Lucas Dominic

24 0 0
                                    

Pria itu tidak menggubrisnya. Si wanita mengeluarkan korek api dari dalam tasnya dan meletakkannya di atas meja tepat di hadapan pria itu. Ditatapnya sesaat wanita itu dengan ekspresi yang sedikit kebingunan. Untuk apa seorang wanita menyimpan korek api di dalam tasnya? Apakah wanita ini merokok? Kalau iya, maka bertambah lagi daya tarik wanita ini di mata si pria. Meskipun dari dalam lubuk hatinya, merokok adalah kebiasaan yang kurang pantas dilakukan oleh kaum perempuan.

Pria itu menyalakan sebatang rokok di tangannya, terdengar suara ujung rokok yang hangus terbakar api, suara tak berarti itu mengisi kesunyian di antara mereka. Tanpa menghisapnya atau meletakkannya di bibir, pria itu menjulurkan rokok yang ia nyalakan tadi ke arah wanita itu. Diambilnya rokok itu oleh jari-jari lentik wanita itu dengan senyum kecil di ujung bibir merahnya sebagai pelengkap. Wanita itu menghisap rokoknya dalam-dalam, seolah-olah rokok itu adalah senyawa oksigen yang selama ini dibutuhkannya.
Sedangkan si pria memesan lagi minuman alkohol hingga beberapa gelas.

Wanita itu setia menemani pria itu di sampingnya, tanpa satu kata pun terucap di bibir mereka, dan membiarkan kesunyian malam yang berbicara. Hingga pria itu terhanyut dalam pengaruh alkohol dan tertidur di atas meja bar.
"Hei, bangunlah ! bar ini sudah mau tutup! hei!”

Seorang pria tua membangunkan pria mabuk itu dengan cara menyoyakkan tubuh pelanggannya cukup keras. Pria itu pusing bukan kepalang, rasanya seperti berada antara ruang sadar dengan tidak sadar. Ia lupa apa saja yang tadi ia lakukan, apa yang ia katakan, atau bagaimana ia bisa terlelap di atas meja bar. Namun anehnya, ada salah satu hal yang di sisakan oleh memori di otaknya, yakni wanita itu.

“Bukankah biasanya bar tutup pukul 7 pagi?” Tanya pria itu dengan suara yang sedikit serak.

“ini sudah pukul 6 lewat 45 menit!” omel pria tua pemilik bar itu.
Pria itu segera keluar dari bar sambil memegangi kepalanya dan berusaha untuk berjalan lurus dan teratur. Ia menuju parkiran mobil dan masuk ke dalam mobil dinasnya. Mobil Chevrolet berwarna dasar putih dengan garis biru di tengahnya. Ia mengganti pakaiannya yang masih beraroma alkohol dengan seragam dinas yang ia tinggalkan di dalam mobil. Pria ini sadar bahwa ia akan datang terlambat ke tempat kerja, berurusan dengan setumpuk laporan kriminal di meja kerjanya, atau sekedar mendengarkan pengaduan dari korban-korban kejahatan. Ia sedikit jenuh dengan aktivitas kesehariannya yang tak ada habisnya, jika saja ia punya pilihan lain untuk dijadikan profesi yang bonafit, pasti sudah ia lakukan dari dulu. Namun proses dan perjalanannya menuju jabatan yang ia duduki sekarang ini lah yang membuatnya tetap menahan egonya.

“Bukankah memang itu tujuan hidup manusia? Mengumpulkan pundi-pundi uang untuk beberapa suap makanan, membeli hunian yang layak, sisanya? Digunakan untuk kesenangan yang semu.”
Segera ia menginjak pedal gas mobilnya menuju tempat ia bekerja dan berkendara dengan kecepatan sedang cenderung lamban. Tidak ada yang istimewa atau baru dari suasana kota Chicago pagi itu, begitupun suasana hati dan pikirannya. Otaknya masih merekam jelas apa yang terjadi di bar tadi malam bersama wanita itu. Hanya tentang wanita itu. Ia masih ingat aroma parfum wanita itu, mini dress berwarna putih yang senada dengan sepatu hak berwarna hitam, rambut pendeknya yang pirang dan sedikit bergelombang, atau kulit coklatnya yang mengkilap akibat efek pantulan lampu bar pada malam itu. Terhipnotis dengan pesona wanita itu, sampai-sampai ia lupa kalau mereka belum berkenalan. Pria itu mengemudi dengan rasa penasaran dan terus dihantui oleh bayang-bayang wanita itu. Sesekali ia menengok ke arah kiri dan kanannya, bukan untuk melihat situasi lalu lintas, namun  kalau-kalau ia menemukan wanita itu lagi di sepanjang jalan. Jika itu terjadi, mungkin ia akan mengosongkan jadwal apapun hari itu juga, dan pergi ke mana pun bersama wanita itu satu hari penuh. Namun harapan tinggalah harapan, ia tiba di tempat kerjanya tanpa bertemu wanita itu di sepanjang jalan.

“Noah! Tidak biasanya kau datang terlambat, ayo cepat ke mari, banyak laporan yang sudah menunggu sejak 20 menit yang lalu.” Ujar Simon, seorang pria berkepala pelontos dengan jabatan Asisten Kepala Kepolisian yang tidak pernah bisa lepas dari benda yang bernama rokok.

“Adakah kasus lain yang harus di selidiki selain pencurian, pemerkosaan, atau pembunuhan?"
“Sayangnya tidak ada, ha ha ha. Kau lupa? Ini Chicago, kawan. Kota dengan angka kriminalitas tertinggi di Amerika. Pekerjaan kita sekarang seperti sebuah siklus yang tak berujung. Hingga di penghujung akhir masa pensiun, kehidupan kita akan terus dihiasi oleh para bajingan itu. Hah, terkadang aku ingin berpindah dinas ke kota lain, Dallas misalnya.” keluh Simon sembari mengebulkan asap rokoknya.
“Dan pidatomu membuat 20 menit keterlambatanku lebih buruk. Mari sudahi angan-angan dinas ke Dallas sebelum pelaku kriminal itu kabur lebih jauh. Jadi, laporan apa yang paling mencengangkan hari ini?”
“Terjadi sebuah pembunuhan tadi malam dengan tempat kejadian di Chicago Getaway Hostel, sekitar pukul 10, di kamar nomor 82. Korban yang tewas adalah seorang pria berusia 36 tahun bernama Lucas Dominic, dengan luka tembakan di perut sebelah kanan. Tidak ada saksi mata atau tanda-tanda yang signifikan. Terduga pelaku belum bisa diprediksikan.”

How Far Will You Go?Where stories live. Discover now