keduapuluhempat

196 9 0
                                    

"Chan anter gue ke bandara chan gua mau ke Medan," ucapnya berburu-buru. Aku menjadi kepo dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Jika ada yang lupa, Wira memang selalu dipanggil Kochan oleh teman-temannya sehingga aku saja tak pernah mendengar mereka memanggil Wira dengan sebutan 'Wir' atau 'Ra'.

"Ngapa sih lu panik banget?" Tanya Wira.
"Nenek gue meninggal anjir ini di Medan, cepet anter gua ke bandara," jawab laki-laki itu.

Semua anak di rumah ini keluar mendengar pembicaraan mereka yang sepertinya terdengar hingga tembok tetangga. Aku melihat di kaca wajah-wajah kaget dan bingung, malah ada dengan wajah baru bangun tidur dan menggaruk-garuk rambutnya.

"Lu ke bandara Bandung apa Jakarta??" Tanya Wira lagi. Yang lain hanya seakan mengiyakan apa yang ditanyakan oleh Wira.
"Gatau dah yang penting bisa sampe Medan gece, asli ini tar gua di apus dari KK kalo kelamaan," jawabnya lagi.
"Ya sekarang online booking aja dulu, selaw kalo lo panik gabakal bener," ada suara yang entah dari siapa, kaca di kamar ini tak begitu jelas menangkap wajah-wajah mereka yang memang jauh dariku.
"Nah iya," balas Wira.

Laki-laki berparas rupawan itu segera membuka handphonenya, entah apa yang ia lakukan, mungkin mengikutin usulan temannya. Aku hanya memperhatikan dengan seksama apa yang mereka lakukan, terdiam karna aku tak mengerti.

"Nih kalo dari Bandung besok pagi, ah anjir dah gila aja gue dateng besok pagi, udah ditusuk-tusuk kali gue, kalo jakarta ada malem," jelasnya dengan wajah yang masih panik.
"Jakarta jam berapa?" Tanya Wira.
"Jam 11, keberangkatan paling malemnya," jelasnya.
"Nih dari sini ke leuwi panjang 15 menit, dari Bandung ke Bandara 3-4 jam kalo macet, sekarang jam 6:15 misal mobil lu jalan jam 7 berarti sampe jakarta jam 8, 9, 10, 11," Wira menghitung dengan jarinya.

"Udah cobain aja dulu," seru seseorang yang lain.
"Yauda ayo Chan," kata laki-laki itu yang kemudian ia kembali ke kamarnya.

Wira menggunakan celana panjangnya dan tak lupa jaket gunungnya yang selalu menemani tubuhnya. Dalam hatiku bergemuruh, 'ini gue ditinggal?' Tanyaku dalam hati dan tak berani untuk bersuara. Aku hanya mengikuti pergerakan Wira yang sedang bersiap-siap, hanya itu, berharap Wira mengerti bahwa aku membutuhkan banyak sekali jawaban di otak.

"Gue ke terminal dulu, sekitar setengah jam lah, kalo ngantuk tidur duluan, pintunya tutup jangan dibuka," amanahnya dan ia langsung keluar dan menutup pintunya rapat-rapat.

Dan inilah aku, di dalam kamar ini, sendiri. Bahkan kamar-kamar lain tak terdengar suaranya, mungkin mereka sedang terpaku di tempatnya masing-masing, sedang memimpikan sesuatu yang indah atau mungkin sedang belajar, entahlah. Aku memutar film lagi, tak sulit bagiku untuk membuka kunci laptop Wira, dari dulu tetap sama.

Aku memutar film 3 idiots yang entah sudah berapa kali ku tonton, niatku hanya mengusir kebosanan, disini, rumah ini begitu hening, aku tak suka. Aku lebih suka jika rumah ini di hinggapi suara, dari Wira yang amat ku rindu.

Aku terbangun dari tidur, kulihat laptop Wira sudah tak ada di tempat semula. Aku mencoba meraih handphoneku, sudah pukul 11. Lampu kamar ini bahkan dimatikan oleh Wira. Aku mencari di mana Wira namun sepertinya ia di luar kamar ini. Aku terdiam, kepalaku pusing dan sudah tak nafsu untuk tidur. Aku terdiam melihat tembok kamar yang berwarna hijau, kosong.

"Udah bangun?" Tanya Wira setelah ia membuka pintu. Aku hanya mengangguk.
"Laptop gue bawa ke depan ya, besok kalo bisa bangunin gue pagi, gue ada kuliah jam setengah 7," katanya lagi. Aku hanya mengiyakan, lalu dia pergi.

Mataku masih sangat mengantuk. Entah aku bingung apa yang harus ku lakukan di sini. Gabut. Satu kata itu sepertinya menarik untuk di rasa saat ini. Wira meninggalkanku sendiri dan aku? Aku tak mengerti harus melakukan apa lagi. Mataku masih terasa berat, mungkin efek kemarin aku tidur paling larut. Tanpa sadar aku tertidur dipelukan guling chelsea yang biasa menemani Wira, sepertinya.

