Woman in the Bar

59 1 0
                                    

Jarum jam menunjukan angka 01:28 dini hari. Pria berpostur tinggi besar itu masih enggan beranjak dari bangkunya sembari membahasi bibir gelasnya dengan anggur putih yang dipesannya 4 jam lalu. Entah apa yang ditunggu oleh pria berusia seperempat abad itu, atau apa yang sedang diinginkannya. Lonceng pintu bar terdengar cukup nyaring, namun pria ini tidak menghiraukannya atau sekedar merilikan matanya sesaat.

“satu gelas anggur putih”

Seketika suara itu membangunkan syaraf syaraf lehernya untuk menoleh ke arah dari mana suara itu berasal. Suara yang jarang bisa ditemukan di larut malam yang biru itu. Suara yang dapat membuat siapapun pendengarnya merasa disentuh tanpa membutuhkan indera peraba.

"Anggurmu akan terasa hambar jika kamu terlalu lama membiarkannya" kata wanita itu.

Wanita si pemilik suara tadi, yang keindahan suaranya hanya mewakili sekian persen dari keindahan wajah, rambut, kain yang membalut tubuhnya, atau apapun yang terdapat  pada dirinya. Pria itu terdiam beberapa saat, fokusnya tidak pada perkataan yang diucapkan wanita tersebut, melainkan pada hal lain yang lebih menarik daripada sebuah komentar mengenai segelas anggur.

Kemunculan wanita itu seakan menghilangkan suasana senyap pada bar yang hanya berpengunjung kurang dari 10 orang tersebut. Begitu besar pengaruh sebait kalimat yang dilontarkan oleh seorang wanita tak dikenal. Tidak sanggup merespon, bibir pria itu terasa dijahit dengan puluhan benang dan mata yang sebelumnya terasa berat seketika terjaga kembali.

Wanita tersebut meraih gelas milik si pria, dan meminumnya dalam sekejap dengan matanya yang menatap lurus kearah si pria.  Tak lama kemudian, pesanan wanita itu datang  dan ia meminumnya dengan menyisakan setengah takaran.

“Dari mana kamu tahu kalau anggurku sudah kubiarkan sejak tadi?”

“Aku tahu bukan itu yang ingin kamu bicarakan..”

Pria itu kembali terdiam. Wanita itu seolah-olah mengerti bahasa kaum pria, bahasa yang tidak mungkin bisa diartikan oleh sembarang wanita. Saat itu juga, pria itu sadar, bahwa wanita di hadapannya bukanlah wanita biasa. Tipikal wanita yang hanya dapat ditemui pada malam sebiru ini.

“Aku tahu ini terdengar aneh, tapi bolehkah aku sedikit bercerita padamu?”

Sebait kalimat itu terasa seperti gerbang menuju dunia baru, atau lebih kepada keinginan yang tak terucap, namun terwujud dengan sendirinya. Pria ini sadar bahwa malam ini akan menjadi malam yang berbeda dari malam-malam sebelumnya.

"Apa yang membuatmu yakin bahwa aku adalah orang yang dapat kau percaya untuk mendengar ceritamu?" tanya pria itu.

"Aku punya kebiasaan untuk bercerita atau sekedar curhat kepada orang asing, aku yakin bahwa aku tidak akan bertemu mereka lagi setelahnya, jadi tidak ada yang harus ku khawatirkan"

Pria itu hanya mengangguk pelan, meskipun kalimat yang baru saja ia dengar sedikit bertentangan dengan pola pikirnya. Namun, terdapat kalimat pada ucapan tersebut yang sedikit membuatnya lesu, yakni wanita itu yakin tidak akan bertemu dengannya lagi setelah ini, malam ini juga. Wanita ini hanya sesosok orang tak dikenal, yang baru saja ditemuinya kurang dari 10 menit yang lalu, mengapa pula harus muncul perasaan takut berpisah?
Sebelum mulai bercerita, wanita itu menghabiskan sisa anggur di gelasnya sembari memandang dengan tatapan hampa ke arah susunan botol anggur pada rak yang ada di seberangnya.

“ Terkadang aku tidak mengerti..” kata wanita itu.

“Mengapa sebagian orang dapat memperlakukan orang lain seenaknya tanpa membayangkan diri mereka di posisi orang tersebut” lanjutnya.

Pria itu ikut terdiam, dalam benaknya ia menebak-nebak cerita apa yang hendak wanita itu ceritakan. Berusaha membayangkan kehidupan wanita itu menggunakan beberapa kata kunci dari kalimat yang baru saja diterima oleh indera pendengarannya. Pria ini didesak oleh rasa penasaran dan beberapa asumsinya yang belum tentu tepat.

“Apa yang terjadi?” Tanya pria itu.

“Seorang pria tua, pelangganku, melemparkan lembaran uangnya tepat di wajahku” jawab si wanita.

