Chapter 1

69 17 1
                                    



Taman Pemakaman Golden Memories

Pemakaman Golden Memories tampak ramai, sepertinya ada jenazah yang baru selesai dimakamkan. Para pelayat berangsur-angsur pergi meninggalkan sebuah makam baru yang bertabur bunga beraneka warna yang mengeluarkan aroma semerbak harum. Makam kini sepi, menyisakan dua orang gadis yang masih setia menunggui makam.

Terdengar suara isakan seorang gadis. Dua orang gadis yang duduk diatas sebuah gundukan tanah dan menghadap ke makam lain yang juga masih berupa gundukan. Yang satu sedang menangis dan yang lainnya berusaha menenangkannya. Mereka masih menggunakan seragam khas ala anak SMA. Sepertinya SMA Christian Chicago.

"Sudahlah Vickey, biarkan Amber beristirahat." Ucap gadis yang tengah menenangkan temannya, yang juga seorang gadis.

"Alesha, aku tak menyangka Amber akan pergi dalam keadaan semacam ini." Vickey memuntahkan perasaannya sambil terisak.

"Sudahlah, biarkan dia pergi tanpa beban." Alesha mengusap punggung Vickey yang basah akibat keringat.

Vickey menarik nafasnya dalam-dalam. Kemudian membuangnya secara perlahan-lahan. Dia melakukan itu beberapa kali hingga nafasnya mulai teratur.

Namun tak berapa lama mata Vickey mulai tergenang air mata lagi. Dadanya mulai sesak dan jantungnya berdetak kencang. Tangannya yang dingin meremas jemari Alesha.

"Aku tidak mampu lagi, Alesha." Gadis bertubuh tinggi itu merangkul pundak teman yang ada di hadapannya. Ia menangis sejadi-jadinya. Tingginya terpaut enam senti dari tinggi badan Vickey.

"Tenanglah..." Alesha kembali mengusap-usap punggung sahabatnya yang masih merangkulnya.

"Aku mengerti, tenanglah Vickey. Aku pun merasakan sedih, tapi kita harus bangkit. Bangkit dari kesedihan kita, jangan sampai kita terlalu larut dalam kesedihan kita sehingga melupakan kewajiban-kewajiban kita." Gadis yang bernama Alesha itu mengguncang-guncangkan tubuh Vickey.

Tak ada jawaban dari Vickey, ia masih terisak.

"Ah, itu dia..." Alesha bergumam pelan saat melihat seorang laki-laki muda yang masih menggunakan seragamnya yang putih bersih. Bahkan stetoskop-nya pun masih melingkar di leher pemuda itu. Dia adalah dokter yang mengotopsi jasad Amber.

Vickey yang merasa Alesha mengatakan sesuatu langsung melepaskan pelukannya dan menatap wajah Alesha seakan bertanya "Ada apa?"

Mata Vickey berpendar ke seluruh penjuru pemakaman. Dan segera setelah matanya menangkap objek yang dikenalnya, ia membelalak.

"Albert, apa hasil terakhir otopsinya?" Alesha lengsung menyerang dokter muda itu dengan pertanyaan saat dia mendekat. Alesha belum mengetahui hasil otopsinya karena ia sibuk menenangkan Vickey.

"Menurut hasil otopsi, dia dibunuh. Kau lihat ini?" Albert menyodorkan beberapa foto pada Alesha.

"Kau lihat? Difoto yang aku ambil saat otopsi ini, memperlihatkan wajah Amber yang lebam. Seperti terkena benturan benda tumpul." Lanjutnya.

Alesha tercekat melihat foto yang memperlihatkan lebam di bagian tulang pipi Amber. Sedangkan Vickey hanya melihat dengan sudut matanya, dia tampak tidak senang.

"Dan ini..." Albert memperlihatkan foto-foto yang lain.

"Kening Amber terluka dalam, aku yakin ini adalah luka tusukan." Vickey membulatkan matanya saat mendengar penuturan Albert.

"Apa kau yakin?" air mata Alesha kini terlihat lagi di ujung matanya setelah melontarkan tiga patah kata tersebut.

"Lebih dari yakin. Kau lihat foto yang ini? Terdapat luka sayatan di lengan kanan dan kiri gadis itu. Itu lebih dari cukup untuk meyakinkanku."

Dengan mata sembab, Alesha menaikkan alisnya tak percaya.

"Kau masih tidak percaya? Baiklah, lihat yang ini, ini foto yang terakhir. Bahunya terdapat bekas cakaran, dan ada kuku pasangan berwarna pastel yang menancap disini." mereka bertiga memperhatikan foto yang dipegang Albert.

"Kuku pastel? Sepertinya aku pernah lihat, tapi dimana?" Alesha menggigit bibir bawahnya.

Vickey yang tidak berkomentar menyembunyikan jemari tangannya di balik punggung. Dia telah melepas kuku pasangan sejak beberapa jam lalu, tapi ia takut jika masih ada yang tersisa di kuku.

Alesha melirik tanan Vickey. Kini ia merasa curiga dengan gestur Vickey yang tiba-tiba. "Vickey, boleh aku lihat jarimu?"

Vickey mulai panik, tapi kemudian dia menunjukkan jarinya pada Alesha. Dia menghela napas lega, bersyukur dengan kuku-kukunya yang telah bersih.

***

The Friend Is Never ThereWhere stories live. Discover now