Peri Warior?

923 96 25
                                    

Perlahan aku memetik sebuah bunga berwarna merah yang begitu indah dan menggoda hatiku. Bunga yang setengah kuncup itu benar-benar wangi dan semerbak.

"Aaaggghhhh...," kataku kaget saat melihat setitik darah keluar dari tangkai dimana bunga itu tadi berada.

Aku menatap tangkai itu dengan nanar. Ini memang hal yang baru bagiku, dan aku tak begitu paham bagaimana semua ini bisa terjadi. Ini sangat di luar dugaanku.

Pandanganku terus beralih antara tangkai dan kelopak bunga yang ada di tanganku. Bunga itu tidak layu atau rusak, dia tetap segar seperti saat aku memetiknya tadi.

"Setiap tanaman itu hidup," terdengar suara seseorang berbicara dengan suara lembut namun ada luka mendalam pada suara itu.

Aku mengedarkan pandanganku untuk mencari siapa pemilik suara itu. Tapi sayang, sejauh mata memandang, aku tak menemukan siapa pun di sini, kecuali aku..

"Siapa yang bicara?" tanyaku dengan suara yang sedikit kebingungan.

Bagaimana aku tidak bingung jika aku mendengar suara tapi tak ada yang siapa pun di sekitarku. Apakah hantu yang telah berbicara tadi? Tidak, hantu hanya ada dalam dunia manusia, bukan dunia peri sepertiku. Dalam dunia kami tak pernah mengenal yang namanya hantu, dedemit, jin, atau apa pun namanya. Hidup kami jauh dari hal-hal yang tidak masuk akal seperti itu.

"Aku di sini," kembali aku mendengar suara seseorang padaku, tapi tetap saja tak ada siapa-siapa disekitarku.

"Kamu dimana?" tanyaku dengan suara sedikit ketakutan. Ya, aku takut jika yang bicara itu adalah manusia. Manusia memang menjadi musuh dan hal yang paling menakutkan bagi kami bangsa peri.

"Aku di tanganmu," kata suara itu lagi.

Ditanganku? Aku langsung menatap bunga yang ada di tanganku. Aku tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Aku tak percaya jika setangkai bunga yang kupetik dapat berbicara.

"Gak mungkin...ini gak mungkin," kataku sambil menggelengkan kepalaku tak peecaya.

Siapa yang akan percaya jika bunga bisa bicara. Tak akan ada yang percaya satu pun. Apalagi manusia, makhluk yang sangat hobi merusak alam dan menebang apa pun tanpa memikirkan baik-buruknya untuk kehidupannya.

"Kami memang hidup, sama sepertimu. Dan titi darah itu, manusia mengenalnya dengan getah," katanya dengan suara penuh luka dan kesakitan.

"Itu gak mungkin," kataku masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Aku memang tak percaya jika bunga itu hidup, dia tak punya mata, tangan, kaki, dan ciri-ciri makhluk hidup lainnya.

"Percayalah, kami memang hidup,"

"Lalu kenapa kalian tak pernah berbicara saat manusia-manusia atau siapa pun merusak dan melukai kalian?"

"Kami tidak diam, kami berteriak, tapi mereka tak dapat mendengar kami, hanya kamu yang dapat mendengar kami,"

Aku terperangah mendnegarnya. Aku sungguh tak percaya, bagaimana hanya aku saja yang dapat mendengarnya sedang yang lain tidak?

Aku per warior, bukan peri tumbuhan. Kemampuanku harusnya berperang, bukan menumbuhkan tanaman dan berbicara dengan mereka.

"Aku peri warior, bukan peri tumbuhan!" kataku dengan suara penuh penekanan.

Aku menekan suaraku karena ingin membuat dia mengerti siapa diriku. Aku tak mau jika dia menganggap bahwa aku bukan peri warior.

"Apakah kamu dapat berperang seperti yang lainnya?" tanyanya lagi.

Kali ini pertanyaan itu benar-benar menusuk ke dalam jiwaku. Peri warior seharusnya mampu berperang, tapi aku tak memiliki kemampuan itu. Selain itu, kawananku bisa menyemburkan napas api untuk melawan musuh, tapi aku tidaj dapat melakukannya.

