Chapter 47 - Say Sorry

77.6K 3.6K 5
                                    

Author's POV
"Hah?! Marco's beer itu toko milik ayahmu?" Seru Kendra yang sedari tadi mengintip surat yang sedang dibaca Aaron.

Aaron tersentak kaget, langsung mencari posisi lain untuk membaca suratnya secara pribadi. Tapi percuma saja, sepertinya Kendra sudah lebih dulu membaca semuanya.

Kendra berdecak, "Kenapa kau bersembunyi, Aaron?" Tanyanya penasaran.

Aaron tidak menjawab, ia tampak sedang memikirkan jawaban atas pertanyaan Kendra.

Benar juga, kenapa ia bersembunyi? Kenapa waktu itu ia tidak langsung menemui ayahnya saja?

Sekeras apapun ia berpikir, kesempatan itu juga sudah lenyap.

Sampai kapanpun tidak akan ada lagi hari lain untuk berbincang ataupun bertemu dengan ayah kandungnya, Marco.

Semua itu karena keegoisannya, amarah, hatinya sudah dipenuhi oleh dendam. Kini ia menyesal, keadaan pasti akan berbeda jika ia menyingkirkan dendam dalam dirinya waktu itu.

"Kendra," lirih Aaron pelan. Merangkul wanita itu dan duduk bersamanya di sofa kecil dekat sudut ruangan.

"Apa?"

"Kau akan berhenti?" Tanya Aaron serius.

Kendra mengangkat alis serta bahunya serentak, "Why?" Tanyanya.

"You don't have to do that, okay?" Aaron mengelus pipinya dengan pelan. Membuat wanita itu tak berhenti tersenyum tersipu.

Pria itu mungkin merasa bersalah, tidak ingin membebankan siapapun hanya karena perasaannya.

Mimpi apa Kendra semalam? Aaron berubah menjadi dua kali lebih hangat sejak pulang dari perjalanan kemarin.

Kendra tertegun, sesuatu mulai terlintas di pikirannya.

Ia akhirnya mengerti alasan Aaron membekukan hatinya saat itu. Membuat Kendra terus mendapat dorongan untuk membuktikan bahwa tidak semua selebriti akan meninggalkan keluarga demi karir dan penghasilan fantastis.

Setelah memikirkan kembali keputusannya semalaman. Kendra bahkan masih tidak menyangka nyalinya yang besar, ia pasti sudah gila hendak menolak kontrak menjadi salah satu model bermerek top itu.

👑

"Mr.Torres, seseorang ingin bertemu denganmu, boleh kuizinkan masuk?" Tanya seorang wanita berumur empat puluhan yang baru menjadi sekertaris pribadinya.

"Namanya Brenda Volk," bisiknya pelan. Wajahnya tersirat sedikit kekaguman mendapati seorang aktor terkenal ingin bertemu dengan atasannya.

Walaupun wanita berambut hitam pekat tidak memperkenalkan diri, sepertinya semua orang juga sudah tahu namanya.

Mendengar hal itu, Aaron menghentikan pekerjaannya sebentar. Meletakkan pen maupun berkas-berkasnya, "Aku akan segera keluar," Jawabnya.

Wanita itupun keluar seraya mengangguk, tidak lama kemudian disusul oleh Aaron di belakangnya.

"Sebentar saja, Aar!" Ucap wanita itu pelan setelah melihat keduanya keluar dari ruangan dibalik pintu kaca itu.

Aaron hanya terus berjalan lurus tanpa memandangnya. Tapi Brenda terus membuntutinya kemanapun Aaron pergi.

Memasuki lift, menuruni anak tangga, Brenda tak berhenti mengikuti langkah panjang Aaron.

"Masuklah!" Aaron membukakan pintu mobil. Hal itu membuat senyuman Brenda mengembang.

Tidak ada yang mengatakan apapun sepanjang perjalanan. Brenda hanya duduk manis, menunggu kemana ia akan dibawa.

Beruntung kantor masih sepi karena masih jam makan siang, Brenda tidak harus memakai kacamata hitam ataupun menjadi bahan pembicaraan orang-orang.

Brenda hanya terus membuntuti putranta itu kemanapun ia pergi, sampai mereka berakhir di suatu cafe yang tak jauh dari sana.

Dominasi warna cokelat tua dan cream memberi kesan hangat, interior klasik dan juga tataan tempat duduk yang rapi. Tidak banyak pelanggan, hanya satu dua orang yang sedang duduk menikmati minuman mereka.

Seorang pelayan datang memberikan menu dan membiarkan keduanya membacanya sejenak.

"Coffee latte, dua" Aaron langsung menyerahkan daftar menu itu kepada pelayan dan berdeham.

Kehadiran sosok Aaron di media sosial mungkin saja mulai menjadi pertanyaan bagi beberapa orang yang melihatnya. Tapi meskipun begitu, pria cuek itu tetap saja tidak peduli.

Keduanya serentak membuka mulut, serentak juga langsung berhenti, "Kau duluan saja," pinta Aaron.

"Jika ada kata yang bermakna lebih dalam dari kata 'maaf', akan kukatakan sekarang," Ucap Brenda tertunduk. Memainkan jari-jari tangannya seolah sedang gugup.

"Soal Marco, kau tidak apa-apa?" Aaron berdeham, memalingkan wajahnya.

Pelayan itu datang membawakan pesanan mereka. Dua cangkir Coffee latte panas, disajikan dengan latte art berkualitas tinggi. Sehingga gambar yang terbentuk diatasnya benar-benar terlihat sempurna. Jarang sekali ada pelanggan yang langsung menyesap latte itu begitu saja tanpa mendokumentasikannya terlebih dahulu.

"Tidak, aku tidak baik-baik saja," Jawabnya menyesal.

Aaron tidak berkomentar, hanya menatapnya datar. "Aku merindukannya, merindukan kalian semua, aku menyesal Aaron. Aku tidak akan bisa membeli kebahagiaan itu dengan semua uang yang kudapatkan sekarang," Jawab Brenda.

Ia mulai terisak, tangisannya itu tampak berbeda dari sebelumnya. Sehingga berhasil mengambil seperempat kepercayaan Aaron.

"Aku tidak bilang ingin mengambilnya kembali, aku tahu kalian tidak akan bisa memaafkanku," Tambahnya sambil menyeka air matanya dengan tisu.

Aaron tetap tidak berkomentar. Sedang bergumul dengan segala ketidakyakinannya.

Aurora benar, sulit sekali melihat sosok ibu kandung mereka hari ini, yang bahkan tidak berani meminta permintaan maaf dari keduanya.

👑
TBC

✅ A Missing PartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang