Pulang

816 81 13
                                    

"Aku hanya pergi semalam, tapi bagaimana kamu bilang seminggu?" tanyaku pada Ataska.

Aku masih tak memgerti bagaimana dia mengatakan jika aku telah pergi selama itu. Karena dalam ingatanku, aku hanya pergi semalam saja, bukan seminggu.

"Apa kamu bilanga semalam? Kalau semalam aku tak akan tahu kalau kamu pergi By. Kamu tahu, kamu telah membuat seisi kawasan peri warior khawatir dengan keadaanmu!" jawab Ataska dengan wajah yang terlihat begitu kesala.

Khawatir? Sejak kapan mereka khawatir denganku? Bukankah selama ini mereka hanya bisa menghina dan menghinaku hanya karena aku berbeda?

"Khawatir kamu bilang? Maaf Ataska, tapi aku tak percaya dengan ucapanmu!" kataku sambil berlalu dari hadapan Ataska.

"By...," terdemgar suara Ataska yang mulai mengejarku dan menyeimbangi langkahku.

Aku tak peduli dengan semua panggilan Ataska. Aku terus berjalan dan menjauh darinya. Aku sama sekali tak percaya dengan apa pun yang dia katakan padakau.

Khawatir? Cih ... sejak kapan mereka khawatir dan untuk apa meraka khawatir padaku? Apa aku harus pergi dulu baru mereka akan khawatir padaku, mencariku?

Ah ... mungkin mereka mencariku hanya untuk menghinaku, sama seperti biasaku.

"By, dengarkan aku dulu!" kata Ataska yang berhasil mengejarku dan menghadangku tepat di depan langkahku.

"Apalagi Ka?" tanyaku sambil sedikit mendengus.

"Kemana saja kamu selama seminggu ini?" tanya Ataska lagi dan kini wajahnya jauh lebih serius dari sebelumnya.

Aku tidak langsung menjawabnya, aku hanya menatap iria biru milik Ataska. Iris yang begitu tajam dan membuat banyak hati peri perempuan luluh lantah karenanya.

"Kenapa kamu begitu ingin tahu aku kemana, mengkhawatirkanku? Untuk apa kamu mengkhawatirkanku?" tanyaku tanpa mengalihkan tatapanku walau hanya sejenak.

Raut wajah Ataska terlihat berubah saat mendnegar pertanyaanku. Entah apa yang membuat dia bersikap seperti itu hanya karena satu pertanyaan yang kulontarkan.

"Kenapa?" tanyaku menelisik.

"Sudah tugasku untuk memastikan semua peri warior dalam keadaan baik-baik saja," kata Ataska yang sudah terlihat biasa lagi dan mengatakan semuanya tanpa beban.

"Tugas, apa tugasmu juga membuatku kehilangan sayapku?" tanyaku yang langsung menusuk hati Ataska.

"Itu ... itu...," kata Ataska tergagap.

Sepertinya Ataska tidak mengira jika aku akan membahas kembali mengenai sayapku yang dia potong tanpa belas kasihan.

Aku memang bukan peri pendendam, tapi rasanya hatiku tak bisa menerima peristiwa itu. Aku masih kesal karena Ataska memotong sayapku tanpa izin atau penjelasan apa pun.

"Itu apa?" tanyaku dengan sorot mata tajam yang tepat menghujam ke arah matanya.

Selama beberapa menit aku menunggu penjelasan Ataska, tapi dia tak kunjung mengatakan apa pun. Dia hanya diam seribu bahasa.

Aku kesal dengan tingkah Ataska, akhirnya aku melangkahkan kakiku dan meninggalkannnya yang masih saja bengong menatapku.

"By...," kembali aku mendengar Ataska memanggilku, tapi aku tak menghiraukannya dan terus berjalan meninggalkannya.

Aku tak ingin lagi mendengar apa pun yang akan dikatakan oleh Ataska. Karena kenyataannya dia telah membuatku sakit dan terluka dengan semuanya.

Kulangkahkan kakiku dengan langkah yang lebar. Beberapa orang peri memanggilku, tapi aku tak menghiraukan mereka. Aku hanya melemparkan seutas senyum kemudian berlalu begitu saja.

Ini memamg akan lebih baik bagiku mengingat jika berbicara dengan mereka pasti akan berujung pada penghinaan dan penghinaan.

"Peri hilang itu telah kembali. Benarkan kataku, dia menghilang hanya untuk mencari perhatian kita saja, terutama Ataska," terdengar suara seorang peri perempuan saat aku sudah hampir sampai ke rumahku.

