Ia berdoa di setiap malam menjelang tidurnya dan di hari natal, jika mungkin Tuhan akan memberikan sebuah keajaiban dimana orangtuanya akan bersama lagi—selamanya.
Finnbar melihat air mata yang menetes di pipi Apple, dia segera memeluk bocah itu dan meminta maaf karena mungkin ucapannya telah melukai hati bocah itu tapi mereka memang pernah bermimpi jika suatu hari nanti, mungkin mereka berdua akan menjadi penyanyi terkenal seperti One Direction.
"Apple, maafkan aku." Ucap Finnbar seraya memeluk Apple yang masih mematung di depan TV, pandangannya tidak benar-benar ke TV itu.
"Lupakan mimpi itu, Finn. Aku sudah berhenti bermimpi! Kau akan menjadi penyanyi terkenal, tapi aku tidak!" Ucap Apple.
"Iya, Apple. Maafkan aku." Ucap Finbarr sembari menundukan kepalanya, ia merasa sangat bersalah telah mengatakan hal itu. Seharusnya dia tak mengatakannya dan ia telah berjanji kepada dirinya untuk tak mengatakan hal itu kepada Apple, mungkin selamanya.
Walaupun Apple sudah terkenal dan dikenal orang di seluruh dunia, entah mengapa dia tak merasa seterkenal anak dari bintang One Direction lainnya. Dia tidak seperti Darcy, usia Darcy dua tahun lebih muda darinya dan dia sangat teramat terkenal, bahkan, Devone, usianya baru dua tahun tapi dunia sangat mengenalnya, bagaimana dengan Kaniya dan Kais, anak dari Zayn dan Perrie, mereka juga terkenal. Hanya dia yang tidak, bahkan, Angel lebih terkenal darinya.
Persetan dengan hidupku!
Apple mulai menyalahkan takdirnya, mengapa dia harus dilahirkan di keluarga yang jelas-jelas takkan bahagia kelak? Kalau ia mampu menolak, ia akan menolak dilahirkan ke dunia. Di dunia ini dia hanya menyayangi satu orang, Daisy. Hanya dia. Wanita yang telah melahirkannya ke dunia, wanita yang sampai saat ini masih merawat dan memberinya kasih sayang.
Apple tak mau mengecawakan wanita itu.
"Mom, aku pergi tidur duluan." Ucap Apple seraya mencium pipi Daisy dan kemudian pergi ke kamar yang untuk sementara akan menjadi kamarnya.
"Good night, love." Ucap Daisy.
Apple tak menoleh dan terus menaiki tangga yang terbuat dari kayu itu.
Dia tak benar-benar tidur, dia hanya sedang memikirkan hidupnya. Bagaimana bocah delapan tahun ini bisa menanggung banyak beban? Seharusnya dia tak memikirkan hal itu, hal yang membuat kepalanya sendiri pusing, matanya berkunang-kunang dan bisa membawanya ke dalam pingsan.
Tapi Apple mulai mengerti, Apple mulai memikirkan ucapan Liam beberapa tahun lalu sebelum akhirnya ia dibawa Daisy ke rumah baru mereka.
'Apple, you're a good boy! You'll be a man, yet I know you're not a man right now. I believe you. I believe in you that you can keep your Mommy safe. You havta make her your everything. No one in this world would fight for you for no reason, but her. No one in this earth would walk alone under the rain and take you to your fave place, but her. And no one in this planet would die for you, but her. No one, Apple!'
Perkataan Liam yang satu itu membuat Apple tegar, dia akan menjadi seorang pria suatu hari nanti, dan ia berjanji kalau ia takkan membiarkan orang yang menyayanginya pergi seperti yang dilakukan ayahnya. Apple memang belum sepenuhnya mengerti tentang hidup, usianya baru delapan tahun tapi dia mencoba.
Terkadang bocah ini bisa memikirkan hal itu semalaman dan terkadang dia bisa total melupakan apa yang ia pikirkan kemarin malam dan menikmati hidup layaknya anak usia delapan tahun pada umumnya. Apple mulai terlelap di bawah selimut berwarna biru dongker yang senada dengan spreinya.
Keesokan harinya, Finnbar mengajak Apple ke taman kota Sheffield. Apple sudah siap dengan sweater tebal, syal, topi dan sarung tangannya yang semuanya berwarna merah. Bocah itu sangat menyukainya.
"Mom, aku dan Finn akan pergi ke taman kota dulu, yah?" Ucap Apple sambil mencium pipi Daisy yang sedang memasak.
"Hey, kalian belum sarapan!" Ucap Daisy.
