keduapuluhsembilan

176 13 2
                                    

"Di bukain Zhani tadi ngechat," jawabku sambil masuk ke dalam. Aku langsung meletakkan tasku di belakang pintu.

Tata letak kamar ini berbeda kembali. selalu saja ada kejutan yang diberikan Wira pada tempat ini yang membuatku ingin kembali dan kembali. Saat ini tivi berada persis di depan saat kita sedang tidur. Nyaman sekali kamar ini. Harum pewangi ruangan tak pernah hilang dari tempat ini, harum, seharum tubuhmu saat aku memelukmu.

"Temen gue kecelakaan tadi," Wira membuka suara, memecahkan keheningan antara aku dengan dia.

"Oh yauda gapapa tadi juga gue di jemput Tian, soalnya gue takut," jawabku.

"Takut kenapa?" Tanyanya sambil mempause film finding dory yg sedang ia putar. Sejujurnya aku sedikit syok melihat Wira menonton film kartun anak-anak.

"Gue takut di terminal, mending ilang di stasiun daripada terminal, gak pernah ke terminal," jelasku dan ia hanya ber-oh-ria sambil kembali melanjutkan filmnya.

Aku hanya membuntuti dari belakang, mengikuti apa yang ingin ia tonton. Beberapa kali film habis dan ia selalu menggantinya lagi. Jam 12 mataku sudah setengah terpejam saat aku rasa ada seseorang yang mengamatiku. Terdengar sayup-sayup suaranya, entah ini mimpi atau tidak.

"Yeh udah tidur,"

suara itu mengagetkan dan aku langsung kaget membuka mata. Di hadapanku wajah Wira terlukis jelas karena ia memang sedang benar-benar ada di hadapanku. Wajah Wira tak kalah kaget, ia sepertinya kaget karena aku memergoki tingkah lakunya. Tuhan andai aku bisa membaca isi hatinya, sedikit saja aku ingin tahu apa yang ada difikirannya.

Aku bangun dan terduduk. Menatap layar tivi yang sedang menampilkan film Train To Busan. Tontonan malam yang keren menurutku karena zombie-zombie itu membuat mataku tak dapat terpejam. Wira menonton dengan penuh antusias, wajahnya tak henti mengamati layar televisi yang menurutnya begitu menarik. Beberapa kali ia berteriak kecil, berseru melihat pergulatan-pergulatan ahjussi rasa oppa nya anak kpopers.

Film selesai dan Wira bersiap untuk tidur di sebelahku. Aku tidur agak ke kanan, berada di pinggiran kasur, berharap ia memberikan jarak yang jauh untuk tubuh kami. Namun yang terjadi, ia tidur di sebelahku, hanya ada sekitar setengah meter.

"Masih mau nonton?" Tanyanya.

"Engga, gue gabisa tidur kalo orang masih aktivitas, kalo lu tidur tar gue juga tidur," jelasku.

Tivi dimatikan. Tidak ada cahaya sedikitpun yang masuk ke dalam, hanya kulihat bayang-bayang barang yang ada di dalam. Aku mencoba sedikit mendekat ke arah Wira, setidaknya selama mencoba tidur, aku merasa bahwa aku tidak sendiri.

Tangan Wira memelukku, tepat saat aku mencoba ingin tidur karena ku rasa ia sudah lebih dahulu terlelap. Jantungku sudah tak tentu arah, entah bagaimana lagi suaranya, yang jelas aku begitu kaget merasakan pelukannya. Namun tak dapat ku pungkiri, aku rindu. Suara nafasnya begitu terdengar jelas, nafasnya bahkan terasa begitu hangat saat menyentuh kulitku. Boleh bertanya apa arti semua ini? Entah padahal aku selalu tahu bahwa kebersamaan kami tidak akan lama, namun entah aku begitu terbuai dengan kebersamaan ini meskipun hanya sesaat.

Aku membuka mata, menengok ke arah Wira yang begitu erat memeluk tubuhku seakan berbicara mengenai rindu. Wira melihatku dengan tersenyum saat mataku beradu dengan matanya. Ia tersenyum lebar lalu kembali memelukku lebih erat lagi sambil membenamkan wajahku di tubuhnya, membuatku sedikit tak bisa nafas namun ini sungguh nyaman. Biasanya tubuh kami berbeda 100km namun saat ini, hanya waktu yang dapat memisahkan.

Omong-omong tentang rindu, tau apa ia tentang rindu? Ia hanya mampu datang dan pergi seenaknya, aku yang setiap hari menhan rindu, aku yang setiap hari menunggunya menyuruhku ke Bandung, aku yang menunggunya dan ia dapat pergi seenaknya. Wira, kurasa jangan mengenal rindu, rindu itu berat, tidak ada obat selain bertemu, ku harap kau tak pernah merasakan sakitnya merindu, karena rindu jahat, semakin dekat ia akan bertambah tak ada penawarnya. Jahat bukan?

Wira melepaskan tubuhku, melonggarkan pelukannya lalu aku melihat kearah matanya. Matanya begitu lekat menatapku, tanpa henti ia terus mempusatkan matanya ke mataku, dalam seakan bola matanya berbicara. Tangan kanannya bergerak, mengelus-elus pipiku dengan lembut. Aku terpana dengan pesonanya. Manusia itu begitu sempurna dengan apa yang ia miliki. Matanya perlahan memejam meskipun belaian tangannya tidak berhenti.

"Tidur," katanya lalu kembali membuka mata. Lagi, ia menatapku, dalam membuat rasaku begitu dalam merasakan gejolaknya. Mengapa bersama Wira aku bisa selalu jatuh, jatuh, dan jatuh?

Entahlah, malam ini begitu indah. Bulan bersinar cerah, secerah sinar manusia imut dipelukanku. Malaikat yang selalu menebar cinta di dalam hatiku, saat ini bahkan tak berjarak, menebar puluhan kali lipat rasa cinta.

***

Waktu berjalan begitu lamban. Aku kesal, ditinggalkan sendiri bersama bayangan. Sudah 5 film ku putar dan sudah ratusan ronde ku habiskan untuk tertidur. Aku memang bukanlah orang yang terbiasa begadang, namun aku juga tak terbiasa tidur jika orang lain masih terjaga, kecuali aku begitu capek seharian.

"Laptop dipake gak?" Tanya Wira padaku.

Jelas-jelas laptopnya masih aku gunakan untuk menonton film retorik kan?

"Engga udah matiin aja Ra," jawabku pasrah. Satu-satunya hiburanku disini bahkan diambil olehnya.

"Pulang kapan?" Tanyaku.

"Besok pagi ya jam setengah 4, lewat mana si?" Tanyanya kembali.

"Gue apal jalan kok," jawabku.

"Yaudah istirahat biar besok gak ngantuk," ucapnya sambil melepaskan kabel yang menghubungkan laptop dengan televisi.

Wira tetap di dalam kamar. Menatap lekat laptopnya tanpa sedikitpun menengok ke mana-mana. Game lagi, game terus, game mulu, dasar Wira.

Aku terbangun saat ku rasa ada seseorang di depan wajahku. Aku segera membuka mata dengan kaget. Kulihat wajah Wira terlihat begitu full dimata.

"Kenapa sih baru di tengok gitu aja udah langsung bangun? Gue baru pengen nyolek," kata Wira.

"Jangan kaya gitu makanya, kaget tau," balasku.

"Udah jam 3, setengah 4 jalan ya, sana rapih-rapih," ucap Wira sambil berlalu ke luar.

Hanya hitungan beberapa jam saja sepertinya aku dan Wira akan kembali memberikan jarak pada hati. Akan kembali mengisi puing-puing di dalam ruang rindu. Tidak bisakah aku bersamanya sampai bosan lalu baru kami beri jarak kembali?

Jam setengah 4 aku dan Wira segera berangkat. Manusia-manusia di sini masih terlelap, tak ada satupun suara yang ku dengar. Wira memberikan helm padaku saat ia menatapku lekat-lekat. Aku yang tidak tahu apa-apa memilih untuk memasang helm tersebut dan ia masih menatapku.

"Udah bisa ngancingin helm?" Tanyanya dan seketika tawanya pecah.

Flashback selalu flashback. Aku ingat bagaimana dulu aku dengan bodohnya tidak bisa memasang kancing helm dan alhasil aku memegangi helm sampai tujuan.

"Udah orang ini bukan kaya dulu ini mah tinggal masukin doang," jawabku sebal dan ia masih saja mengontrol tawanya.

Udara Bandung di pagi hari begitu sejuk, sesejuk hati ini saat melihat senyummu. Udara Bandung pagi ini begitu dingin, sedingin perasaanmu yang tak tahu bahwa aku mencintaimu. Udara Bandung saat ini sangat iconic, membuat aku ingin untuk kembali dan kembali berada dalam tempat ini, bersama laki-laki ini, Wira.

***

Hehe baru update ya aku. Maaf ya. Abis ngeflashbacknya bikin senyum-senyum sendiri sih hehe. Semoga kalian suka sama part ini. Jangan lupa comment dan vote biar aku tau pembaca setiaku siapa aja hehe:D stay di Bandung dan Semua yang Tertinggal!

Bandung dan Semua Yang Tertinggal [TAMAT]Where stories live. Discover now