2. Hukuman.

166 12 0
                                    


"Pasti nya juga kamu sudah tau kenapa saya memanggil kamu."

Hanny mengangkat wajah, mengalihkan perhatiannya dari ponsel yang dia sembunyikan di balik meja. Sepanjang bu Irene berceramah panjang di depannya, tadi perempuan itu sama sekali tidak menangkap maksud dari penjelasan wanita paruh baya tersebut. Hanny terlalu sibuk dengan ponsel di tangannya, untung saja sebelum masuk ke ruangan bu Irene ia sempat mengatur pengaturan ponsel nya menjadi silent jika tidak mungkin sekarang dia akan di omeli habis-habisan oleh bu Irene karena suara notif yang berbunyi dari handphonenya itu.

"Hanny." panggil bu Irene tegas. Hanny buru-buru uru memasukan ponsel nya ke dalam saku rok abu-abunya.

Perempuan itu tersenyum watados. "Eh iyah bu, tadi ibu ngomong apa ya?" tanya nya santai.

Bu Irene menggeram marah. Jika dirinya adalah tokoh animasi kartun seperti di televisi mungkin kepala nya sudah mengeluarkan asap dan tanduk karena rasa marah. Siswi yang satu ini benar-benar tidak memiliki rasa jera sedikit pun. Sebenarnya pihak sekolah bisa saja mengeluarkan Hanny dari sekolah, pasalnya catatan hitam sudah banyak di kumpul kan perempuan itu nyaris semua guru mengetahui sosoknya. Tentu dengan predikat negatif nya bukan predikat positif. Siapa pula yang tidak mengenal Hanny, siswi pembuat onar di sekolah yang kerjaan nya cuma berdandan dan menindas kaum lemah yang di bawah nya.

Tentu untuk men-droup out Hanny bukanlah hal yang mudah bagi pihak sekolah, karena papa nya merupakan salah satu donatur yang paling berpengaruh di sekolah. Itulah yang membuat pihak sekolah tidak pernah berani membuat keputusan terhadap Hanny.

"Astagfirullah." hanya kata istigfar yang diucapkan bu Irene ketika menghadapi salah satu siswi sejenis Hanny. Hanny memang bukan siswi yang sering membantah guru dengan kalimat kasar nya, tetapi perempuan itu selalu saja menyahut dan melawan guru dengan tutur kata lembut nya. Jika ada kategori siswi paling berani mungkin Hanny sudah termasuk nominasi nya.

"Hanny, ibu peringat kan satu kali lagi selama masih menjadi siswi di sekolah, kurangi lah dandanan berlebihan mu. Itu sangat tidak pantas bagi pelajar seperti kamu, dan satu hal lagi ibu bahkan sering mendengar laporan dari wali kelas kamu kalo kamu sering bolos mata pelajaran wali kelas kamu sendiri.'' ujar Bu Irene. Ini sudah Hanny duga sebelum nya. Bahwa guru-guru selalu mengkritik gaya berpakaian dan gaya bermake up nya. Tapi namanya juga Hanny, jika di nasehati selalu saja masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.

Hanny tidak pernah peduli dengan komenta-komentar orang lain terhadap diri nya, karena ini adalah hidup nya dan hidup nya bukan di tentukan oleh orang lain. Lagipula dia tidak pernah meminta biaya untuk berdandan kepada mereka, ya kalau menurut Hanny sih masing masing aja sih. 

Dengan santai nya Hanny menyahut. "Bu namanya juga perempuan ya wajarlah, apa lagi perempuan seusia saya yang masih dalam tahap pendewasaan. Bu, kalo kata saya perempuan itu harus pintar berdandan, itu sikap alamiah perempuan bu. Masa ibu larang-larang sih, ibu kan juga perempuan suka dandan juga kan jadi sesama perempuan harus nya saling mendukung." ucap nya dengan senyuman mantap.

Bu Irena di buat gelen-geleng kepala menghadapi sikap anak didik yang satu ini, dengan kesal wanita paruh baya itu berdecak. "Keluar kamu Hanny," usir nya.

Dengan senang hati Hanny bangkit dari duduknya, perempuan itu tersenyum lebar sambil melambaikan tangan nya.

"Bye bu Irene yang cantik tiada tara jangan kangen ya," ucap nya seraya memberikan kiss bye dan melambai lambaikan tangan nya dengan alay.

Bu Irene tidak menanggapi, sudah terlalu pusing menghadapi siswi sejenis Hanny. Wanita paruh baya itu berharap siswi itu cepat-cepat lulus dan dengan begitu dia berharap tidak ada lagi Hanny yang selanjut nya.

Feeling✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang