petaka

1.1K 113 22
                                    

Aku tahu kalau hidupku hanya tercipta untuk di hina dan di hina. Aku hanya mampu menatap dengan harapan suatu saat mereka akan melihatku dengan tatapan lain, tatapan persahabatan.

Kini aku sedang berada di pinggir danau setelah menerima begitu banyak hinaan dari kawan-kawanku, terutama Heina. Entah kenapa Heina begitu membenciku, padahal aku tak pernah berbuat salah padanya. Aku tak pernah menyakitinya walau hanya sekejap.

Dan ya, Ataska memang telah melarangku berada di sini karena khawatir aku akan dilukai manusia. Tapi apa peduli Ataska pada hidupku? Dia sama saja dengan yang lainnya. Dia memperingatkanku untuk tak ada di sekitar danau hanya karena tugasnya saja, bkn karena dia bersikap baik padaku.

Aku terus menatap ke dalam beningnya air danau. Di sana ada ketenangan dan kenyamanan yang tak pernah aku dapatka saat aku bersama teman-temanku. Tidak, mereka bukan teman-temanku karena aku tak pernah memiliki seorang teman. Satu-satunya teman setiaku hanya kesendirianku.

Aku mengambik beberapa buah kerikil dan melemparkannya ke air danau. Aku sangat suka melakukan hal ini saat aku sedang merasa kesal akan mereka yang selalu menghinaku.

Bosan dengan melempar kerikil, akhirnya aku memutuskan untuk teebang dan mencari tempat yang jauh lebih indah dari danau ini. Aku tahu betul kalau hutan ini adalah hutan yang sangat indah hingga selalu menarik banyak manusia untuk masuk ke dalam sini. Tapi sayang, aku belum tahu seluruhnya bagaimana indahnya hutan ini.

Perlahan aku mengepakkan sayapku dan mulai terbang lebih tinggi. Mungkin inilah salah satu kelebihamku, aku dapat terbang lebih tinggi dan lebih jauh dari yang lainnya. Aku memang tak pernah menunjukkan kelebihanku ini karena aku takut mereka akan menghinaku lagi.

Dari ketinggian aku dapat melihat pohon-pohon tua yang berdiri kokoh dan menjulang. Pohon-pohon itu merupakan pohon tempat tinggal kami, kota yang tak pernah di jamah manusia.

Semakin jauh aku terbang, semakin banyak hal baru yang aku lihat. Dan memang betul, tempar-tempat yang ada di hutan ini sangat indah, jauh lebih indah dari danau tempatku menyendiri.

Akhirnya mataku terpaku pada satu tempat yang begitu indah dan sejuk. Aku melihat jauh di bawah sana ada sebuah air terjun yang memiliki pemandangan yang sangat indah.

Dengan kecepatan tinggi aku segera menukik turun dan bersiap memasuki beningnya air terjun. Tapi aku begitu kaget saat jarakku hanya tinggal beberapa meter saja aku melihat begitu banyak manusia di sana.

Kenapa mereka ada di sini? Bukankah ini letaknya jauh ke dalam hutan?

Aku mencoba menghentikan sayapku agar aku tak terlihat oleh manusia. Sial...sayapku terkena sapuan air terjun hingga membuat tubuh mungilku terjatuh ke dasar air terjun.

Seketika itu aku beubah menjadi begitu panik. Aku sangat tahu kalau peri warior bukanlah seorang perenang yang handal, bahkan bisa dikatakan kalau kami anti dengan air. Kami mandi pun hanya menggunakan embun pagi yang menempel di dedaunan tempat tinggal kami.

Sepertinya ini adalah akhir dari kehidupanku, akhir dari semua penghinaanku.

Aku memajamkan mataku dan bersiap dengan apa pun yang mungkin akan terjadi padaku. Sesuatu yang sudah aku bayangkan saat aku terjatuh dan memasuki dasar air terjun.

"Mom...aku menemukan ini," terdengar suara seorang anak manusia. Dan perlahan aku merasakan bahwa tubuhku terangkat ke pemermukaan air.

Perlahan aku memberanikan diri untuk membuka mataku. Aku menemukan diriku tengah terbaring di telapak tangan seorang anak manusia. Tangan itu telah menyelamarkanku dari dalam air dan membawaku pada masalah baru.

"Ada apa Jason," kata seorang perempuang yang aku perkirakan sebagai ibu dari anak ini yang ternyata bernama Jason.

"Aku menemukan makhluk kecil ini Mom, sepertinya peri," kata Jason.

"Kau jangan bercanda Jas, mana ada peri. Peri itu hanya makhluk khayalan," kata Sang Ibu.

"Lihat lah ini Mom," kata Jason sambil menunjukkanku pada ibunya.

Habislah riwayatku jika mereka melihatku dan menjadikanku sebagai bahan pebelitian mereka.

Perlahan aku berusaha menggerakkan tubuhku agar dapat terlwpas dari tangan anak manusia ini. Manusia jauh lebih mengerikan daripada air yang akan mengalir entah kemana ini. Tapi setidaknya aku tak akan berakhir di laboratorium jika aku menjatuhkan diri ke air.

Byyuuurr

Akhirnya aku berhasil menggerakkan tubuhku dan menjatuhkan diriku ke dalam air. Aku mebiarkan arus air yang cukup deras membawaku menyusuri aliran sungai.

Beberapa kali tubuhku terbentur bebatuan yang cukup besar, beruntung hal itu tak membuatku hancur menjadi puing-puing tak berarti. Dan...

Buuukkkk

Kepalaku terbentur pada sebuah ranting pohon yang ada di sungai dan membuat kepalaku menjadi pusing. Perlahan semua pandanganku mengabur dan akhirnya aku terpejam.

***

Silau, itu yang aku lihat saat aku membuka mataku. Aku sempat berpikir bahwa aku telah berada di syurga dan terhindar dari semua hinaan kawananku.

Tapi sepertinya aku salah saat aku mendengar suara aliran sungai yang tak jauh dariku. Sepertinya aku telah terdampar di pinggir sungai karena terbawa arus.

Aku berusaha bangun dan kurasakan rasa sakit yang teramat pada sayap sebelah kiriku. Aku segera menatap sayapku dan mendapati sayapku sobek cukup parah.

Seketika bulir-bulir bening membasahi pipiku. Kini aku benar-benar telah menjadi peri yang tak berguna sama sekali.

Ya, aku kini menjadi peri yang tak dapat lagi terbang. Aku bukanlah seorang peri jika tak dapat terbang, aku hanya seonggok sampah yang tak beguna.

Dengan menahan semua rasa sakit di sayapku, aku berjalan menuju tepi sungai. Aku sungguh tak memiliki harapan lagi untuk hidup.

Biasanya aku di hina hanya karena mataku berbeda. Tapi kini aku pun akan di hina karena aku sudah tak dapat teebang lagi. Aku sungguh tak mampu lagi untuk menghadapi semua hinaan dari teman-temanku.

"Apakah kematian aka menjadi penyelesaian terakhirmu?" kata seseorang dari belakangku dengan suara bariton yang cukup aku kenal. Itu adalah suara Ataska.

Sedang apa Ataska di sini?

Aku membalikkan badanku dan benar saja, aku melihat Ataska hanya berjarak beberapa meter dariku. Dia sedang menatapku dengan tatapan tajam bagai elang yang akan menerkam mangsanya.

"Aku peri yang tak berguna," ucapku lirih dengan butiran kristal putih yang semakin jatuh membasahi pipiku.

Ataska terlihat begitu kaget dengan apa yang baru saja aku ucapkan. Dia cukup tahu bahwa aku sering kali di hina hanya karena aku berbeda. Tapi sepertinya dia tak pernah menyangka jika aku akan berkata seperti itu.

"Jika kamu berbeda, bukan berarti kau tak berguna," ucap Ataska setelah terdiam beberapa saat.

"Sayapku sobek parah, aku tak dapat terbang lagi dan itu artinya aku peri tak berguna. Peri tapi tak bisa terbang," kataku lirih.

Kali ini ucapanku berhasil membuat Ataska terperangah kaget. Sepertinya dia tak pernah menyangka jika yang membuatku putus asa adalah karena sayapku yang rusak.

"By...," kata Ataska.

"Aku tak memerlukan belas kasihanmu,"kataku jelas sambil membalikkan badanku dan kembali berjalan ke tepi sungai.

The Missing Of RubyWhere stories live. Discover now