"Nanti kami akan mampir ke kedai Uncle Josh, dan membeli burger." Ucap Finnbar. Tak berapa lama kedua bocah itu sudah menghilang dari balik pintu.
Jalanan sudah ditutupi salju yang belum dibersihkan oleh sang pemilik rumah, Apple dan Finnbar menerobos guyuran salju itu. Apple menjaga tangannya di dalam kantong celananya dan itu membuatnya sedikit lebih hangat.
"Apple, sebaiknya kita pergi ke kedai Uncle Josh dulu, aku takut nanti kita mati kedinginan lalu tertutup salju dan orang menemukan kita dalam keadaan membeku seperti es." Ucap Finnbar bergurau.
"Baiklah, tapi ucapanmu barusan itu berlebihan." Ucap Apple menyeringai.
"Hihihi, tapi aku memang lapar dan burger Uncle Josh yang berukuran besar bisa membuatku bertahan di cuaca seperti ini sampai makan siang nanti." Ucap Finnbar. Bocah ini sedikit menyukai humor dan ucapannya lebih menjurus ke hiperlebai—maksudku hiperbola.
Mereka masuk ke dalam kedai milik Uncle Josh dan udara di dalam sedikit lebih hangat. Apple dan Finnbar memilih tempat duduk di pojok dekat jendela sehingga mereka masih bisa melihat salju yang turun di luar sana. Banyak anak kecil seumurannya yang sedang bermain dengan salju dan mereka terlihat sangat menikmatinya. Apple sudah tak sabar untuk bergabung dengan mereka.
Finnbar kembali setelah memesan makanan untuknya dan Apple, dia duduk di hadapan Apple. Pandangan Apple masih terarah keluar jendela sana, ia ingin bermain dengan salju-salju itu.
"Aku sudah tak sabar untuk bermain salju, Finn. Dan aku akan membuat boneka salju berukuran besar." Ucap Apple.
"Aku akan membuat boneka salju yang lebih besar dari buatanmu dan bahkan, melebihi besarnya rumah semut di bawah tanah sana," Ucap Finnbar.
Perkataan Finnbar baru saja membuat Apple tertawa. "Memangnya kau sudah pernah berkunjung ke rumah semut?" Apple menyeringai.
"Ini pesanan kalian, tuan muda," Ucap seorang pria bertubuh gemuk dan menggunakan topi koki beserta serbet bergambarkan burger. Dia adalah Uncle Josh, dia pemilik kedai ini dan ia sangat ramah.
"Terima kasih." Ucap Apple dan Finnbar bersamaan sambil tersenyum ke arah Uncle Josh.
"Hei, tuan Horan muda, kau merayakan natal di sini?" Tanya Uncle Josh ramah. Apple memberinya senyuman dengan anggukan kecil.
"Iya, Uncle." Jawab Apple.
Finnbar melahap burgernya dengan rakus, dia sudah seperti tidak makan selama satu minggu. Apple hanya menggeleng melihat Finnbar yang menghabiskan setengah burgernya hanya dengan dua kali kunyahan. Apple mulai mengunyah gigitan pertamanya sambil tetap memandang keluar jendela tapi dia melihat sesuatu di sana, sesuatu yang membuatnya menghentikan kunyahannya dan jantungnya pun terasa seperti berhenti berdetak saat itu juga.
Apple mematung begitu saja, dan Finnbar yang menyadari hal itu langsung menatap Apple dengan tatapan heran. Dia melihat ke arah pandangan Apple dan Apple yang berada di hadapannya secara bergantian.
"Apple, kau melihat apa?" Tanya Finnbar sambil menjentikan jarinya di hadapan Apple tapi Apple masih tak berkutik. Tubuhnya serasa beku bagaikan terjebak dalam tumpukan salju, jantungnya seakan tak berdetak dan napasnya terasa sesak sehingga ia kesulitan atau bahkan, lupa bagaimana cara bernapas.
"Apple!!" Finnbar mengagetkan Apple, namun, tetap tak berhasil.
Apple segera bangkit dari duduknya dan berlari keluar, entah apa yang ia lihat atau yang sedang ia kejar namun, ia berlari seakan mengejar seorang pencuri. Finnbar segera mengejar Apple dan tak lupa mengatakan kepada Uncle Josh kalau makanannya masih ia tinggal dan ia akan kembali lagi.
"Apple!!"
TO BE CONTINUED...
ESTÁS LEYENDO
Incomplete (On Editing and Re-publishing)
RomanceBOOK 1: Broken. The hearts need more time to accept what the minds already know. [Highest rank #20 in Romance] Copyright © 2014 - 2015 by juliamulyana. All Rights Reserved.
#4 - Same old present
Comenzar desde el principio
