Wira dateng gak Sha?" tanya Puspa padaku.
"Ih gatau gue, dia bilang dateng kalo tugasnya selesai," jawabku.
"Mampus aja lu kalo dia ga dateng mah, tapi ga papa sih yang penting lu udah di sini nemenin gua haha tau gak sih gue tuh diizinin karna lu ikut," kata Puspa.

Canda tawa terukir. Puspa sudah berpacaran hampir setengah tahun dengan Zhani. Baru saja Zhani jadian satu minggu, dan Wira langsung memutuskanku, menyedihkan memang, namun bukankah itu kehidupan?

Malam tiba saat semuanya makan malam di bawah. Makan malam ini bersama keluarga dari Zhani. Muchlis dan Fajar tak henti-hentinya meledek ibu-ibu yang rata-rata sudah paruh baya, mereka digoda di cubit-cibut hingga aku saja merasa jijik melihatnya. Makan malam yang waktunya terasa begitu cepat.

Wira tak mengabari apapun. cukup sekali saja aku mengharapkan kedatangannya. sudahlah memang tak akan datang. yang ada hanya angan saja.

aku berjalan ke atas sembaring melakukan briefing sebentar tentang rencana nanti malam. acara malam ini digabung dengan adiknya Zhani sehingga ada dua kue yang dibawa di mobil, dan aku harus memegang kue bertuliskan 12, ultah si gendut. setelah beres aku kembali ke ruang depan, berpura-pura menonton tv dan seakan tak ada yang ku sembunyikan.

malam semakin larut. suara jangkrik tak henti bersenandung. aku melihat sekitar bagaimana gelap sudah sangat gelap diluaran. aku bergerak bangkit dari depan tv pukul setengah 12. sudah 3 setengah jam aku menunggu kehadiran Wira, namun apa? batang hidungnya bahkan tak nongol. mana mungkin ia sampai disini pukul 12? atau bahkan jam 2? jam 3? tidak mungkin kan?

kenapa selalu seperti ini? kenapa dia tak melakukan yang seharusnya dilakukan olehnya? aku datang demi wajah imutnya, demi mengikuti panggilan hati untuk melihat seraut wajah nan elok yang sudah beberapa bulan tak ku lihat. boleh aku menitip rindu? bilang pada angin aku ingin meminta agar mereka menerbangkanmu ke sini. ketempat ini, diam menemani

------
maap repost biar enak dibaca sama kalian;;)

Bandung dan Semua Yang Tertinggal [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang