keduapuluhsatu

218 7 0
                                    

Jujur. Aku bingung. Dengan mudahnya dia datangi aku? Padahal bukannya dia tak henti menghindari?

Wira masuk ke kamar. Cukup lama aku menunggu. Menunggu dengan perasaan bingung. Aku tak tahu ingin berbicara apa, hatiku hanya ingin satu, bertemu melihat dan menatap sampai puas, sampai rasa rinduku tak berkarat di dalam hati. Andai Wira mengerti rasa cintaku padanya seperti apa.

Aku terdiam mendengar langkah kaki yang keluar dr kamar. Wira berjalan tanpa melihatku, membuang wajahnya dan seakan tak ingin melihatku. Tuhan, boleh buka mulutku dan bertanya apapun? Aku masih ingin menahannya di sini. Menemani dalam sepi.

"Pulang kapan?" Tanyaku begitu lugu.
"Nanti jam 6an," jawabnya yang langsung melihat ke arahku mendengar aku bertanya.
"Mau kemana?" Tanyaku lagi.
"Ke saung," dan ia langsung bergegas pergi.

Ah damn. Kenapa aku begitu kelu berbicara? Aku bukan aku yang biasa, mengapa ia begitu mudah membuyarkan fokusku. Tuhan kenapa Wira selalu seperti ini Tuhan. Aku bahkan tak mampu mengeluarkan sstu huruf yang ada di dalam hati.
"Lah Wira ke atas tadi?" Tanya Puspa.
"iya masuk ke kamar gatau ngapain," kulihat Puspa beranjak ke dalam dan melihat ke kamar yang ada di dekat kamar mandi.
"Hape doi sony ya? Kayanya dia ngecas dah tadi perasaan gaada yang pegang hape sony," katanya.
"Lu kenapa si Sha? Kayanya kalo di depan Wira kaku banget?" Tanya Puspa dengan begitu frontalnya.
"Gatau, dia bisa bikin apa yang gue pikirin di otak ilang," jawabku.
"Bukannya tadi lu bilang suruh dia ke sini ya?" Tanyanya lagi. Aku hanya menggangguk.
"Bisa jadi kan ya si Wira ke sini karena suruhan lu," balas Puspa.
"Apaan si gamungkin lah orang dia ngecas, awalnya gua kira gitu eh lu bilang dia ngecas yaudah pupus harapan," jawabku dengan nada kecewa.
"Lah itu batrenya ga abis-abis banget anjir bukan lowbat bisa lah karena lu mah Sha," jawab Puspa dan aku langsung bergegas berlari ke arah kamar. Kulihat handphone sony keluaran terbaru sedang di cas dan benar, batre hape tersebut tidak kosong, mungkin masi ada setengah atau bahkan kurang sedikit.
"Bener kan?" Tanya Puspa penasaran dan aku hanya mengiyakan dengan senyum yang mengembang.
Satu jam berlalu saat ku dengar langkah kaki dari tangga dan terlihat Wira dengan beberapa temanku sedangkan yang lain sepertinya masih di bawah. Mereka bertiga dan Fadhlul dan Muhlis melangkah ke kamar yang terletak di dekat kamar mandi. Wira mendekat ke arahku, aku yang sedang duduk di samping tv tidak melihat saat Wira mendekat, aku hanya merasakan seseorang menarik rambutku dan mengucapkan kata "tidur udah pagi".

Oh tuhan, sejak kapan manusia ini begitu peduli dan menunjukkan di depan orang? Ada Puspa di dalam kamar yang pastinya ia melihat kejadian itu.

Aku refleks berteriak dan memegang tangannya, entahlah tangannya selalu beda dirasakan oleh ku, entah perasaan apa namun berbeda yang kurasa membuat hatiku berdesir. Ia langsung menghempaskan tanganku, dasar Wira selalu saja begitu.

Malam ini begitu indah bukan?

Kami tidur bersama di sebuah kamar yang amat luas. Kulihat Wira tak kebagian kasur dan ia memilih tidur di lantai. Penyakitnya itu? Bukannya ia tak boleh tidur beralaskan lantai? Apalagi udara begitu dingin. Aku terbangkan selimut yang ku pegang untuknya, biarlah aku yang kedinginan asal jangan dia. Aku tertidur setelah itu, sebelumnya sudah ku alarm pukul 6 saat Wira seharusnya berangkat kembali ke bandung, pagi? Boleh pergi saja? Datanglah saat rinduku telah habis.

Aku terbangun dengan suara kokokan ayam. Ku lihat Wira masih tertidur, namun sudah di atas kasur. Ku bangunkan dengan menggoyangkan tubuhnya dan holla dia tak bangun sedikitpun. Ingin rasanya aku memberi dia obat tidur agar ku lihat dia di sini terus menerus. Aku mandi dengan buru-buru sebelum di dahulukan orang lain. Lalu setelah mandi aku kembali ke kamar dan melihat Wira begitu sexy dengan wajah bangun tidurnya. Wajahnya tak sedikitpun melihat ke arahku. Menyedihkan.

Anak-anak ingin ke air terjun hingga mereka tak ada yang mandi. Aku dan Puspa menunggu di villa, aku dan Puspa tak suka dengan air. Kulihat Wira merapihkan tasnya. Kemeja birunya amat serasi dengan indahnya langit pagi bersamanya. Semilir angin tak henti menghiasi hari-hari. Hariku begitu berwarna melihat Wira begitu mudah menghiasi hari-hari.
"Sha kayanya Wira ikut ke air terjun dah," kata Puspa.
Aku seketika berubah fikirN, kurayu Puspa yang sebenarnya tidak mau. Tekadku bulat, kapan lagi rekreasi bersama Wira? Huh begitu menyedihkan hidupku, selama setengah tahun bersana bahkan aku dan Wira tak pernah jalan berdua, mentok-mentok ngobrol di kantin sekolah berdua, mengenaskan.

Semua bersiap dan aku juga sudah bersiap. Kulihat Wira menggunakan sepatunya membuat rasa curiga dariku. 'Ngapain ke curug aja pake sepatu? Gabasah?' Ku langkahkan kaki mendekat ke arahnya. Saat ini rasa ku berada di atas angin. Tadi malam kurasakan ia begitu peduli padaku sehingga aku begitu pede melangkah saat ini. Ia sedang duduk di lantai bersama tali sepatu yang sedang ia simpul, aku mendekat ke arah telinganya...
"Ikut ke curug?" Tanyaku dengan manis, begitu manis untuk Wira.
"Engga," singkat, padat dengan wajah tak menoleh sedikitpun ke arahku. Wajahnya begitu datar. Tak berubah sedikitpun. Malu? Ya, bagaimana bisa aku melangkah ke arahnya begitu percaya diri kalau sekarang aku hanya diperlakukan seperti itu dengannya?

aku segera berlari ke atas. Tak kuat melihat pemandangan menyakitkan..untung saja tak ada yang melihat aku dan Wira, jika ada mungkin menyedihkan sekali hidupku.

Aku terdiam di depan tv. Puspa mengikutiku dari belakang sehingga saat ini dia juga sedang berada di sampingku. Wajahnya seakan bertanya ada apa padaku, namun ia urungkan, mungkin karena wajahku begitu menyedihkan. Wira, kamu tahu? Pelangi dilangit takan mampu membuatku bahagia. Bulan purnama belum tentu mampu menyinari gelap hati. Titik em bun belum berarti mampu menghilangkan bekunya hati, dan kamu, alasan terkuat yang mampu melakukan itu.

Bandung dan Semua Yang Tertinggal [TAMAT]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin