Chapter 45 - New Jersey (2)

Start from the beginning
                                    

Tidak ingin menggangu percakapan dan peluk-pelukan saudara itu, Kendra kemudian menunggu di dalam mobil.

"Kau melihat Brenda?" Tanya Aaron.

Aurora melihat sekitarnya, seolah sedang mencari-cari, "Aku datang bersamanya, ia menjemputku dari Brooklyn" Jelas Aurora.

"Dia menyesali perbuatannya, kak" Tambah Aurora tiba-tiba, setelah melihat raut wajah Aaron yang berubah.

"Jangan tertipu--"

"Kau akan segera mengetahuinya. Aku juga sepertimu kak! Kurasa kau sudah cukup mengenaliku," Jawab Aurora yang tampak sedikit kesal.

Benar, adiknya ini sama keras kepala dengan dirinya. Bahkan bisa dibilang lebih keras dibandingkan dirinya. Bagaimana cara Brenda mengambil hati adiknya ini, membuat Aaron sangat-sangat penasaran.

Keduanya berbincang, menghabiskan satu sampai dua jam di halaman rumah itu, sedang menyiapkan rencana untuk menghadiri pemakaman besok.

👑

Dingin. Sangat dingin. Bagaimanapun, pemakaman itu harus terlaksana walaupun di pagi hari dengan cuaca dingin seperti ini.

Embun pagi masih menyelimuti perdesaan, meskipun mereka tiba sepagi ini, gereja telah kosong, dan yang terlihat sekarang hanyalah batu nisan yang dikelilingi oleh orang-orang berpakaian serba hitam dan formal di halaman sekitarnya.

"Hmm, Aaron--" pria itu menghentikan ucapannya saat pandangannya tertuju pada gadis cantik berambut hitam pekat yang sedang berjalan mendekati keduanya.

Aurora dan Aaron hanya memandang heran kumpulan orang yang sudah mengusir mereka kemarin, kini sudah tidak berkata apa-apa lagi.

Tidak peduli, Aurora berjalan dengan penuh percaya diri, dengan buket bunga di tangannya.

Sudah banyak bunga diatas tanah itu, tetapi Aurora tetap menambahkan sebuket bunga berwarna-warni yang dipadukan dengan sangat indah.

Mata Aurora berkaca-kaca, meskipun Marco bukan sosok ayah yang selama ini tinggal bersama mereka, tapi ia ada disini saat ini karena darah Marco yang mengalir ditubuhnya.

"Maafkan kami."

Keduanya mendongak, apa rencana yang sudah mereka bincangkan semalaman tidak lagi berguna?

"Aku tidak tahu." Pria berambut pirang itu kini tertunduk dalam-dalam, merasa bersalah.

Apa yang terjadi?

"Tapi--" Ucapan Aaron disela oleh seorang wanita yang sudah mengatainya semalam.

"Brenda datang, menjelaskan semuanya."

"Connor! Minta maaf pada mereka!" Wanita itu menarik lengan anaknya dan memintanya mengaku salah kepada Aaron dan Aurora.

"Tidak apa-apa, aunt." Sergah Aaron.

Mereka dibimbing, diundang ke dalam rumah itu dan berbincang bersama. Diperlakukan jauh berbeda dari perlakuannya tadi malam.

Wanita itu menyodorkan secangkir teh, "Maafkan kami, sungguh," Ucapnya pelan. Tertunduk dalam-dalam, seolah sudah melakukan hal yang sangat cela.

Aaron bergeming, melirik Aurora yang duduk disampingnya, keduanya sama-sama tidak mengatakan apa-apa.

"Dimana Brenda?" Tanya Aaron tiba-tiba.

"Sudah pulang tadi pagi sekali," jawabnya.

"Seharusnya saat itu kami datang membawa kalian," tambahnya, rasa bersalahnya sangat jelas terlihat dari tatapan sepasang mata birunya.

Aaron dan Aurora serentak bergeleng.

Bagaimanapun, paman dan bibinya itu tidak pernah tahu betapa kacaunya keluarga Aaron dan Aurora. Entah bagaimana nasib mereka jika bukan keluarga Damaris yang menemukan mereka saat itu.

"Marco menitipkan ini untuk kalian," lanjut wanita itu kemudian meraih dua lembar surat yang dimasukkan kedalam amplop dari meja kecil di dekatnya.

Keduanya tetap tidak berkomentar. Bagaimanapun akan sedikit canggung dengan keluarga yang jarang atau bahkan tidak pernah bertemu seperti ini sebelumnya.

Melihat keduanya asyik memegang suratnya masing-masing. Wanita itu lalu melanjutkan ucapannya, "Kakakku yang bersalah, mohon maafkan dia."

"Kami semua mengira, kalian pergi bersama Brenda saat itu. Aku hanya benci pada wanita yang telah menghancurkan hidup kakakku. Tanpa tahu kehidupan kalian sebetulnya jauh lebih sulit daripada hidupnya," jelas wanita itu lagi.

"Yang lalu biarlah berlalu," Ucap Aurora kemudian. Mata tajam seperti kucing itu persis mengingatkannya pada Brenda. Ditambah lagi dengan rambut hitam pekatnya.

Cantik, sempurna seperti ibunya.

"Omong-omong, dimana Kendra? Top star terkenal itu?" Tanyanya semangat. Secara tidak langsung wanita itu telah merubah topik pembicaraan, menolong suasana yang canggung tadinya.

"Tidak ikut! Aku hanya takut kalian akan mengusir seorang bintang terkenal sepertinya nanti," Sergah Aurora kesal. Kelakuannya persis seperti Aaron, datar dan sinis. Aurora sebetulnya masih kesal dengan kejadian semalam. Bagaimana ia diperlakukan dan diusir.

"Dia itu..."

"Teman Aaron," Sahut Aurora cepat.

Wanita itu sedikit terkejut. Termasuk Connor, pria super rude, yang dari tadi hanya berdiri, menguping dari pojok ruangan, tidak berani bergabung dalam perbincangan mereka dengan ibunya itu.

👑

"Aurora, ikutlah kami ke New York. Kau punya kelas hari ini?" Tanya Kendra.

Benaknya terus mengatakan,
Semoga tidak ada, semoga tidak ada.

"Maaf, tapi aku harus segera kembali," Jawab Aurora merasa sedikit bersalah.

Aurora juga ingin sekali bermain bersama Kendra dan Aaron di New York. Tapi ia harus segera kembali ke Brooklyn mengurus hal penting yang mendadak harus ia tinggalkan semalam.

"Antar aku ke station terdekat saja, kak" Ucap Aurora yang mencondongkan tubuhnya kedepan melirik kedua orang itu.

"Kau lapar? Aurora kau lapar?" Tanya Kendra, ia bergantian menatap kedua kakak beradik itu menunggu jawaban.

"Tidak" jawab mereka serentak.

Kendra mendesah, kembali menyandarkan dirinya dan mengerucutkan bibirnya, kecewa.

"Bagaimana jika kita yang pergi ke Brooklyn?" Goda Aaron sembari melirik wanita yang sedang cemberut itu.

Kendra mengangguk-angguk dengan cepat.

Aaron terkekeh. Memasuki kota New York, ia hanya perlu lurus, melewati Verrazano bridge. Dan menghabiskan satu sampai dua jam lagi untuk sampai ke tujuan.

TBC
❣️Please Vomment❣️

✅ A Missing PartWhere stories live. Discover now