Bab 27 - Trying but,-

144K 16.6K 3.8K
                                    

Langkah kakinya begitu cepat menuruni anak tangga, menimbulkan bunyi benturan antara lantai dan kaki. Di luar hujan deras dan langit mulai gelap. Antariksa berbelok ke arah dapur dengan membawa selimut berwarna pink.

Gadis itu masih menangis dengan posisi kepala di tenggelamkan di kedua lekukan tangannya di atas meja makan. Bahunya bergetar membuat rasa bersalah muncul dalam hati Antariksa.

Tadi mereka bertengkar hanya karena masalah sepele, namun Antariksa membesar-besarkannya. Sewaktu Aurora sudah mengganti bajunya, Antariksa tidak sengaja memegang tangannya yang begitu dingin, hingga laki-laki itu menyuruh Aurora untuk tidur dan beristirahat saja.

Aurora enggan, karena memang merasa baik-baik saja. Dan mereka berdebat, Antariksa menyuruhnya istirahat namun Aurora tidak ingin. Dan akhirnya, refleks Antariksa membentak perempuan itu hingga menangis.

"Apa sih nangis mulu, diem kek, gue gak sengaja, khilaf," kata Antariksa ketus, masih gengsi meminta maaf.

Kepala Aurora sedikit terangkat, menantap Antariksa dengan penuh rasa kesal. "Ngapain masih di sini! Pergi sana!" sentak Aurora dengan marah.

Antariksa tidak menjawab, malah menyelimuti punggung gadis itu dan membalutkannya sampai ke bahu. Ia tidak berkata apa-apa lalu duduk di sebelah Aurora.

"Gak mau pake selimut!" gumamnya kesal dan menyibakkan selimut itu hingga jatuh. Kemudian, ia menelungkupkan kepalanya di lekukan tangannya itu.

Laki-laki dengan kaos putih berbalut jaket itu menghela napas dan menatap Aurora penuh kesabaran. Ia membungkuk, mengambil selimut itu.

"Eh Saodah, gue kasih tau sama lo, lo itu jelek dan makin jelek kalau nangis. Hancur muka lo kalau lo nangis, gak ada cantiknya!" ejek Antariksa dengan kesal.

Matanya melirik teh yang ia buat lima menit lalu, masih hangat dan nampak belum tersentuh sama sekali.

Aurora menatapnya tajam, matanya sembab dan anak-anak rambutnya lengket karena air matanya. "Iyalah, tau! Ratih doang yang cantik! Rora kan cuma cewek jelek!" ujarnya bergetar dan kembali terisak.

"Masa sih dibentak doang nangis! Halah, cengeng!" ketus Antariksa, ia jadi merasa kesal sendiri.

"Iyalah-" Aurora terisak, "Rora tuh cengeng," gumamnya sesegukan seperti anak kecil berumur 5 tahun yang dimarahi Ibunya.

"Kenapa sih lo?"

"Gak papa," sahut Aurora cepat, masih terisak.

Dan Antariksa yakin perempuan itu tidak baik-baik saja. Padahal ia rasa Aurora itu sudah kebal dengan bentakannya, paling juga hanya ngambek karena kaget, namun kali ini berbeda. Sampai nangis tersendu-sendu.

"Cewek ditanya kenapa jawabannya gak papa, nanti  dibilang oh lo lempar pula gue pake panci."

"Rora gak kayak gitu kok," ucap perempuan itu seolah lupa kalau ia masih kesal.

"Masa?" tanya Antariksa dengan ragu, matanya menyipit penasaran.

"Halah nanti Anta ikut-ikut Rora bilang, bodo amat,"

"Pinter juga lo," kekeh Antariksa.

Kedua diam, Antariksa juga bingung harus berkata apa-apa. Dan akhirnya keheningan diisi oleh suara rintik hujan. Aurora sudah berhenti nangis namun masih sesegukan, Antariksa hanya memandangi wajah menggemaskan itu, polos seperti wajah anak-anak yang menangis.

"Lo diapain sih sama si Rei?" tanya Antariksa kepo.

Aurora kembali mengelap air matanya dengan punggung tangannya, "Di ajak balikan,"

ProtectWhere stories live. Discover now