Kesebelas

317 15 3
                                    

Aku hanya diam mendengarkan ledekan itu. Mataku terus-terusan melirik ke arah dalam kantin di mana Wira berada. Aku tak menangkap keberadaan Wira, tak melihatnya sama sekali, padahal sudah ratusan kali aku melirik ke arah dalam. Jauh ingin bertemu, dekat tak mampu mendekat.

Pukul tujuh malam gueststar pensi mengguncang gor sekolah yang luas. Ada ratusan mungkin yang menonton. Gemuruh suara terdengar kecil di kantin saat kami mulai bergerak ke arah dalam gor. Aku tak melihat Wira, bergerak sejauh-jauhnya mungkin cara yang tepat untukku daripada dekat dengannya. Di depan gor cap tanganku dicek, memastikan semua yang masuk memiliki tiket. Aku bergegas mengikuti teman-temanku yang sudah jauh meninggalkan di depan, merangsek masuk ke barisan paling depan. Huh ramai sekali, pasti panas kalau di depan sehingga aku memutuskan untuk berada di belakang saja. Aku bersama Apri dan Rico berada di belakang, sedikit menjauh dari kerumunan orang-orang yang sedang menari di depan. Saat mataku mengarah ke pintu masuk, aku lihat wajah manusia yang membuat jantungku berdegup kencang. Ku kendalikan sedikit jantungku yang berdetak tak tentu waktu, lebih cepat dari biasanya. Ia berdiri sedikit di depan dan aku hanya mengamati dari jauh. Tak lama Apri dan Rico mengajakku beranjak sedikit ke depan, melihat penampilan band yang cukup hits saat ini. Tepat sekali di belakang Wira aku berdiri, ia bersama teman-temannya. Suara penampilan band menggema seantero gor. Aku mendekat, mencoba menyapa seseorang yang sudah bertahun-tahun tak pernah ku sapa, hanya ku pandang dari jauh dan hanya mampu ku temani dalam sepi.

"Raaa," sapaku dengan suara sedikit keras agar terdengar olehnya.
"Ha?" balasnya tanpa melihat ke arahku, apa ini? Seperti ini? Ia tak tahu jika aku harus menahan segala rasa untuk menyapanya. Sapaan 'Ra' yang membuat move on-an ku runtuh.
"Ih sombong banget ih," kataku lagi, kali ini aku mengaitkan tanganku di lengannya seperti merangkulnya. Saat itu aku melakukan hal itu untuk mendekatkan diri kepadanya saja, mendekat agar ia mendengar sapaanku karna suara di gor memang sangat ramai, tak ada maksud lain.

Wira hanya menengokkan tubuhnya saja ke arahku tapi matanya mengarah ke sudut lain di gor ini. Entah lah aku sangat kecewa melihatnya, sudah seharusnya aku seakan tak kenal saja padanya, sudah seharusnya aku membedakan antara media sosial dengan bertemu langsung, mungkin Wira baik padaku disaat dia bosan? Masih ku ingat setiap kali ia menelponku, bosan tak ada kerjaan selalu menjadi alasan yang terucap di mulutnya. Aku terlalu berharap, meskipun logika ku menolak untuk berharap namun aku tak dapat membohongi hati, bahwa aku mencintainya dan masih amat sangat berharap padanya.

Pukul sembilan malam aku bergegas pergi dari gor untuk pulang, kembali ke kantin lalu menuju parkiran. Ada Zhani dan beberapa anak-anak tongkrongannya yang entah siapa saja aku tak melihat, sepertinya ada Wira di antara mereka, aku terpaku, aku takut bertemu Wira sehingga pandanganku lurus saja ke depan, tak menengok Zhani atau yang lainnya dan segera pergi ke rumah.

Hubunganku dengan Wira semakin memburuk. Obrolan terhenti semenjak ia bilang ia akan datang, tepatnya aku yang tak menjawabnya. Apa yang harus aku jawab ketika ia hanya bilang 'datang'? Bahkan aku sudah kehilangan kata-kata untuk memperpanjang hubungan di line. Jika ditanya apa aku ingin setiap saat berhubungan dengannya itu pasti aku mau, namun aku tak mampu untuk melakukan apapun lagi.

Satu minggu berlalu semenjak hari itu. Tak ada yang spesial sama sekali. Ada rasaku menunggunya tapi aku tak berani melakukan apa-apa. Mau menghubunginyapun aku bingung apa alasannya. Ku tahan keinginanku untuk menghubunginya, sudahlah aku sudah tak ingin berharap apapun darinya, aku sudah tak ingin menggantungkan hidupku dengannya, pergilah karna jiwaku sudah tak mampu menunggu kehadiranmu.

"Batuk *hasyik*," pesan line masuk pukul 12 malam yang sudah tentu aku telah tidur dan membalasnya jam lima pagi. Nama Wira Wijaya terpajang di layar.

Tahu rasa bahagianya? Aku tak mengerti apa yang harus ku lakukan, aku terlampau senang melihat pesan dari Wira. Mimpi apa aku semalam? Orang seperti Wira, sejutek dan sesibuk Wira, mengirimkan pesan terlebih dahulu untukku?

