"Aku pernah melakukan kesalahan tak termaafkan sama dia."

"Siapa orangnya, Kev?"

"Kau tau, di jantungku ini," tangan kanan Kevan menutup area dada dimana jantungnya berada, "Memang masih berdetak layaknya manusia normal lainnya. Tapi jantung itu berdetak bukan menandakan jika aku masih hidup melainkan detakkan itu berupa harapan akan diberinya kesempatan padaku untuk bertemu dengannya lagi."

                                             
Rendra menghela napas pelan saat melihat tatapan Kevan yang meredup karena pengharapan yang tak kunjung terwujud. Rendra juga menyabarkan dirinya untuk menjadi pendengar yang baik karena seperti Kevan masih belum selesai dengan sesi curhatnya.

"Sakit rasanya, Ren, saat aku terus dihantui mimpi akan malam terakhir aku melihat dia."

"Saat air matanya mengalir, tatapan kecewa serta terlukanya tak mau pergi dari ingatanku. Dan yang paling menyakitkan adalah ketika dia meminta satu permintaan terakhir padaku,"

"Apa permintaannya?" tanya Rendra sambil bersedekap memandang wajah senduh Kevan.

"Dia meminta aku kembali seperti dulu, memperlakukan dia layaknya seorang adik."

"Bukankah itu bagus? Berarti kan tidak ada dendam apa lagi tuntutan buatmu?"

Kevan menggeleng, "Bukan itu yang jadi masalahnya."

"Lalu apa?"

"Di saat terakhir dia mengatakan bahwa dia akan melupakan rasa cinta yang selama belasan tahun dia rasakan untukku. Dan aku tidak menginginkan itu." jawab Kevan lugas diakhir kalimatnya.

"Dan siapakah dia ini yang ternyata telah berhasil menjeratmu sampai terlihat seputus asa begini?"

Meski sekian tahun Kevan berlakon peran dengan menunjukkan jika dia baik-baik saja serta menambah tingkat kebrengsekkannya di depan semua orang, tapi tidak untuk Rendra yang memiliki pengamatan yang sangat jeli. Meski ditutupi serapat mungkin, Rendra tetap bisa melihat bahwa apa yang ditunjukkan Kevan hanyalah tampilan luarnya saja. Karena sebenarnya dari tatapan mata pria berusia pertengahan 30-an itu bisa Rendra lihat kekosongan yang sangat di sana.

"Maukah kau bertindak objektif? Tidak memandang dari sudut pandangmu saja, atau mementingkan amarah apalagi berlaku kasar padaku saat aku memberi_tahu kau siapa orangnya."

"Apa maksudmu sebenarnya?" tanya Rendra yang kernyitan di dahinya mulai terlihat.

"Sebagai seorang sahabat, jika boleh aku mengatakan begitu mengingat dosa yang pernah aku lakukan kepada sahabat yang lainnya, aku meminta pengertianmu untuk tidak memukulku saat ini. Bukan karena takut ataupun malu dijadikan tontonan orang banyak, hanya saja aku baru keluar dari rumah sakit dan aku memerlukan semua tenagaku untuk mengejar maaf darinya."

"Jangan bertele-tele, Kev! Katakan saja siapa orangnya?"

"Berjanjilah Ren, bahwa kau tidak akan melayangkan tinjumu untuk saat ini." pinta Kevan dengan sangat.

Rendra menghela napas kasar untuk menyabarkan hatinya, "Baiklah, aku akan bersabar untuk saat ini. Hanya saat ini, karena setelah memastikan kondisimu baik-baik saja aku tidak bisa berjanji untuk tidak memukulmu jika apa yang kau katakan tidak bisa aku terima."

                                              
Kevan merogoh apa yang ada di saku kemeja putih yang ia kenakkan, lalu mengangsurkannya di depan Rendra seraya berharap-harap cemas akan reaksi yang ditunjukkan oleh Rendra setelah melihat apa yang terletak di depannya.

Semerah Warna Cinta [TTS #3 | SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang