Ritomo dan Nara serempak menahan napas. Mereka mulai bisa menebak ke arah mana pembicaraan Kevan akan mengarah. Terutama Nara yang sudah makan asam garam dengan yang namanya pengkhianatan. Sedangkan Ira menutup mulutnya dengan sebelah tangannya yang bebas, yang tidak memegangi Bintang agar kesiap kagetnya tidak terdengar.

"Dua hari setelah bertunangan, saya mendapati dia sedang asyik bercumbu dengan pria lain dalam keadaan tanpa busana," Kevan menarik napas berulang kali guna melegakan dadanya yang sesak. "Setelah semua itu, dia mendatangi saya dan hanya mengatakan jika dia tidak puas sama saya yang tidak pernah mencumbunya seperti kebanyakkan laki-laki di luaran sana. Saya dianggap laki-laki lemah yang tidak akan pernah bisa memberikan dia kepuasan. Dan sebelum pergi, dia mengatakan jika selama ini dia hanya berpura-pura mencintai saya yang dianggapnya hanya sebagai mesin pencetak uang yang bisa memenuhi kebutuhannya akan barang mewah."

"Saya kalap, marah, juga dendam, yang menyebabkan saya gelap mata dan bertekad menghancurkan setiap wanita yang memiliki penampilan fisik seperti wanita itu. Wanita dengan tampang polos dan lugu adalah target utama saya untuk dihancurkan. Dan entah dirasuki setan yang seperti apa, saat melihat Vania... " Kevan kembali menarik napas dalam sambil menatap Nara penuh penyesalan juga permohonan maaf. "Tanpa sadar alam bawah sadar saya membuat saya menargetkan Vania menjadi target saya yang selanjutnya. Namun perkiraan saya keliru, semula saya berpikir sehabis saya menghancurkan Vania maka saya akan merasa puas seperti yang sudah-sudah, namun kenyataannya tidak. Saya malah dihantui rasa bersalah juga penyesalan selama bertahun-tahun. Tingkah saya yang semakin liar hanyalah pengalihan dari kedua rasa yang terus menghantui saya.

"Mencoba dan terus mencoba berpindah dari satu wanita ke wanita yang lain, saya tetap tidak bisa merasa tenang. Bahkan setelah merusak pernikahan orangpun saya tetap tidak bisa menutup ruang di hati saya yang kosong. Dan Nara... " Kevan menatap Nara sungguh-sungguh, "Maaf karena telah membuat pernikahanmu dengan Eleora hancur, tapi aku tidak menyesal sudah membuat wanita seperti Eleora berpaling darimu. Meski cara dan niatnya salah, aku tetap bersyukur kamu bisa lepas dari wanita seperti Eleora dan bisa mendapat pengganti yang jauh lebih baik darinya."

Nara menghela napas, berulang kali menyabarkan diri untuk setidaknya melayangkan satu pukulan ke wajah Kevan yang sudah babak belur. Semua itu dikarenakan sedari tadi istri mungilnya yang selalu membisikkan kepada dirinya supaya bersikap tenang dan jangan mendahulukan emosi semata. "Lalu, bagaimana keadaan Vania sekarang?" tanyanya pada akhirnya.

"Baik... makin dewasa dan sekarang dia mengenakan hijab."

"Anaknya?"

Kevan tersenyum sumringah membayangkan wajah malaikat Dinaya, anaknya. "Dinaya sehat, badannya berisi, sifatnya baik dan dia juga anak yang pintar. Oh iya, dia suka sama kue yang dibuat sama Vania."

Nara, Ritomo dan juga Ira ikut tersenyum membayangkan kerabat kecil mereka di tempat nun jauh di sana.

Sedangkan Hermanu semakin terpekur dalam keterdiamannya. Meski Kevan tidak menyebutkan namanya sebagai tokoh utama yang berperan sebagai perusak di dalam kisah tragis anaknya itu, Hermanu tetap tidak merasa tenang. Diantara rasa terima kasih yang Hermanu serukan di dalam hati, tetap saja rasa bersalah lebih mendominasi.

Serba salah rasanya untuk mengangkat kepala dan menatap orang-orang di sekilingnya. Takut jika mereka tahu malah akan menambah penilaian buruk bagi anaknya. Namun remasan pelan di tangan kanannya memaksa Hermanu mengangkat kepala dan menemukan sepasang mata Arlita yang teduh sedang menatapnya. Seulas senyum menenangkan wanita itu sedikit mendamaikan hatinya yang gundah.

"Tidak apa-apa. Perlahan kita beri pengertian kepada Kevan jika kamu tidak bersalah." bisik Arlita.

Saat itu juga Hermanu bisa merasakan bahwa ke depannya nanti, jalan yang ia lalui tidak akan lagi gelap gulita.

Semerah Warna Cinta [TTS #3 | SELESAI]Where stories live. Discover now