10. Let Me

160 18 0
                                    



Kami. Sembilan dari kami bersama dengan beberapa orang staff yang memang sengaja untuk ikut, demi menjaga ke tujuh member di hadapan (atau bisa kukatakan tengah mengelilingi) kami berdua, agar tetap aman.

Satu-satunya yang menarik perhatian kaum hawa dengan berlebihan adalah keberadaan Im Jaebum. Leader tampan yang memang kuakui, benar-benar di luar batas. Aku beberapa kali melihatnya memberikan sekiranya fansevice pada penggemar demi kepentingan awak media maupun fans. Dia terlihat benar-benar seperti sebuah lukisan berjalan dengan tulisan sexy di wajahnya. Dari postur tubuh, aku telah menyadarinya jauh hari, sesaat setelah aku sadar bahwa aku menemukan jati diriku pada Got7. Secara harfiah memang Jaebum memiliki punggung yang lebar, tidak selebar orang-orang berdarah barat yang setiap minggunya melakukan fitness demi mendapatkan tubuh yang ideal, menurut mereka.

Tubuhnya tidak jauh berbeda dengan Jackson. Indah adalah kata yang pas untuknya. Dia memang bukan termasuk dalam list seseorang yang berpengaruh, untukku. Tapi tetap saja. Aura yang terpancar dari sosok idolanya benar-benar terasa. Caranya memandang, berjalan, dan mengenakan pakaian, mengatakan segala-galanya.

Setelah pesanan menu untuk porsi kami datang, aku sedikit malu-malu untuk makan di hadapan mereka. Bukankah manusiawi jika seorang perempuan malu-malu di hadapan seorang lelaki demi menjaga image nya sebagai seorang lady? Hanya saja, di hadapanku ini bukanlah laki-laki biasa. Mereka adalah segalanya, untukku. Mereka lah yang mengisi hari-hariku dengan senyuman, tawa, dan senandung merdu dari irama yang mereka hasilkan. Mereka adalah penyelamat mood ku yang (bisa saja) tiba-tiba down.

Beberapa orang di antara mereka berbicara menggunakan bahasa Korea, memang. Aku tidak begitu memedulikan. Hanya tersenyum memandang mereka tertawa lantang dan memandangi salah seorang di antaranya ketika berbicara. Mungkin sama halnya dengan Nana. Ia duduk di samping Jinyoung-oppa dan diapit oleh Jaebum-oppa. Jaebum ini memang awalnya ketus sekali. Tapi jujur, ia memang terlihat sedikit pemalu dengan perempuan yang baru saja ia temui. Aku tak mengatakan kami berdua masuk kategori perempuan yang cantik, mungkin ini memang sifat alami Jaebum yang sedikit pemalu dengan semua perempuan yang baru ia kenal.

Mark Tuan, anggota tertua, duduk di sampingku dengan Jackson di sisi yang lain. Hanya mereka berdua, sepertinya, yang nyaman ketika aku berbicara menggunakan bahasa Inggris dengan sedikit terburu. Bukan karena aku pandai, tapi lebih pada menyembunyikan grammar ku yang berantakan.

"Kau tinggal di dekat sini?" Seseorang membuyarkan lamunanku untuk sesaat. Jackson tengah menolehkan wajahnya padaku. Menandakan ia, mungkin, benci dengan keheningan ini.

Aku menggeleng. "Aku berasal dari Malang. Aku kemari karena ada urusan."

"Apa jaraknya jauh?"

"Sangat jauh. Aku kemari menggunakan kereta malam, kemarin. Aku akan pulang besok malam."

"Aku baru berada di negara ini. Mungkin kau bisa ceritakan tentang negara ini?"

"Tentang negara ini? Banyak sekali yang menarik perhatian. Aku tidak bisa menceritakannya satu-satu, oppa. Apa yang ingin kau ketahui?"

"Ciri khas negara ini?"

"Apa kau tahu batik? Ah, mungkin bukan hanya itu. Ada banyak sekali ciri khas negara ini. Jika kau ke Bali, budaya nya berbeda dengan di pulau Jawa. Jika kau ke pulau Kalimantan, keadaannya juga berbeda dengan di Bali."