Aku kenal suara itu, suara yang sepertinya dalam hidupnya hanya tahu bagaimana cara menghina dan menghina. Dia adalah Heina, peri yang selama ini sangat suka menghinaku.

Aku tak menghiraukannya dan terus saja berjalan ke arah rumahku. Aku ingin membenamkan tubub lelahku ini di atas tempat tidur yang kata mereka sudah seminggu tidak aku jamah sama sekali.

"Hei ... kalau orang sedang bicara itu di dengarkan, buka  main pergi begitu saja!" kata Heina dengan suara yang sangat lantang.

"Aku tak ingin mendengarkan semua ocehanmu itu, Heina!" kataku sambil mendelik tajam ke arah Heina.

Dia sedikit terperanjat dengan apa yang baru saja kukatakan. Heina sepertinya tidak mengira jika aku akan mengatakan hal itu padanya.

Ya, selama ini aku hanya diam dan diam setiap kali aku di hina oleh mereka. Tapi sekarang aku tak ingin lagi diam. Aku tak ingin lagi di anggap sebagai peri lemah.

"Kau, berani ya sama aku!" kata Heina dengan wajah marah.

Sedetik kemudian dia mulai menyerangku menggunakan kekuatannya. Dan aku hanya menghindar dari serangan yang Heina lakukan.

"Hentikan Heina, sebelum aku kehilangan kesabaranku!" gertakku kepada Heina.

Mungkin dulu aku hanya akan diam dan menghindar saja, tapi sekarang aku telah lelah bersikap seperti itu. Perjalanan itu menfajarkanku bertahan hidup dalam keadaan tersulit yang tidak semua peri dapat melakukannya.

"Kau mau berbuat apa, hah?" tanya Heina sambil terus menyerangku.

Aku masih menghindar dan menghindar hingga tak ada satu pun serangan dari Heina yang mengenaiku.

Aku lelah menghindar dari serangannya. Aku tak bisa hanya terus-terusan berdiam diri saja.

Aku mulai menggerakkan tanganku dan menumbuhkan tanaman rambat yang aku arahkan ke arah Heina. Tumbuhan itu tepat mengenai kaki Heina dan aku mulai menariknya.

"Ruby...," kata dua orang teman Heina yang sedari tadi hanya diam dan menatap kami.

"Kau...," kata Heina yang sepertinya kaget dengan apa yang baru saja aku lakukan.

"Sudah kubilang jangan menguji kesabaranku lagi kan. Sekarang rasakan akibatnya!" kataku sambil menggerakkan tanganku dan tanaman rambat itu menarik tubuh Heina dengan sangat kuat.

Bruk ... tubuh Heina terjatuh ke atas tanah. Dia terlihat sangat kesakitan dan matanyaembulat menatapku tajam.

"Jangan pernah menghinaku lagi!" kataku sambil menggerakkan tanganku dan melepaskan tanaman rambat dari kaki Heina.

"Kau monster Ruby!" kata Heina saat aku berjalan meninggalkannya.

Aku mengibaskan tanganku tak peduli dengan apa yang dikatakan oleh Heina. Aku terus melangkahkan kakiki menuju rumahku, aku ingin beristirahat dan memejamkan mataku walau hanya sejenak saja.

Brak ... aku membuka pintu rumahku sedikit kasar. Rasa kesal atas perilaku Heina membuatku bersikap demikian.

Kutatap beberapa perabotan yang sudah penuh dengan debu. Hhhmmm ... sepertinya aku memang telah pergi selama seminggu. Jika hanya semalam mana mungkin rumahku berdebu seperti ini.

Huft ... aku menarik napas dalam dan menghembuskannya kasar. Sepertinya aku harus membereskan semuanya dulu baru beristirahat.

Perlaham aku mulai membereskan rumahku yang penuh dengan debu. Rasanya lumayan cape mengingat aku baru saja melakukan satu perjalanan yang cukup jauh dan menguras tenaga.

Setelah beberapa lama akhirnya aku selesai juga membereskan rumah. Kini rumahku sudah bersih dan rapi, sama seperti saat aku meninggalkannya.

Kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur yanh selama seminggu ini tidak aku jamah sama sekali. Hhhmmm ... rasanya begitu nyaman dan tenang.

"Naga .... cepat mengungsi ada Naga...," terdengar suara seseorang yang berteriak dengan paniknya disaat aku akan memejamkan mataku.

"Naga, bagaimana ada Naga ke sini, bukankah ada perisai yang melindungi kawasan ini dari Naga?" gumamku sambil beranjak dari tempat tidur.

The Missing Of RubyWhere stories live. Discover now