Hinaan

1.6K 118 18
                                    

"Pergi...jangan mendekatiku, aku tak sudi di dekati peri mengerikan sepertimu!"

Kata-kata itu menjadi makanan sehari-hari bagiku. Aku yang terlahir berbeda dari peri lainnya selalu di anggap hina dan menjadi petaka bagi peri lainnya. Setiap ada kejadian aneh di luar nalar mereka, pasti akulah yang akan mereka salahkan. Padahal, apa dosa dan salahku kepada mereka.

Namaku Ruby Aurora, aku adalah seorang peri hutan. Namaku memang cantik sesuai dengan wajahku. Tapi sayang, tak ada yang menyukaiku dan mau berteman denganku. Setiap hari aku hanya menerima hinaan dan hinaan dari mereka hingga aku terbiasa hidup seorang diri.

Semua karena warna bola mataku yang berbeda dengan peri lainnya. Mereka memiliki iri mata sebiru langit yang cerah. Dan aku...aku memiliki iris mata berwarna kekuningan.

Aku tahu aku berbeda, dan aku tak suka itu. Aku tak suka hidup dalam kesendirian dan hanya mampu menatap kawan-kawanku yang lain bermain dan tertawa bersama.

Di bawah pohon tua dan rindang aku memandang sekumpulan peri yang tengah bermain dan tertawa bersama. Ada rasa iri menyeruak di dalam hatiku.

Andai aku berada diantara mereka

Perlahan aku beranjak dudukku. Dengan langkah gontai dan jantung yang berdegup kencang aku berjalan menghampiri mereka. Aku masih saja berharap jika mereka akan menerimaku dan memperbolehkanku untuk bermain bersama mereka.

"Ha...hai," sapaku pada mereka.

"Ada apa kamu kemari?" tanya Heina padaku.

Heina adalah peri paling cantik dan menawan di antara kami. Iris birunya berbinar dengan sangat cerah dan indah. Sayapnya pun berkilauan setiao kali terkena sinar mentari.

"Apa...apa aku boleh bermain bersama kalian?" tanyaku dengan jantungberdegup kencang.

"Apa, kamu mau bermain dengan kami?" tanya Heina.

"I...iya," jawabku dengan tangan yang bergerak ke depan dan belakang untuk menyembunyikan kegugupanku.

"Jangan mimpi kamu!" kata Heina sambil mendorong tubuhku ke belakang.

Bruk

Aku terjatuh ke atas tanah dengan cukup kerasnya. Dan mereka berlalu dari hadapanku dengan sikap yang sangat angkuh.

Bulir bening jatuh tanpa tertahankan lagi. Seharusnya aku tak perlu mengeluarkan kristal-kristal bening ini karena ini bukan pertama kali aku diberlakukan seperti ini. Tapi entah kenapa, aku selalu menangis saat mendapatkan perlakuan kasar mereka.

Perlahan aku bangkit dan membeesihkan sayapku yang kotor. Aku mencoba mengepakkan sayapku dengan perlahan dan tubuhku mulai melayang di udara.

Syukurlah sayapku baik-baik saja walau tadi aku telah terjatuh.

Aku mulai mengepakkan sayapku dan  berusaha menjauh dari semuanya. Menjauh dari orang-orang yang tak pernah bisa menerima kekuranganku. Orang-orang yang hanya tahunya menghinaku bukab merangkulku dan mengajakku.

Aku berhenti terbang dan menepi di sebuah danau yang begitu indah dan tenang. Tak ada satu peri pun yang mau berada di sini. Alasannya sangat jelas, karena ini adalah tempat terluar yang langsung berhubungan dengan manusia.

Manusia memang hal yang paling menakutkan bagi kami. Manusia seperti monster yang dapat menghancurkan hidup kami, memporakporandakan tempat tinggal kami. Dan sayangnya, manusia begitu suka bermain-main di tempat yang indah dan tenang seperti danau ini.

Kuhirup udara sebanyak mungkin dan menghembuskannya secara perlahan. Ini adalah caraku untuk menenangkan diri dan melupakan setiap penghinaan yang diberikan oleh kawan-kawanku.

Sesungguhnya aku ingin marah pada mereka atas apa yang mereka lakukan padaku. Tapi aku tak pernah tahu bagaimana caranya marah, bagaimana caranya mengamuk seperti peri lainnya.