Sesaat Jackson tampak berpikir. "Membingungkan, ya?" Kekehannya terdengar nyaring. Ia memang tak bermaksud untuk merendahkan. Ia lebih pada menertawakan dirinya sendiri yang kebingungan.

"Indonesia memiliki banyak sekali budaya. Dalam satu negara ini, ada puluhan adat dan pakaian daerah."

"Pakaiannya juga berbeda setiap daerah?"

"Benar sekali."

"Bagaimana dengan bahasa?" Mark Tuan berada di samping kananku. Otomatis aku menoleh dan memosisikan duduk lebih condong ke belakang. Agar keduanya dapat mendengar percakapan yang sama.

"Kami juga memiliki bahasa yang beragam. Di Korea mungkin hanya ada dialek saja, jika di Indonesia kami benar-benar menggunakan bahasa yang berbeda di setiap daerahnya. Bahkan setiap kota memiliki dialek yang berbeda."

"Wah." Seseorang menyahut dari arah yang berseberangan denganku duduk. Seorang Kim Yugyeom.

"Begitulah. Aku sendiri menggunakan bahasa Jawa khas Malang untuk sehari-hari dan menggunakan bahasa Indonesia jika diperlukan."

"Tapi bahasa Inggrismu lumayan juga." Jackson menyeruput semangkuk ramyeon yang ia pesan. Entah ini mangkuk yang ke berapa. Sepertinya ke dua.

"Terimakasih. Tapi sungguh ini pertama kalinya aku menggunakan bahasa Inggris untuk berbicara dengan seseorang."

"Yugyeom banyak menanyakan bahasa Inggris beberapa hari ini. Apa itu mungkin karena ia butuh berkomunikasi denganmu?" Tanya Mark sedikit berbisik. Sepertinya ia tak berniat berbisik. Memang waktu itu suaranya hanya sekadar bisikan yang lembut. Tak ada nada menggertak atau sanksi di setiap kata yang ia lontarkan.

"Ah. Yugyeom-oppa memang menggunakan bahasa Inggris ketika menghubungiku lewat Kakaotalk. Tapi aku tidak tahu jika ia bertanya padamu." Bohong. Aku sudah menduganya sejak awal jika Yugyeom akan bertanya pada Mark atau Jackson atau mungkin pada Bambam.

Mark hanya bergumam setelahnya.

Aku takut ia mengatakan hal seperti, 'jangan terlalu dekat dengan kami, kami bisa terkena scandal.' itu terdengar mengerikan. Ketika aku hanya ingin berteman dengan salah seorang idolaku dan menekan diri untuk tidak berharap berlebih, sayapku seakan dipatahkan dan aku dijatuhkan di tengah ladang kaktus.

Tapi setelahnya aku mendengar Mark-oppa berkata, "Syukurlah ia punya teman perempuan yang bisa ia ajak untuk berbicara."

Aku hanya diam. Tak mengerti akan keadaan dan canggung harus mengatakan apa sebagai sanggahan.

Suasana meja makan makan kami punya atmosfer yang tak jauh berbeda dengan aku maupun Nana ketika kami bersama, berdua. Tidak memedulikan hal di luar selain arah permbicaraan yang kami usung. Tidak jauh-jauh dari orang-orang berkewarganegaraan Korea Selatan. Sebenarnya, untuk ukuran seorang fansgirl, aku dan Nana bukanlah pengidap penyakit akut sampai terlalu mementingkan mereka ketimbang kehidupan pribadi kami. Ini di luar dari urusan duniawi yang menyangkut soal sekolah dan lain sebagainya.

"Kalian berdua bersiaplah. Aku akan mengantar kalian berdua ke hotel. Dimana lokasinya?" Jinyoung, yang berada di sisi sebelah kiri Nana, melongok ke arah depan. Menyembulkan surainya yang tak pernah berubah warna dari kelam itu, memandangku dengan tatapan seolah membutuhkan jawaban degan segera.

Aku berpikir untuk sejenak. Ini kesempatan yang benar-benar sangat langka untukku. Dari sekian banyak kesempatan yang Tuhan berikan padaku, mungkin inilah yang terindah dan paling tidak terduga, sebelumnya.

TBC

[ Kim Yugyeom ] Flight Log:Where stories live. Discover now