I Should Know It in The First Place

1.8K 144 0
                                    

"I love thee with a love that shall not die, till the sun grows cold and the stars grow old."
-William Shakespeare-

Nathan.

Jam tanganku masih menunjukkan pukul 10 pagi saat aku sudah berada di The Boathouse untuk sarapan pagi. Aku sengaja melewatkan sarapan pagi di hotel hanya untuk menikmati sarapan pagi di restoran yang berada di Palm beach. Klien ku mengatakan sarapan pagi di sisi pantai dengan semilir angin dan secangkir kopi akan memberikanku inspirasi yang luar biasa. Dan yang aku lakukan hanyalah mencobanya. Dengan hanya memesan Bacon flatbread seharga 21 dollar dan original single coffee, aku mulai memutar otak untuk mencari inspirasi. Pada awalnya pikiranku bekerja dengan sangat efektif dengan memikirkan beberapa desain yang pas untuk proyekku, namun saat mataku menangkap sepasang lelaki dan perempuan yang tengah bermesraan di depanku, pikiranku tergelitik oleh kerinduanku pada Anna. Kerinduan yang dengan sekuat hati berusaha aku sembunyikan dari setiap orang yang berinteraksi denganku. I don't want anyone know I have something broken inside.

Ku sandarkan tubuhku pada sandaran kursi dan melemparkan pandangan pada air yang bergelombang. Pikiranku melayang lagi pada apa yang Anna sedang lakukan sekarang? Masihkah ia berada di Singapore dan menemani Harrys? Terbersitkah dalam pikirannya tentang aku? Apakah ia merindukanku seperti aku yang sedang merindukannya saat ini?
Inspirasi tentang proyek langsung musnah dengan munculnya Anna dalam pikiranku. Tanganku meraih I phone yang tergeletak di meja. Tidak ada notifikasi apapun di handphone. Hanya fotoku dan Anna yang terpampang di layar. Dan sesuatu bernama rindu itu semakin menggelitikku.

Anna.

Chang-I airport tidak akan pernah sepi. Itu yang aku tahu. Selain orang yang ingin pergi dari Singapore dan yang ingin datang ke negera kecil ini, bandara ini juga adalah bandara transit dari berbagai maskapai penerbangan. Aku menarik koperku dan berjalan menuju Check in area. Setelah berpikir semalam, aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta walaupun aku tahu Harrys belum juga siuman sampai saat ini juga. I don't need it anymore, what I really need is being with Nathan. Yang bisa aku lakukan untuk Harrys hanyalah mendoakannya dan membiarkan kalkulator Tuhan yang menjawab kapan ia akan siuman. Tetapi Nathan, aku harus melakukan sesuatu untuk mempertahankannya, untuk terus bersamanya, dan untuk mencintainya selamanya.

To: Keylila

At chang-i airport now. Wish the best for both of you. Keep fight and never give up on him.

Aku memasukkan kembali handphoneku setelah mengirim pesan pada Keylila. Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk Harrys dan aku tidak bisa lebih dari ini. Langkah kakiku cepat saat berjalan menuju lounge. Satu jam lagi aku akan kembali ke Jakarta dan tujuan pertamaku adalah menyelesaikan urusan yang sudah aku tunda seminggu ini. Maafkan aku Nate yang bodoh ini sehingga membutuhkan waktu yang begitu lama untuk kembali padamu.

-00-

Keylila.

Aku meletakkan kembali handphone setelah membaca pesan dari Anna. Ia, akhirnya, kembali ke Jakarta dan aku tahu persis apa yang akan ia lakukan. Aku tertawa sendiri mengetahuinya. Bukan karena ada yang lucu di sini, tetapi aku sedang menertawai kebodohanku dan ketidakberanianku. Kenapa justru aku terpikir untuk memisahkan mereka berdua dan mengembalikan Anna pada Harrys hanya karena aku ingin membahagiakan orang yang aku cintai? Tidakkah seharusnya aku juga memikirkan kebahagiaan tiga orang lainnya, Anna, Nathan dan aku sendiri.

Aku kembali tertawa kecil namun airmataku menetes. Bagaimana bisa aku sebodoh itu merelakan diriku sendiri hanya untuk membahagiakan Harrys? Kenapa aku tidak bisa seberani Anna untuk memutuskan mana yang membuatku bahagia dan mengejar kebahagiaan itu? Harrys adalah suamiku yang sah dan aku berhak atas apapun sebagai istrinya. Lalu, kenapa aku justru melewatkan kesempatan itu kemarin dengan berpura – pura mengalah?

"Key." Sebuah suara kecil mengagetkanku. Aku menoleh pada suara yang memanggilku. Dan disitu aku melihat Harrys menatapku dengan tatapan lemah. Bibirnya mengatup namun tersenyum tipis. Matanya sangat teduh dan mata itu yang aku rindukan sejak aku menikah dengannya. Aku tersenyum lebar, rasanya ingin bersujud syukur saat ini karena Harrys akhirnya siuman. Namun, aku memilih untuk melakukan pengecekan organ vital Harrys untuk memastikan semuanya dalam keadaan normal. Aku mencari detak jantungnya di nadinya dan memastikan jantungnya berdetak normal. Nafasnya normal dan ia masih mengingatku. Aku ingin berterimakasih padamu Tuhan dengan keajaiban ini.

Saat mataku beradu lagi dengan mata Harrys, ia masih menatapku dengan lembut. Entah karena kondisinya yang masih lemah, atau ia memang memberikan tatapan itu padaku.

"Kamu merasakan sakit Rys?" aku bertanya pelan padanya dan ia menggeleng perlahan.

"Syukurlah kamu sudah siuman Rys. Kamu tidur beberapa hari meskipun efek obatnya sudah hilang." Harrys hanya mengedipkan mata untuk merespon ucapanku.

"Aku akan memanggil dokter untuk melakukan pemeriksaan ulang padamu. Tunggu ya." Aku berjalan setengah berlari keluar kamar karena saking bahagianya aku saat ini. Hatiku serasa ingin meledak karena terlalu bahagia.

Harrys.

Pandangan mataku mengelilingi ruangan kamar yang didominasi warna putih dan perabot warna hitam. Ruangan yang asing karena aku tahu ini bukan di kamarku. Beberapa alat kedokteran menempel di badanku dan aku merasakan kaku di punggung dan kaki. Entah sudah berapa lama aku terbaring tidak sadarkan diri di sini. Beberapa saat kemudian, Keylila masuk ke kamar lagi bersama dengan dokter dan beberapa perawat. Setelah memeriksaku, mereka membawaku ke ruangan lain yang aku tahu sebagai tempat melakukan MRI. Aku hanya bisa diam dan pasrah dengan apa yang mereka lakukan dengan badanku karena aku terlalu lemah untuk berontak. Aku hanya memejamkan mata ketika alat itu mulai melakukan scanning pada kepalaku. Entah apa yang terjadi sebenarnya pada diriku hingga aku harus diperlakukan seperti ini.

-00-

Petrichor [END]Where stories live. Discover now