Aku bangun saat alarm ku berbunyi. Jam setengah 6 dan aku segera ke kamar mandi untuk mandi. Di sini ada 6 kamar, ada yang tertutup dan ada yang terbuka, ku lihat banyak yang terkapar, seakan mereka tidur dengan sangat pulas. Aku berfikir, dimana Wira? Ada 3 kamar yang pintunya terbuka selain pintu kamar Wira yang ku tempati. Ku lihat dalam satu kamar bisa beberapa orang yang tertidur dengan posisi yang aneh. Aku hanya tertawa melihat mereka. Ku coba memfokuskan mataku dan tak ada Wira, aku tak melihat Wira di antara manusia-manusia yang ada di kamar itu.

Waktu terus berlalu, dan sudah menginjak jam 6. Ku lihat Wira memakai jaket mapala nya sedang tertidur dengan meringkuk, aku yakin itu Wira, postur tubuh dan rambutnya seakan mengiyakan. Di kamar itu hanya mereka berdua,Wira dan entah siapa yang sedang tidur di kasur, Wira tidur di lantai. Aku memberanikan diriku untuk masuk ke dalam kamar tersebut, rasanya tak enak langsung masuk begitu saja. Ku guncang tubuh Wira. 15 menit berlalu dan ia masih saja tak bangun, bahkan tak bergerak sama sekali. Aku sedikit frustasi, entahlah apa yang harus ku lakukan lagi membangunkannya. 5 menit kemudian ia bangun.

"Ha?" KAtanya dengan wajah setengah sadar.
"Bangun katanya kuliah jam setengah 7," jawabku.
"Ayo," ajaknya dan aku mengikutinya dari belakang.

Ia masuk ke kamar lalu menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Mau tau apa yang ia lakukan? Ya dia tidur kembali dengan tubuh dibalut oleh selimut tebal. Aku terdiam melihat tingkah lakunya, ku kira ini sudah berakhir tapi aku tetap saja harus membangunkannya. Aku frustasi saat jam sudah menunjukkan 6:30, sudahlah aku tak sanggup menghadapinya.

Aku bermain handphone di pinggir kasur saat ku lihat seseorang masuk ke dalam, Zhani.

"Dia bukannya ada jadwal?" Tanya Zhani.
"Udah gue bangunin daritadi ga bangun, tadi cuma pindah dari kamar yang depan," jelasku.

Zhani langsung menggoyang-goyangkan tubuh Wira. Tak butuh waktu lama dan Wira sudah mampu merespon suara Zhani.

"Ha?" Jawabnya.
"Kuliah," balas Zhani.
"Jam berapa?" Tanyanya.
"Udah jam setengah 7 lewat 5,"
"Gausah kuliah dah," balas Wira lagi dan Zhani langsung keluar. Menutup pintu kamar dengan sangat rapat dan aku hanya diam.

Gabut. Kembali lagi kata itu menyeruak. Bayangkan saja, aku datang jauh dari kota lain untuk menemuinya namun saat di sini ia meninggalkanku begitu saja. Ya kalau tidak ditinggal sendiri ya di tinggal tidur, sudah.

Aku melihatnya terbenam bersama selimut tebalnya. Wajahnya tak terlihat, tertutup hingga tak ada satupun tubuhnya yang terlihat. Lampu kamar masih mati, membuatku sedikit takut. Maklum sebenarnya aku hanya berpura-pura saja berani di sini, aku tak pernah tidur dengan lampu dimatikan, apalagi efek the conjuring yang masih terasa. Ku genggam tangan Wira, erat namun aku tetap mempertahankan kenyamanan untuknya.

Perlahan aku mencoba tidur, menahan tangannya agar selalu dalam genggamank, aku bahkan tak ingin waktu memisahkan kita lagi.

Wira sedikit bergerak, menarik tubuhku agar lebih mendekat ke arahnya. Aku hanya terdiam, melihat apa yang ia lakukan tanpa mampu ku berkata, apalagi menolak. Apa aku harus berbohong bahwa aku tak menginginkan ini? Rasanya pelukan darinya begitu hangat terasa, mustahil aku mampu menolak.

"Tidurnya keatasan nanti gabisa nafas," katanya dan aku mengikuti, mensejajarkan wajahku dan wajahnya.

Cup. Sebuah kecupan mendarat di bibirku, aku semakin terdiam, selama ini ia takpernah melakukan itupadaku, sekalipun. Dan kembali lagi, aku tak mampu munafik, aku menyukainya dan tak mampu berbuat apa-apa. Bibirnya masih ditempelkan di bibirku, entah jantungku sudah seperti apa yang jelas aku tak mampu menggunakan logika. 'Tuhan perasaanku terbalas?'

Mungjin ada bagian yang tak pantas di baca anak-anak dibawah umur, mohon kebijaksanaannya dari kalian. Jangan lupa vote & comment ya

Bandung dan Semua Yang Tertinggal [TAMAT]Where stories live. Discover now