Mata vickey masih sembab karena tangis. Wajahnya memang memperlihatkan kelelahannya, tapi dia masih bisa melakukan berbagai hal dengan ke-gesitannya.

Vickey kemudian meninggalkan ruang keluarga, berlari kecil menuju pintu depan, rambut ikalnya yang dikuncir kuda naik-turun lucu. Kemudian segera menghampiri mobilnya yang terparkir manis di garasi samping rumah.

Mobil itu bergerak, mengikuti arahan dari si pengendaranya. Vickey mengemudikan mobilnya ke arah gerbang, kemudian menunggu satpam rumahnya membukakan gerbang.

Tiga puluh detik berlalu, tapi satpamnya tidak juga muncul.

"Oh astaga...Dimana Mike pergi? Kenapa ia tidak juga muncul untuk membukakan gerbangnya? Baiklah, aku mampu membukanya sendiri."

Vickey membuka knop mobil, ia segera keluar untuk membuka gerbang.

Tangannya meraih kunci gembok yang di taruh tak jauh dari gerbang. Kini ia sudah memegang gembok dan akan membukanya. Tapi matanya menangkap sebuah objek yang tak asing.

Sebuah taksi terparkir di depan rumahnya. Si penumpang sepertinya tengah membuka knop pintu, terlihat dari knop yang bergerak-gerak. Tak lama setelahnya, kepala seorang laki-laki muda menyembul keluar.

"Ah, Albert." Dengan cekatan, tangan Vickey membuka kunci gerbang dan berjalan cepat mendekati lelaki berjas putih khas dokter tersebut.

Vickey memelankan langkahnya ketika hampir mendekati Albert. Dia melihat ada yang mencurigakan dengan gerak-gerik pria itu.

Albert tak biasanya menggunakan kacamata hitam, dan siapa pria yang berjalan mendekat itu? mengapa Albert tampak seperti membicarakan sesuatu yang sangat penting dengan pria itu.... Oh astaga! Itu James, ayah Amber. Ada apa dengan mereka?

Vickey mengurungkan niatnya untuk menyapa Albert, dia kembali ke dalam mobilnya kemudian bergerak -ke sebuah tempat- dengan gesit.

...

Alesha baru saja selesai menyikat giginya. Ia mengambil cairan face wash kemudian menyapukannya ke wajah yang telah basah.

Setelah dirasa cukup, ia pun kembali membilas wajahnya yang kini terlihat lebih segar.

Alesha terkejut saat ia sedang mengeringkan wajahnya dengan handuk, ia mendengar suara nada dering dari telepon masuk.

Nama Albert berkedip-kedip dilayar iPhone-nya. Seakan membujuk untuk minta panggilannya dijawab.

"Alesha?" suara diseberang menyapa lebih dulu.

"Iya, aku disini. Apa ada sesuatu yang penting hingga kau menelefonku? Biasanya saja kau hanya mengirim pesan." Alesha menggerutu, dan gerutunya terdengar jelas di telinga Albert.

Albert mengerutkan dahinya.

"Aku ingin bertemu sekarang juga. Datanglah segera, alamatnya akan kukirimkan lewat pesan. Ini penting, meyangkut kematian sahabatmu." Alesha bingung dengan nada bicara Albert yang sangat serius, kata-kata yang diucapkannya menyiratkan kesungguhan yang dalam.

"Tentu, kirimkan alamatnya dan aku akan datang dalam limabelas menit."

"Sepuluh menit." Albert memberi tekanan dalam kata yang baru ia ucapkan.

"Tentu." Alesha langsung menutup panggilan Albert secara sepihak. Kemudian kakinya menuntunnya ke kamar untuk segera berganti pakaian. Dan astaga.. dia tidak mandi?

Tigapuluh detik kemudian, sebuah pesan masuk di inbox gadis tinggi itu. tantunya isinya adalah alamat yang harus didatangi Alesha dalam sepuluh menit.

The Friend Is Never ThereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang