Sekotak Susu Coklat

2K 205 12
                                        

Clairine melangkah menuju salah satu lemari pendingin di koperasi kampusnya, berniat meraih sekotak susu cokelat kesukaannya yang hanya tersisa satu buah. Ia meraih kotak susu terakhir itu bersamaan dengan sebuah tangan lainnya yang ikut menyentuh kotak susu yang menjadi incarannya. Refleks, Clairine segera menarik kembali tangannya.

Gadis itu menoleh ke 'rival' kotak susunya dan tersenyum tipis, sebelum berkata, "Buat lo aja,"

Laki-laki yang ada di hadapannya tak menunjukkan reaksi apapun selain mengambil kotak susu itu dan meninggalkan Clairine begitu saja. Tanpa ada rasa sungkan atau sedikit ucapan terima kasih.

Sejujurnya, Clairine tak habis pikir. Di mana-mana biasanya laki-laki yang mengalah, tapi barusan tadi itu diluar ekspektasinya. Seringkali yang terjadi kedua orang akan merasa saling sungkan baru salah satu akan bermurah hati memberikan barang yang 'diperebutkan', tapi yang tadi itu benar-benar singkat, seolah laki-laki itu memang tak ada niatan untuk mengalah.

"Gak jadi beli susu lo?" Jennie yang menunggu Clairine di depan koperasi bingung karena sahabatnya itu keluar dengan tangan kosong.

"Abis,"

"Lah, tadi gue liat ada tuh yang keluar bawa-bawa susu langganan lo,"

"Iya, tinggal satu itu doang. Yaudahlah masih ada besok,"

"Ceileh tumben. Biasanya bete kalo sehari aja gak minum susu," ledek Lalita yang akrab dipanggil Lala.

"Yee emang elo! Udah, yuk! Bentar lagi kelas udah mau mulai," Clairine menarik lengan kedua sahabatnya untuk melangkah ke kelas mata kuliah mereka berikutnya.

"Masih 20 menit lagi, Rin, santai aja kali," sungut Lala. Mata kuliah mereka habis ini statistik dasar. Lala paling malas kalau berhubungan dengan angka. Gadis itu memilih masuk jurusan psikologi karena mengira tidak akan berurusan dengan angka, tapi sepertinya Lala kurang mencari tahu. Ternyata di psikologi pun ada hitungan. Gadis itu hanya bisa pasrah setiap berada di kelas statistik, seolah-olah otaknya menolak segala materi yang diberikan.

Berbeda dengan Lala, Jennie justru sangat menyukai kelas statistik. Menurutnya, hitung-hitungan itu mudah, asal tahu konsep dan rumusnya. Sampai sekarang, Lala tidak habis pikir dengan ucapan Jennie. Pasalnya, Lala sama sekali bingung dalam memahami konsep dan soal, menghafal rumus, bahkan menganalisa. Pokoknya, menurut Lala, statistik itu ribet!

Ketiganya sampai di kelas tujuan dan mengambil posisi duduk agak depan, tentunya atas paksaan Jennie. Lala mau tidak mau hanya menurut pada kedua sahabatnya itu yang memang paling anti duduk di deretan belakang kelas kuliah. Alasannya bikin ngantuk, gak kelihatan, gak kedengeran dosen ngomong apa, apalagi kalau dosennya sudah berumur dan suaranya kecil ditambah gak pake mic.

Clairine duduk di antara Lala dan Jennie, kemudian segera mengeluarkan binder dan alat tulisnya.

"Astaga aduh, ini masih jam berapa dan lo udah ngeluarin perlengkapan perang. Kayaknya gue salah ya bergaul sama lo berdua," Jennie dan Clairine hanya terkekeh pelan mendengar celotehan Lala. Bagi keduanya, sudah tak asing lagi Lala berkata seperti itu, tapi ujng-ujungnya mereka berdualah orang pertama yang dicari Lala dalam keadaan apapun.

"Harusnya lo bersyukur. Siapa tahu jadi rajinan sedikit," sahut Clairine, tak mau kalah.

"Gatau ah, mau tidur aja,"

[:]

Clairine baru saja memasuki sekretariat UKMnya ketika Davina - koorbid SDMnya - menatapnya dengan mata berbinar-binar. Clairine hanya memandang kakak tingkatnya itu dengan wajah bingung.

"Rin, please jangan tolak gue. Lo jadi PM acara team building senat kedokteran ya?"

"Kapan, Kak, acaranya?"

ÈvaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang