Clairine mengangkat tangan kirinya yang membentuk tanda OK dengan ibu jari dan telunjuknya. Grego tersenyum puas dengan jawaban Clairine. Lelaki itu mengangkat tangan Clairine dan mengecupnya lembut.
"Do you love me?" bisiknya pelan.
"Hah? Aduh aku gak ngerti bahasa inggris, maaf ya,"
Grego tertawa lepas mendengar jawaban Clairine. Ia tahu, Clairine jelas-jelas mengerti ucapannya, tapi ia hanya malu menjawab pertanyaan itu. Mungkin Grego akan lebih percaya kalau gadis itu bilang ia tidak mendengar pertanyaan Grego barusan.
Grego membawa Clairine ke dalam dekapannya. Hal itu sukses membuat hati Clairine berdesir dan tubuhnya terasa kaku. Untuk sesaat, Clairine merasa dunianya berhenti dan tak ada lagi suara yang bisa ia dengar selain detak jantung milik Grego, yang rasanya berdetak sama cepatnya dengan jantung Clairine.
"Gue sayang sama lo. Lo sayang sama gue?"
Clairine tak dapat menyangkal rasa bahagianya. Gadis itu menyembunyikan senyum lebarnya di dada Grego dan membalas pelukan hangat laki-laki itu.
"I do. I really do,"
Clairine tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Ia tak tahu status seperti apa yang ia dan Grego sandang. Ia hanya tahu Grego mencintainya dan ia mencintai Grego. Sebatas itu saja, namun itu terasa lebih dari cukup.
[:]
"Plis, plis, plis angkat," gumam gadis itu dengan ponsel di telinga kanannya. Ia berjalan mondar-mandir di kamarnya dengan gelisah. Gadis itu hanya bisa mendesah pasrah ketika lagi-lagi hanya suara operator yang terdengar di seberang sana.
Tak mau menyerah dan mengulangi kesalahan yang sama, gadis itu mencari nomor lain di deretan kontak ponselnya, berharap seseorang itu mau mengangkat panggilannya. Lagi-lagi ia bergumam ketika nada sambung mulai terdengar.
Hatinya serasa mencelos ketika mendengar suara dari sambungan telepon itu.
"Halo,"
"Halo, Galen?"
"Hm. Kenapa?"
"Plis, kasih tahu gue di mana Kenzie!" ujar gadis itu nyaris menjerit frustasi.
"Ngapain lo masih nyariin dia? Belom puas udah nyakitin dia? Ke mana aja lo selama ini? Mana usaha lo? Lo pikir dia yang akan terus-terusan datengin lo? Semua orang juga punya batas kesabaran kali," gadis itu bisa mendengar bahwa lelaki di seberang sana tengah menahan emosinya.
"Gue tahu gue salah, Len. Gue perlu ketemu dia. Gue mau minta maaf. Gue udah coba dari dulu, tapi dia gak pernah mau dengerin gue,"
"Lo mencoba, tapi udah sangat terlambat. Lo tahu kan penyesalan emang selalu datang belakangan?"
"Galen! Plis! Gue cuma mau memperbaiki semua-"
"LO GAK BISA MEMPERBAIKI SEMUA INI DENGAN MUDAH!" gadis itu tersentak dengan bentakan Galen dari sambungan telepon. Ia bahkan secara refleks menjauhkan ponselnya dari telinga karena kerasnya suara Galen.
"Lo pikir dengan kata maaf lo bisa balikin semuanya? Lo tahu gak berapa waktu yang dia buang sia-sia gara-gara lo? Lo tahu gak berapa banyak waktu yang dia butuhan supaya akhirnya bisa bangkit dari keterpurukannya? Lo gak tahu! Lebih baik lo gak usah ketemu dia lagi,"
"Tapi gue pengen ketemu Kenzie, Len. Gue harus minta maaf. Gue harus tahu dia ada di mana sekarang," kata gadis itu frustasi. Ia bahkan sudah terduduk di lantai kamarnya dan berusaha menahan tangisnya.
"Lo bisa tanya Al,"
"Al ganti nomernya, Len. Kenzie gak pernah angkat telpon gue. Lo akhirnya angkat telpon gue setelah bertahun-tahun. Gue datengin rumah mereka, tapi rumah itu udah kosong. Gue tanya temen-temen SMA, semua bilang gak tau. Gue harus ke mana lagi nyari Kenzie, Len?" jeritnya histeris. Gadis itu seolah berusaha membagi rasa frustasinya kepada Galen yang berada di ujung sambungan telepon.
"Sorry, itu urusan lo, bukan urusan gue,"
Galen memutuskan sambungan telepon itu tanpa menunggu balasan apapun.
Gadis itu hanya bisa meringkuk dan menangis lagi, sama seperti malam-malam sebelumnya yang selalu diwarnai dengan penyesalan. Seharusnya ia minta maaf dari dulu. Seharusnya ia tidak diam dan menunggu Kenzie datang padanya seperti biasa. Seharusnya ia sadar, sejak awal dialah yang salah.
Gadis itu mengerang dalam tangisnya. Ia memukul-mukul dadanya yang terasa begitu nyeri. Selalu seperti ini. Menangisi orang yang sama, untuk penyesalan sama, dengan cinta yang masih sama.
Andai saja waktu bisa diputar kembali.
[:]
Author's Note:
Itu kalimat terakhir berasal dari lubuk hati gue terdalam tuh. Capek bangeeett sumpaaahhh. I really need a break from life :( kenapa hidup ini tidak manusiawi sekali :( gue mau ngetik chapter baru gak sempet HUHUHU terlalu lelah bahkan untuk hanya sekedar berimajinasi.
Bhay diriku ingin tidur. Belom tidur. Butuh tidur. Mumpung bisa tidur. Sebelum besok-besok gabisa tidur lagi.
(Hope to) See you next week!
YOU ARE READING
Èvader
FanfictionEscape, evade; Karena setiap orang selalu berusaha untuk mencari jalan keluar menuju kebebasan dan dari kebebasan
I Do, I Really Do
Start from the beginning