Aku yang terlahir dengan iris berwarna kuning juga memiliki kekurangan lainnya di banding peri lain. Aku tak pernah bisa marah atau pun mengamuk.

Kami memang peri hutan, tepatnya peri hutan warior. Semua tahu bahwa kami ahli berperang, memiliki kemampuan marah dan mengamuk melebihi peri lainnya. Tapi hanya aku yang tak bisa melakukan semua itu.

Aku selalu terasingkan setiap kali ada perang melawan apa pun. Aku hanya bisa jadi penonton mereka dan duduk menunggu hasil. Dan hal itu tak jarang menjadi salah satu alasan mereka menghinaku.

"Sedang apa kau di sini?" tanya suara berat seorang pria.

Aku menengadahkan kepalaku dan melihat sosok Ataska tengah terbang di atasku. Dia adalah peri paling tampan dan paling kuat. Dia seringkali di gadang-gadang akan menggantikan ayahnya sebagai panglima perang.

"Aku...aku...," kataku sambil memainkan tanganku mencoba menyembunyikan kegugupanku.

"Aku apa? Apa kamu tidak tahu kalau tempat ini terlarang bagi peri?" tanya Ataska sambil bergerak turun dan menghampiriku.

Aku tak dapat menjawab perkataan Ataska. Aku terlalu gugup dan takut akan dirinya. Aku takut jika dia akan melaporkanku pada ayahnya atau pada Sang Raja.

"Owh...pantas saja kau ada di sini, kau peri aneh yang tak mempunyai amarah," kata Ataska yang berhasil merubah wajahku menjadi pucat pasi seperti tak memiliki darah.

Ini adalah kebiasaanku saat aku marah. Rona wajahku akan berubah menjadi pucat pasi. Tapi tak akan ada satu kata pun yang keluar dari bibir mungilku.

"Gak bisa marah?" tanya Ataska lagi.

Aku hanya terdiam dan sebutir cairan bening jatuh membasahi pipiku. Ya, inilah aku yang selalu menangis ketika aku sudah tak sanggup lagi menahan semuanya.

"Apa dengan menangis akab menyelesaikan semuanya?" kata Ataska.

Kembali tak ada satu kara pun keluar dari bibir mungilku. Aku benar-benar tak sanggup membuka mulutku dan berkata walau hanya satu kata.

"Dasar peri lemah!" kata Ataska.

Kata-katanya begitu menusuk ke dalam jantungku hingga aku menatapnya nanar. Aku tak pernah menyangka akan ada orang yang mengatakan hal tersebut. Itu adalah penghinaan yang paling mendalam bagiku.

"Cepat kembali ke dalam hutan atau aku akan melaporkanmu kepada Raja!" ancam Ataska.

Aku tak bergeming walau hanya selangkahpun. Aku tetap berdiri di tempatku sambil menangis dan menatap Ataska nanar.

Menyadari sikapku, Atasku mulai melunak dan bersikap lebih baik padaku. Dia menggenggam tanganku dengan sangat erat dan mulai mengepakkan sayapnya untuk terbang dan membawaku pergi dari pinggir danau.

Ya, sayap Ataska memang lebih besar dan lebih kekar dari sayapku hingga dia mampu menarikku. Dia terus terbang membawaku mendekati daerah dimana aku melihat kawan-kawanku sedang bermain bersama.

Perlahan Ataska menurunkanku ke atas tanah. Dan aku, tentu saja aku masih menangis dan meratapi semuanya.

"Jangan pernah berada di daerah terlarang lagi!" kata Atasku dan pergi dari hadapanku.

Aku masih menatap kepergian ataska saat seseorang menabrakku dengan sangat keras dari belakang.

Bruk

Aku terjatuh ke atas tanah. Lagi, aku mendapat perlakuan yang cukup kasar hanya karena aku berbeda.

"Jangan pernah berharap untuk mendekati Ataska!" kata seseorang sambil mengancamku.

Aku segera membalikkan badanku dan melihat Heina tengah berdiri di belakangku. Dia terlihat marah padaku dan berkacak pinggang.

"Apa salahku?" tanyaku pada Heina.

"Karena kau berbeda dan tak pantas untuk Ataska," jawab Heina.

Kenapa Ataska menjadi alasan dia menghinaku?

The Missing Of RubyWhere stories live. Discover now