"Binar apanya Van? Orang akunya biasa aja. Cuma nanya doang, kok kamu malah merembet kemana-mana?"

"Aku nggak merembet kemana-mana. Cuma sebagai sesama wanita aku bisa merasakan, mengetahui, melihat juga menilai bahwa rasa yang kamu simpan buat mas Nara itu sudah lebih dari kagum. Dan kalau dibiarkan, bukan nggak mungkin bisa berkembang menjadi sesuatu yang salah untuk kamu rasakan kepada seorang pria yang statusnya suami orang."

"Aduh Van... " Mala memutar bola mata bosan karena perkataan Vania yang memang benar adanya. Namun sebisa mungkin Mala menyangkal dengan berkata, "Aku mah cuma kagum aja. Ya walaupun reputasi baiknya sedikit tercoreng karena ketidak-setiaannya sama ikatan pernikahan. Tapi tetap aja aku kagum sama ketegarannya menghadapi cobaan yang diberikan, trus auranya itu loh, gimana gitu waktu liat mukanya di foto. Jadi adem trus menenangkan hati."

Tentu saja Vania hanya bisa menggeleng, tidak mempercayai alasan yang diberikan oleh temannya itu. Capek rasanya saat kita bisa mengetahui apa isi hati yang sedang dirasakan oleh seseorang, seseorang tersebut malah menyangkal dan memberikan alasan yang mengada-ada.

"Ih... kok kamu nggak percaya sih, Van?" bibir Mala cemberut melihat tatapan tidak percaya dari Vania. "Sumpah deh Van, aku itu benar-benar nggak ada ra... "

"Masaknya udah belum, Van? Soalnya mas mau cepat-cepat pulang ini. Nggak enak ninggalin Ira di rumah, ngurus Bintang sendirian sementara mas jauh di sini."

Kedatangan Nara yang baru saja keluar dari kamar Vania sembari mengancingkan lengan kemeja, serta pertanyaan yang diucapkannya sambil lalu membuat kedua wanita yang berada di dapur mungil tersebut tercengang. Yang satu mengaduh dalam hati melihat tampilan kakaknya yang meskipun sudah berumur bisa terlihat setampan itu saat merapikan kemeja yang dia kenakan, dan mendesah gusar karena takut malah membuat seseorang yang sangat ia kenal semakin terpesona. Sementara yang satunya lagi tidak sanggup mengatupkan mulutnya dengan binar kagum yang tidak bisa ditutup-tutupi.

Bayangkan saja, penampilan Nara dengan rambut setengah basah, pakaian yang sangat pas di badan, juga wajahnya yang awet muda bisa sangat membius setiap wanita yang melihatnya. Terutama bagi wanita yang minim pengalaman asmara juga lama menjomblo, seperti Mala contohnya.


"Eh... ada tamu ya, Van? Siapa? Teman kamu?"

Sontak saja Vania menepuk bahu Mala untuk menyadarkan temannya itu. Yang langsung cengengesan tak jelas saat kakaknya berdiri di depan mereka.

"Iya mas..." jawab Vania.

"Oh... " Nara mengangguk-angguk lalu mengulurkan tangan demi kesopanan. "Nama saya Nara, kakaknya Vania." ucapnya ramah.

"Ma... la... nama saya Mala."

"Udah yuk mas kenalannya. Itu masakannya udah Vania taruh di atas meja. Mas makan aja dulu, abis itu baru boleh pulang."

Vania menyela cepat acara perkenalan singkat antara kakak dan temannya. Dengan sedikit paksaan menarik lengan kakaknya lalu kemudian memaksa duduk di dekat dirinya yang duduk berseberangan dengan temannya yang melongok terpesona akan aura satu-satunya pria yang ada di rumahnya saat ini.

Sarapan pagi itupun menyisakan sedikit pertanyaan di hati Nara yang merasa ada yang aneh dengan adiknya. Namun pria itu memutuskan untuk tidak menggali lebih lanjut karena ingin segera menandaskan nasi serta lauk pauk yang telah diambilkan oleh adiknya itu, untuk kemudian ia bisa segera pamit dan sesegera mungkin berada di samping istri juga anaknya yang semakin hari semakin terlihat menggemaskan.

Ketidak-acuhan kakaknya akan suasana di sekitar dimanfaatkan Vania dengan mengirimkan pelototan tajam ke arah Mala yang hanya bisa cengengesan karena kedapatan mengelap liurnya yang hampir saja menetes menuruni bibir karena sedari tadi hanya bisa melongok kagum melihat sosok yang memancarkan aura yang bisa membuat wanita normal manapun terpesona. Sayangnya sosok pria yang dikagumi malah mengacuh dan tidak merasakan tatapan memuja darinya.

Semerah Warna Cinta [TTS #3 | SELESAI]Where stories live. Discover now