Dan sekarang, sekarang aku harus menerima kenyataann bahwa aku bisa menumbuhkan tanaman dan berbicara dengan setangkai bunga yang baru saja kupetik.

"Kenapa diam?" tanya bunga itu karena aku tak mengucapkab sepatah kata pun untk menjawab pertanyaannya.

"Aku...aku bisa berperang," kataku dengan suara terbata-bata.

Tak ada jawaban, yang ada hanya suara tawa penuh ejekan. Mungkin aku memang terlahir untuk selalu di ejek. Bukan hanya kawananku yang mengejekku, tapi kini bunga pun mengejekku karena aku tidak memiliki kemampuan berperang.

"Hentikan!" teriakku sambil melempar bunga yang tadi begitu indah, dan seketika tawanya lenyap dengan perubahan sikapku yang begitu drastis.

Aku biasanya diam tanpa kata saat ada yang mengejekku atau pun menghinaku, tapi entah kenapa kali ini aku tak bisa hanya diam. Hatiku terasa begitu sakit menerima semua hinaan dan ejekan dari mereka.

"Aku tak suka dengan semua ini!" kataku sambil menggerakkan tanganku dan menghempaskan semua bunga yang baru saja aku tumbuhkan.

Aku membenci mereka hanya karena ucapan setangkai bunga yang telah mengejekku dan menertawakanku. Aku tak paham bagaimana dia mampu berkata demikian sedang dia pun merasakan sakit karena dia terpisah dari tangkainya.

Bulir-bulir air mata mulai jatuh dan membasahi pipiku. Ini adalah pertama kalinya aku menangis karena rasa sakit yang telah begitu dalam di hatiku. Aku biasanya hanya pergi tanpa membalas dan menangis, tapi sekarang...sekarang aku tak mampu menahan semuanya.

Hatiku sudah sampai pada batas toleransi untuk menahan semua hinaan mereka. Aku sudah terlalu kenyang mendapatkan semua hinaan dan ejekan. Aku ingin sekejap saja mereka mengakuiku dan menghargaiku.

"Aku benci kaliaaaaannnnn!" teriakku dengan suara lantang dan wajah menghadap ke langit biru.

Perlahan sayapku terentang dan dapat kulihat bagaimana sayap yang satunya hanya berukuran setengah dari sayap lainnya. Kembali aku mengingat apa yang telah dilakukan oleh Ataska padaku.

"Ataska, semua gara-gara kamu!" kataku dengan mata menyalang dan marah.

Bagaimana aku tidak marah, aku memiliki kemampuan terbang jauh lebih tinggi dari Ataska, tapi kini semua harus hilang hanya karena kelakuan Ataska memotong sayapku.

"Sudah saatnya aku menunjukkan siapa diriku pada mereka!" kataku sambil menghapus air mataku.

Aku berbalik dan mulai melangkahkan kakiku melewati semak-semak yang tadi aku lewati. Hatiku telah berubah, aku sudah tak merasakan sakit. Aku hanya merasakan hatiku ini penuh dengan amarah dan kebencian pada mereka yang telah menghina dan mengejekku.

"Akhirnya kamu kembali juga, By," kata Ataska saat melihatku keluar dari semak-semak.

Entah berapa lama dia berada di sini, yang jelas aku tak percaya jika dia berada di sini sejak aku pergi. Karena aku tahu bahwa Ataska harus pergi berpatroli dan tentu saja, dia yang meminta Elsie untuk menemuiku.

"Tak perlu kamu meminta Elsie untuk berteman denganku, aku tak suka dikasihani!" kataku sambil menatap Ataska tajam.

"Elsie?" tanya Ataska dengan wajah yang sedikit terkejut.

"Ya, Elsie temanmu di peri penjaga," kataku masih tetap menatap Ataska dengan mata tajam dan nyalang.

"Tapi aku tak punya teman bernama Elsie, By," kata Ataska masih dengan wajah kebingungan.

The Missing Of RubyWhere stories live. Discover now