I Choose You

2K 160 2
                                    

"Give the one you love wings to fly, roots to come back and reasons to stay."
-Dalai Lama-

Anna.
Langit mendung dan hujan mengguyur di luar. Jakarta sedikit terasa lebih dingin dari biasa karena beberapa hari terus diguyur hujan. Dari balik meja bar Café, aku menatap keluar. Entah sudah keberapa kalinya aku menatap keluar dan berharap seseorang yang aku tunggu selama seminggu ini akan muncul. Setiap harinya dalam 7 hari berturut – turut, aku hanya bisa memandang keluar café dan berharap ia akan datang. Namun, hingga hari ke tujuh aku berada di sini, ia tidak pernah muncul.

"Mbak, ada yang mau bayar." Ucapan Tito mengagetkanku dan membuatku tergagap. Aku langsung mengalihkan pandangan pada customer yang sudah berdiri di depan meja kasir. Dengan cepat aku menerima kartu debit yang dia berikan padaku, lalu aku menggesekkannya pada mesin EDC dan menekan nominal sesuai billingnya. Selesai memprosesnya, aku mengembalikan kartu dan menyerahkan struk pembayaran padanya. Tidak lupa aku tersenyum padanya. Ia berlalu pergi dari café bersama perempuan yang bersamanya.

"Masih nunggu Mas Nathan balik ya mbak?" Tito menanyakan dengan hati – hati.

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Malu rasanya untuk mengakui pada orang lain betapa aku merindukan pria satu itu. Dan lebih malu lagi untuk mengatakan bahwa aku telah melakukan hal bodoh yang menyebabkan hal ini terjadi.

"Boleh aku istirahat dulu? Rasanya aku mengantuk." Aku berusaha mengalihkan pembicaraan. "Oh iya mbak silakan." Tito langsung memanggil karyawan lain menggantikanku.

Sudah seminggu aku memilih menghabiskan waktu di Café ini, karena aku tidak ingin seharian hanya tidur di apartemen dan tidak tahu yang harus aku lakukan.

Seminggu yang lalu, aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari hotel, lebih tepatnya mengundurkan diri dari segala sesuatu yang berhubungan dengan Harrys. Aku melepas apron yang aku kenakan dan melipatnya. Saat aku akan berjalan ke dalam galery, lonceng di pintu masuk café berbunyi menandakan seseorang masuk ke dalam café. Aku menoleh dan menemukan seorang pria dengan rambut yang basah karena hujan, kemeja putih yang dibuka kancing atasnya dan celana jeans biru yang basah. Ia menatapku dan aku juga menatapnya. Sesaat, waktu seolah membeku dan hanya ada kami berdua yang saling pandang.

Nathan.
Mataku masih tidak bisa lepas dari wanita di depanku ini. Aku ingin memandangnya sepuasnya, hingga jika nanti aku tidak bisa melihatnya lagi, aku masih memiliki rekaman tentangnya dalam memori ingatanku.
Aku dan Anna duduk berdua di gazebo belakang gallery. Ia hanya duduk menatapku dengan tatapan sendu. Tangannya terlipat dimeja dan jari – jarinya bergerak – gerak menunjukkan ia sedang gugup dan tidak tahu apa yang harus dikatakan. Di jari manisnya masih melingkar cincin berlian yang aku sematkan saat kami bertunangan beberapa bulan yang lalu.

Sebagai laki – laki, aku harus berani memulainya, pikirku. Tanganku meraih tangannya dan menggenggamnya.

"Katakan Anna, apa yang ingin kamu katakan." Bola mata Anna seketika membesar. Ia mungkin terkejut dengan apa yang aku lakukan. Mungkin, ia berpikir aku sedang marah padanya selama ini. Tidak Ann, aku tidak akan pernah marah padamu.

"Aku minta maaf Nate." Kalimat pertama yang ia ucapkan. "Maafkan aku yang begitu egois dan tidak mempedulikan perasaanmu." Kalimat kedua. Ia berhenti sejenak dan menarik nafas panjang. Lalu, begitu banyak kalimat yang ia ucapkan tentang malam itu di Bali dan juga tentang hari – hari di Singapore. Dari begitu banyak kalimat yang muncul itu, kalimat yang aku nantikan tidak juga muncul.

"Ann..." aku menghentikan ucapannya. "Aku sudah tahu semua ceritamu itu dan bukan itu yang ingin aku dengar. Aku ingin mendengar tentang keputusanmu." Aku menatapnya lekat – lekat.

Anna mengernyitkan dahi seolah mencerna ucapanku. "I choose you, Nate. I choose you instead of others. I choose to be your bride and your long life soulmate." Seketika senyumku merekah, ingin sekali aku memeluknya sekarang. Namun meja besar di gazebo ini, membuatku hanya mampu menggenggam tangannya lebih erat. Anna, aku janji, aku tidak akan pernah membuatmu menyesal dengan keputusanmu itu, ucapku dalam hati.

Anna.
Finally, I see him again. Dan bisa melihat wajah lelahnya berubah menjadi sebahagia ini, aku tidak akan menukarnya dengan apapun. Pria di depanku ini adalah sosok yang aku yakini sebagai pendampingku kelak, ayah dari anak – anakku dan juga imam dari keluarga kecilku. I praise God for making him as my future husband.

-00-

Anna.
"Jadi bener nih mau jadi ibu rumah tangga aja?" bisik Nathan padaku di malam terakhir kita berdua bertemu sebelum akan dipisahkan seminggu sampai hari pernikahan nanti.
"I will be your private assistance, so I'm not jobless." Jawabku dengan senyum lebar. Nathan malah tertawa mendengarnya. "Siapa bilang ibu rumah tangga itu jobless?"
"Iya aku tahu. Tapi aku juga mau jadi sekretaris pribadimu biar tetep dapet gaji."
"Dasar matre." Serunya masih dengan tawa.
"Eitss, ini bukan gaji pada umumnya."
"Trus mau digaji apa?"
"Mau digaji sama cintamu seumur hidup." Aku nyengir seraya menatap wajahnya.
"Insya Allah Anna." Jawabnya lembut. Ia lalu mengecup keningku dan meraihku dalam pelukannya. Dan seperti inilah aku menemukan kenyamanan pada Nathan. Ketika ia berubah menjadi bijaksana dan begitu penyayang atau ketika ia menjadi imam saat kita berdua shalat berjamaah.
Nathan melepaskan pelukan dan memintaku untuk tidur karena malam sudah semakin larut. Besok pagi ia akan mengantarkanku ke rumah orang tuaku di Bandung, sementara ia akan kembali ke Jakarta dan menyelesaikan beberapa pekerjaan sebelum cuti. Sebenarnya, aku keberatan dengan rencana Nathan. Aku ingin ia menyerahkan proyeknya sementara waktu sampai acara pernikahan selesai, tetapi Nathan bersikeras untuk menyelesaikannya sendiri. Aku berjalan menaiki tangga menuju kamar, sementara Nathan masuk ke dalam ruang kerjanya.

-00-

Petrichor [END]Where stories live. Discover now