19. Dia, membawa perasaan baru.

Start from the beginning
                                    

Hanny mengangguk sambil memegang handuk kecil yang menutupi rambutnya yang basah. "Iya,"

"Lo dipanggil kakak gue, katanya lo mau ikut pergi sama dia atau nggak? Soal sarapan, nanti kita mampir dulu ke tempat makan lo jangan khawatir, lo nggak akan pingsan."

"Kita?" bingung Hanny.

Genta mengangguk cepat. "Iya kita, lo, kak Ginny sama gue. Emangnya kenapa, lo nggak suka kalo gue ikut, atau.."

Bukan tidak suka, hanya saja seharusnya hari ini sebisa mungkin Hanny menjauhi Genta agar kejadian itu tidak dia ingat lagi, agar tidak membuatnya malu lagi.

Genta melanjutkan perkataannya. "Lo takut jatuh Cinta sama gue?"

Hanny diam. Menatap Genta dengan tatapan tidak percaya bahwa kalimat itu bisa keluar diantara mereka.

Waktu seakan terhenti. Mengingat kejadian saat bertemu Genta di toilet, di pantai, dan malam tadi, apakah itu adalah tandanya bahwa cepat atau lambat Hanny akan jatuh kepada Genta.

Saat ini, gue bahkan mempertanyakan itu, Ta. Tapi, hati gue masih ada Angga. Mungkin selamanya hanya akan ada Angga. Batin Hanny.

Genta berdecak kesal, tak ayal dia merasa gelisah ditatap seperti itu oleh Hanny. "Malah ngelamun," Genta mendorong bahu Hanny, membuat gadis itu melangkah mundur memasuki kamarnya kembali. Genta memengang kenop pintu, sebelum menutupnya dia berkata. "Siap-siap, rapihin rambut lo. Gue Kasih waktu lima belas menit," dan Genta menutup pintu itu, lalu berbalik membelakanginya.

Genta menghela nafas gusar, sambil memegangi dadanya dia berkata. "Gue baru sadar, deket sama lo itu ada efek sampingnya."

***

"Gue mau ke toko sepatu kets, lo mau ikut apa enggak Han?"

"Enggak deh kak, gue disini aja. Lagian es krim gue belum abis," sahut Hanny sambil menunjukan gelas berisi es krim nya yang masih penuh.

Ginny mengangguk, lalu menatap Genta. "Lo diem disini temenin dia, jangan ngikutin buntut gue."

"Lagian, siapa yang mau ngikutin," ketus Genta.

"Berarti lo mau nemenin gue," goda Hanny. "Hm, liat siapa yang bakal jatuh cinta disini?"

Ginny diam-diam tersenyum melihat pasangan hoax didepannya. Lalu dia berdiri dari duduknya. "Yaudah, gue kesana dulu nanti gue balik lagi kesini. Nggak lama kok,"

Hanny dan Genta mengangguk. Dan ketika Ginny pergi meninggalkan mereka suasana di antara mereka begitu sunyi. Tidak benar-benar sunyi karena toko es krim kala itu ramai pengunjung, tapi atmosfer yang berada di antara Genta dan Hanny membuat keduanya memilih diam seakan tidak ada kata-kata untuk berbincang.

Genta mengeluarkan ponsel lalu mulai bermain game, sedangkan Hanny masih sibuk dengan es krim nya. Tak ayal, gadis itu diam-diam menatap Genta.

"Hm, Angga pernah ngabarin lo nggak?"

Pertanyaan itu keluar dari Hanny. Genta mendongak menatap Hanny, lalu diam sebentar. Dia bingung, kenapa Hanny harus bertanya kepadanya? Bukankah setidaknya Hanny yang lebih tahu mengenai Angga dibandingkan dia.

Genta mengakhiri gamenya. Meletakan ponselnya di atas meja lalu berkata. "Nggak, Angga sama sekali ngggk pernah ngabarin gue. Kalopun iya, seharusnya dia ngabarin ke lo,"

Hanny mendesah. "Sayangnya, Angga juga nggak ngabarin gue. Lagipula buat apa, toh gue bukan pacarnya lagi,"

"Lo belum bisa lupain dia?"

"Bukan belum bisa, tapi gue emang nggak akan pernah lupain dia." Hanny menghela nafasnya ketika dia sadar akan menceritakan semuanya kepada Genta. Dia akan mulai terbuka. "Bukan karena gue masih cinta ke dia, jujur aja sih sekarang gue sedikit benci saka Angga. You know, dia pergi gitu aja."

Meskipun hatinya sedikit bergetar karena rasa sakit kembali datang, Hanny meneruskan. "Bisa dibilang Angga itu pahlawan super buat gue, makanya gue nggak akan pernah lupain dia."

"Maksudlo, Angga itu keturunan superman?"

Hanny terkekeh. "Bukan itu. Maksud gue Angga itu beda kaya siswa-siswi sekolah kebanyakan,"

Genta mengerutkan alisnya. Hanny melanjutkan. "Lo liat sendiri kan, nggak ada satu orangpun disekolah yang mau berteman sama gue? Mereka cenderung menjauhi gue dengan alasan yang gue sendiri bingung jelasinnya. Mereka ngejauhin gue karena mereka merasa takut, gue beda, dan banyak lagi. Gue juga yakin lo pernah denger tentang gue disetiap pembicaraan mereka,"

"Gue bingung, apa yang mereka takutin? Toh gue bukan pengedar, mantan napi dan pembunuh kelas atas. Dan soal gue beda, oke gue akui itu. Tapi jujur, gue sedih, gue merasa asing dilingkungan gue sendiri. Apalagi ketika gue denger sekilas obrolan mereka tentang gue, gue nangis abis-abisan ketika tau mereka nyebarin gosip kalo gue ini cewek barbar."

Genta terus menyimak ketika Hanny mulai melanjutkan ceritanya.

"Dan Angga, dia berusaha nutupin telinga gue dari gosip-gosip yang beredar. Dia buat gue sibuk, sampai gue lupa sama cemoohan mereka, buat lupa caranya menangis, dan gue sadar saat itu, gue sayang sama Angga. Dan nggak lama, gosip-gosip itu lenyap tertutupi sama hubungan gue sama Angga."

Hanny memaksakan senyumannya. Tangannya telipat di atas meja. "Dan sekarang, jujur aja gue takut. Takut semuanya seperti semula. Gue takut dengan hujatan mereka, gue takut berada dibawah dan di injak-injak orang lagi. Terlebih, sekarang nggak ada orang yang bisa gue jadiin alasan untuk bertahan dengan senyuman. Angga pergi,"

"Lo nggak sendirian Han. Ada gue,"

Hanny terpaku, terlebih lagi karena efek yang dihantarkan jari tangan Genta di atas permukaan kulit lengannya.

***

Ginny : Ayo pulang, gue udah ada diparkiran nih. Sory tadi gue kebelet pengen keluar aja gitu soalnya mall rame banget, GPL!

"Siapa?"

"Ah, ini Ginny. Katanya dia udah ada parkiran. Kita disuruh kesana,"

Hanny mengangguk. "Yaudah ayo, lagipula gue udah pengen pulang juga,"

Hanny beranjak dari duduknya, begitupun Genta. Mereka berjalan bersisian ketika keluar dari toko Es krim.

Hanny sempat melirik Genta disisinya. Entahlah selalu ada saja rasa ingin melihat wajah itu, dan entah dorongan dari mana Hanny melakukannya seperti sekarang.

"Aw," ringis Hanny ketika ada salah satu pengunjung mall menabrak bahunya. Dia tidak jatuh namun mampu membuatnya sempoyongan.

"Aduh neng, maafin ibu ya, lagian nengnya liatin si aa mulu," kata ibu-ibu yang menabrak Hanny.

Hanny hanya tersenyum tipis. "Iya bu nggak apa-apa, saya juga minta maaf,"

Ibu itu mengangguk kemudian berlalu pergi.

Genta tersenyum tipis. "Jalan yang bener Han," Genta menggenggam tangan Hanny dengan erat. "Ayo,"

Mereka mulai kembali melangkah bersama, bedanya kini mereka berpegangan tangan.

Apa benar, dia Genta yang Hanny kenal?

Bersambung...

Feeling✔Where stories live. Discover now