Part 34

2K 249 4
                                        

Stella menangis semalaman dan hal itu membuat hati Atlan sangat terluka. Apalagi melihat mata bengkak Stella saat bangun tidur. Stella tidak mengatakan apapun saat perawat melepaskan infus yang ada di tangannya. Tubuh Stella sudah seperti patung yang hanya bisa di gerakkan oleh orang lain.

Saat selesai mandi dan berganti pakaian. Stella kembali duduk dalam diamnya. Ia tidak lagi menangis karena rasanya sudah cukup menangis semalaman tadi malam. Ia harus kuat untuk hari ini karena ia akan mengantar Papa ke peristirahatan terakhirnya. Hanya Stella satu-satunya keluarga yang akan mengantar Papa karena Bibi yang belum boleh keluar dari rumah sakit.

Atlan yang tidak tahu harus mengatakan apa ketika ia selesai membereskan ruangan Stella dan membawa baju-baju Stella ke mobil. Ia hanya berjalan ke arah Stella dan membantunya untuk berdiri dalam diam. Mereka berdua sama-sama sedang berperan di dalam batin masing-masing.

"La," Saat mereka sudah di mobil Stella hanya dia menatap luar bahkan ketika Atlan memanggilnya, Stella tetap menatap ke arah luar, "lo sementara ini tidur di rumah gue ya. Kalau lo balik ke rumah lama, gue pikir belum aman karena kita belum berhasil nemuin dia."

Stella mengangguk lemah. Untuk pertama kalinya ia mengalihkan pandangan dari luar ke arah Atlan, "Asalkan lo nggak ninggalin gue."

"Gue nggak akan ninggalin lo, La." Atlan menghembuskan napasnya pelan, ia belum pulang ke rumah. Tadi ia di bawakan baju oleh pegawai orang tuanya. Ia hanya tidak ingin pergi dari sisi Stella untuk saat ini, saat di mana Stella benar-benar terpukul. "Lo harus percaya kalau semua ini yang terbaik bagi lo dan Papa lo."

"Iya, Tlan. Ini pasti terbaik buat Papa. Papa pergi biar dia nggak ngerasain rasanya sakit lagi. Dia udah terlalu banyak berkorban." Stella kembali menatap ke arah luar jendela.

Atlan kembali tidak bisa mengatakan apapun lagi selain diam dan mengemudikan mobil dengan benar. Saat mereka sampai ke tempat pemakaman, Atlan masih saja diam dan hanya membantu Stella agar bisa berdiri. Ia membantu kaki Stella untuk menumpu badan Stella. Ia tahu bahkan sangat tahu kalau sekarang ini tubuh Stella sangat lemas dan lelah begitu juga dengan hati Stella yang sangat rapuh.

"Kita makan di rumah gue aja ya, Mama gue udah buatin lo makanan yang spesial." Atlan berusaha untuk menghibur Stella walau itu sangat sulit.

"Gue ngerepotin lo lagi ya. Udah gue nggak ngebolehin lo pergi dari gue, sekarang gue malah tinggal di rumah lo dan jadi beban lo," lirih Stella.

Atlan meminggirkan mobilnya saat itu juga. Ia memaksa Stella untuk menatap ke arahnya, "Lo nggak pernah ngerepotin gue apalagi jadi beban gue. Walau seandainya gue nggak cinta sama lo dan bukan pacar lo, gue tetap bakalan ngelakui semua hal ini," Stella tersenyum tipis mendengar ucapan Atlan, membuat Atlan juga ikut tersenyum. Ia menarik hidung Stella, "Cuman bedanya kalau lo bukan pacar gue, mungkin gue bakalan ngebawa adik gue kemana aja. Soalnya, gue nggak mau ngelukai hati orang yang gue sayang."

Senyum semakin terukir di wajah Stella, "Thanks, Tlan. Gue nggak akan tahu harus apa kalau nggak ada lo di sisi gue."

"Yang pasti lo nggak akan bunuh diri karena gue tahu lo itu orangnya kuat dan pintar," Atlan melepaskan sabuk pengaman Stella saat mereka sampai ke rumahnya, "gue baru sadar lo cantik."

Mata Stella melebar mendengar hal itu, "Jadi maksud lo selama ini gue jelek?"

Atlan menyengir. "Bukan gitu, selama ini gue nggak pernah ngelihat fisik lo. Jadi gue nggak sadar kalau lo cantik."

"Lo ngegombal?" tebak Stella.

Atlan menggeleng, "Ayo turun."

Saat mereka sampai di depan pintu rumah Atlan, Atlan langsung berdoa agar Mama dan Adiknya bisa bersikap sesuai suasana yang sedang ada di sekitar Stella. Ia berharap dua orang itu tidak heboh ketika menyambut Stella. Mungkin Mama tidak akan terlalu heboh tapi bagaimana dengan Gia?

We're Not Twins, But We're?Where stories live. Discover now