Pria itu sontak saja terkejut. Terlepas dari apapun profesi yang dijalani wanita ini, apa yang membuat seorang pelanggan begitu lancangnya melemparkan uang ke wajah pelayannya? Yang lebih parahnya lagi, pria macam apa yang berani menginjak-injak harga diri seorang wanita? Wanita seindah ini.

“Maaf, aku turut prihatin mendengarnya. Tapi bagaimana itu bisa terjadi?”

“Aku rasa karena kualitas pelayananku yang buruk”

"Pelayanan yang buruk ? dengar, seburuk-buruknya sebuah pelayanan, pelanggan tidak punya hak untuk memperlakukan pelayannya semena-mena, terlebih lagi kepada seorang wanita"

"Pelayan juga manusia yang memiliki harga diri, dan harga diri setiap manusia adalah sama, di mana pun tempatnya, apapun situasinya" lanjut pria itu.

Tanpa mengetahui masalah yang belum sepenuhnya terbuka, pria itu berkata seolah-olah wanita itu adalah saudara perempuannya atau istrinya yang sudah dilencehkan oleh pria lain. Kata-kata itu terangkai dari naluri seorang pria yang dipenuhi amarah, iba, dan rasa ingin melindungi, yang bercampur jadi satu.  Sedangkan si wanita, masih menatap dengan tatapan kosong, ke ruang yang kosong, dan isi pikiran yang setengah kosong.

"Kamu benar, tapi sayangnya tidak semua pria di dunia ini memiliki pemikiran sepertimu. Aku sering dihadapkan dengan perilaku sejenis. Yang bisa kulakukan hanya tetap menguatkan mentalku, agar aku tetap bisa makan dan menyewa flat sebagai tempat berlindung dari hujan dan panas, hanya itu."

“Lagipula.. bukankah memang itu tujuan hidup manusia? Mengumpulkan pundi-pundi uang untuk beberapa suap makanan, membeli hunian yang layak, sisanya? Digunakan untuk kesenangan yang semu” kata wanita itu lirih.

Dari perkataan wanita itu, si pria semakin merasa kasihan pada wanita di hadapannya. Sebegitu kejamnya kah bumi yang ia injakkan ini? Sungguh sulit dipercaya wanita secantik ini menjalani hidup yang berat. Timbul desakan dalam hati sang pria untuk mengelak perkataan wanita tersebut, mengelak dengan sebuah tindakan, tindakan untuk menunjukan kepada wanita tersebut bahwa dunia tidak sepasif yang wanita itu bayangkan. Karena bagaimanapun juga, setiap manusia berhak dan harus merasa bahagia.

"Ha ha ha, ya ampun, apa yang baru saja ku katakan ? apapun yang aku keluhkan tidak akan pernah merubah keadaan, bukan? Memang dasar pengaruh alkohol. Mari lupakan obrolan kita sebelumnya dan mulai dengan topik baru” ujar wanita ini dengan nada bergurau.

Wanita itu memperbaiki posisi duduknya dan sedikit meregangkan otot-ototnya, dan tentu saja, mata pria itu tak berpaling dari lekuk tubuh di hadapannya. Tubuh itu ramping bak pragawati yang selama ini hanya dilihatnya di majalah, dengan lekukan yang sedap dipandang, dan kaki jenjangnya yang lebih terlihat seperti pahatan bernilai tinggi ketimbang kaki manusia. Pria itu memandang wanita di hadapannya bagai singa yang melihat seonggok daging segar.

“Jadi, apa yang tadi kamu katakana?” Tanya pria itu.

“Apakah aku tadi berbicara bahasa lain yang tidak kamu pahami ?"

"Tidak, maksudku, apa yang sebenarnya ingin kamu katakan?"

"Apa saja yang muncul di fikiranku"

"Tapi  yang tadi belum selesai" kata pria itu sedikit kesal.

"Ku anggap itu sudah selesai sekarang"

Pria itu merasa dipermainkan. Perbincangan yang semula  sendu terkesan berubah menjadi omong kosong yang tak berarti. Pria itu juga yakin bahwa  si wanita  tidak sedang mabuk atau mengantuk. Wanita itu memiliki watak keras kepala, sedangkan pria itu sangat tidak suka diremehkan, apalagi diremehkan oleh seorang wanita.
Dengan perasaan setengah kesal bercampur salah tingkah, segera si pria melupakan apa yang baru saja terjadi dan berpura-pura mengabaikan wanita itu dengan mengeluarkan kotak rokok di kantung celananya.

Sebatang rokok sudah terjepit di kedua jarinya, kini ia mencari korek api dengan meraba-raba kantung celana lainnya dan ternyata tidak ada apapun di sana selain dompet kulitnya.
“Lupa membawa korek apimu?” Tanya wanita itu.







How Far Will You Go?Where stories live. Discover now