Bab 21 - Benci

145K 15.7K 1.7K
                                    

Kalau mengurus bayi merepotkan dengan segala tangisnya maka mengurus bayi besar dengan rengekan manja seperti Aurora lebih sulit untuk diurus.

Itu pendapat Antariksa selama ia menjaga Aurora di rumah sakit. Hal yang mengherankan kenapa Mamanya jarang ada di rumah sakit, ternyata gadis itu diam-diam menyuruh Mamanya pulang ke rumah untuk istirahat. Sialan. Antariksa merasa tertipu.

Ia diam-diam juga heran dan sering bertanya pada dirinya sendiri, kok gue mau jagain dia?  Dan Antariksa sendiri tidak tahu jawabannya.

Dan rutinitas kembali seperti biasa kembali kesekolah. Antariksa memejamkan matanya ketika gadis itu kembali merengek.

"Anta, ini tali sepatu Rora nyangkut,"

Laki-laki dengan tali tas ransel yang ia letak di bahu kanannya membalikkan badannya dan melipat kedua tangannya. Mereka berdua berada di parkiran, masih pagi dan gadis itu sudah ribet sendiri.

Tali sepatunya menyangkut di ranting pohon yang baru saja jatuh. Antariksa menghela napas. Lalu berjongkok dan membantunya melepaskan tali sepatu yang entah bagaimana bisa menyangkut di ranting pohon itu.

Aurora menunduk sambil memperhatikan jari-jari panjang Antariksa melepaskan tali sepatunya.

"Makanya hati-hati kalau jalan," ujarnya singkat dan segera berdiri.

"Ih Rora udah hati-hati," katanya nyolot, "rantingnya aja yang nempel-nempel di tali sepatu Rora."

"Kok bisa nyangkut sih?"

"Rora tendang rantingnya eh malah ketarik tali sepatunya."

Menghela napas berat, Antariksa tersenyum lalu kembali datar dan mendorong kepala Aurora dengan jari telunjuknya hingga kepala gadis itu terdorong ke belakang.

"Gue lempar juga lo ke garasi Tayo."

"Ih mau," gadis itu cekikan, "Lempar dong, Rora mau jumpa Lani."

Lagi, seolah pasokan oksigen menipis, Antariksa menarik napasnya dalam-dalam. Ia tersenyum seraya memegang dadanya.

"Gak boleh ngatain, gak boleh ngatain, gak boleh ngatain." Ia menatap Aurora dengan tajam, "TAPI MINTA DIKATAI!"

"YEE RORA KAGET!" Mata Aurora melebar ketika Antariksa berkata agak keras, tidak terlalu keras tapi cukup membuatnya kaget.

"Gue duluan males gue liat muka lo," Antariksa membalikkan badannya, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya dan berjalan dengan santai.

Aurora tersenyum jahil dan berlari kencang layaknya anak kecil. Tanpa aba-aba, ia langsung melompat ke arah Antariksa. Laki-laki itu kaget namun tetap sigap menjaga keseimbangan tubuhnya.

"Gendongnya hehehe."

"Turun!" Antariksa meliriknya dengan melotot.

Gadis itu menyengir dan memeluk leher Antariksa dengan kedua tangannya. "Gendong!"

"Kayak anak bayi! Turun gak?! Gue cubit nih tangan lo!"

Aurora menghindari tangan Antariksa yang akan mencoba mencubit tangannya. "Gendong Rora dong Anta, ni Rora pingsan lo." Gadis itu memejamkan matanya dan menyandarkan kepalanya di bahu Antariksa.

Mana ada orang pingsan bilang-bilang?!

Antariksa menghela napas. Mengalah dan akhirnya melangkah. Namun baru saja ia melangkah, Ratih datang dari arah berlawanan dengan membawa sebuah kerta yang Antariksa tebak adalah pengumuman.

Mereka terdiam sebentar. Dan Antariksa yakin gadis itu ingin mengatakan sesuatu, karena matanya seolah berkata banyak.

Gadis itu juga melirik Aurora diam-diam yang memasukkan kepalanya ke dalam topi jaket Antariksa hingga Ratih tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

ProtectWhere stories live. Discover now