Aku membalasnya di pagi hari ini. Satu jam kutunggu, dua, tiga hingga berlalu 24 jam namun tak ada satupun jawaban darinya. Wira, beribu rasa tanpa kata, kadang ia membuatku terbang setinggi langit lalu semudah itu ia menjatuhkanku.

Dua hari berlalu semenjak itu. Aku mencoba menyampingkan rasa gengsiku. Malam begitu gelap saat kurasa bulan dan bintang tertutup tebalnya awan. Malam gelap selaras dengan hatiku saat ini. Bayangan Wira terputar jelas terus menerus. Nasi goreng kambing, futsal-an, SOTR segelintir perjalanan yang membuatku senang bersamanya.
"Masih bangun?" ku kirimkan pesan Line kepadanya.

Ku lanjutkan lamunanku mengingatnya. Kedekatan kita bukan seperti orang-orang yang setiap hari bersama, selama beberapa bulan bersama dapat aku hitung berapa kali kita jalan bersama, tapi setiap kali aku bersamanya, selalu saja membahagiakan, ia mampu memberikan warna cerah di hidupku.

***

Tiga tahun yang lalu...

Siang hari yang panas di hari terakhir sekolah dalam seminggu. Aku bermalas-malasan di sekolah karna tak ada guru saat ini, sedang istirahat solat jum'at dan aku tiduran di belakang kelas. AC kelas terasa sangat sejuk karna yang berada di kelas hanya lima orang. Waktu terasa berlalu begitu cepat, aku belum tertidur lelap saat suara langkah kaki terdengar jelas dari lantai. Huh aku tak jadi tidur sepertinya.

"Sha ikut nonton futsal gak?" tanya Zhani padaku sepulang solat, ia bahkan masih tak menggunakan sepatu karna baru saja pulang dari masjid.
"Mau nganter pulang?" aku balik bertanya.
"Eh tapi Wira ikut gak? Kalo Wira ikut gue nebeng dong sekalian anter pulang," tambahku kembali dengan wajah berbinar.
"Ikut dia, sono minta sendiri," balasnya.
"Gak ah, pertama ya hape gue rusak kemaren lagi di benerin, kedua gue malu," jawabku.
"Yaudah kalo gitu tar gue yang bilang," katanya dan ia langsung berjalan menuju kelasnya.
'Apa Wira mau?' tanyaku dalam hati.

Sepulang sekolah aku sudah ingin bergegas untuk pulang, sudah terlalu pede kalau Wira tak akan mau. Jarak rumahku dengannya memang jauh dan kebetulan tempat futsal itu hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai ke rumahnya.
"Sha lu ga ikut?" tanya Rahmah padaku.
"Ah gue bingung pulangnya kalo malem Mah kalo gaada yang nganter," balasku.
"Wira masih pkl ya?" tanya Rahmah.
"Gatau sih tapi katanya dia mau ikut," jawabku.
"Tar lo sama Wira ya orangnya udah di kantin lagi sama temen-temennya," ucap Zhani yang tiba-tiba saja datang diantara aku dan Rahmah.
"Yaudah iya," balasku pendek.
"Nanti gue anterin ke Wira ya belom pada mau jalan kok," katanya dan Zhani langsung beranjak pergi.

Aku menunggu di depan kelas bersama teman-temanku yang juga akan menonton. Kali ini turnamen bergengsi dan tim sekolahku mampu menginjakkan kaki di final sehingga banyak yang ingin mendukung mereka, termasuk aku.

Setengah jam berlalu dan anak-anak mulai turun ke parkiran. Aku mencari Zhani yang entah ke mana rimbanya. Aku melihat ke sekeliling dan tak ku lihat Zhani sama sekali. Bagaimana nasibku?

Zhani muncul saat aku baru saja ingin menuruni anak tangga. Langsung ia menarik tanganku dan membawaku dengan langkah kaki yang cepat, berjalan menuju kantin.

"Kochan dari tadi ngechat Whatsapp lu, dia nyuruh lu ke sini tapi lu ga read," kata Zhani.
"Ya gue bilang hape gue rusak ih," jawabku.

Di ujung sana ku lihat Wira bersama teman-temannya. Cukup banyak sekitar 10 orang dengan 2 orang sedang memegang stick PS. Sepertinya mereka sedang bermain PES. Zhani memanggil Wira dengan kilapan tangannya, menandakan ia memanggilnya. Pemilik mata sipit itu bergerak mendekat, langkah kakinya pendek dan santai, jantungku berdegup kencang, setelah pertemuan sewaktu SOTR kemarin, aku memang tak pernah bertemu lagi dengannya karna ia sedang pkl dan tidak ada di sekolah.

-----------------------------------------------------------

Untuk semua pembaca, Minal Aidzin Walfaidzin mohon maaf lahir dan batin yaa....

Jangan lupa vote dan comment nya yang membangun ya, love!

Bandung dan Semua Yang Tertinggal [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang