Sepuluh

39 10 4
                                    

"Aku tidak pernah tahu dunia bisa jadi segila ini."

Gumaman Hye-Young cukup pelan untuk dapat didengar oleh beberapa orang yang berlalu-lalang di depannya. Beberapa meter dari pintu HoHo Myoll, kaki gadis itu seolah tidak bisa lagi menopang beban tubuhnya, mengakibatkannya jatuh memeluk kedua lututnya erat. Selama berada di Milan, Hye-Young tidak pernah sekali pun membayangkan bertemu kembali dengan Seong-Joo. Sungguh, ketika dirinya kembali ke Seoul pun, dia tidak pernah berpikir bisa menemui laki-laki itu. Terlebih dalam keadaan seperti itu.

Jika saja malam itu tidak terjadi, mungkin Hye-Young tidak perlu sibuk bermain petak umpat dengan Seong-Joo seperti sore itu.

*

Malam itu, beberapa hari sebelum malam kelulusan. Seperti biasa, Seong-Joo datang mengajak Hye-Young bermain ke rumahnya. Malam itu, bulan sedang bulat-bulatnya, bintang pun terlihat lebih banyak dari biasanya. Maka Seong-Joo tidak akan melewatkan langit secantik itu untuk tidak disaksikan. Tempat kesukaan Seong-Joo dan Hye-Young adalah bukit kecil yang ada di belakang rumah mereka. Lebih cocok jika disebut gundukan tanah ketimbang bukit, tetapi Seong-Joo bersikeras menamainya bukit.

"Setelah ini, kau mau ke mana?"

Seong-Joo berbisik sambil menatap ke langit dengan kepala beralaskan kedua telapak tangannya yang saling tindih. Hye-Young melirik sekilas ke arah lelaki itu, memastikan bahwa sahabatnya masih waras ketika melanturkan pertanyaan semacam itu padanya.

"Aku ingin sekolah desain," ujar Hye-Young pelan. Cita-citanya sejak dulu tidak pernah berubah. Hye-Young tidak pernah sekalipun berniat melakukan hal lainnya selain mendesain pakaian. Meskipun ayahnya berkali-kali menyuruhnya mengurungkan niat, Hye-Young tidak menyerah mempertahankan cita-citanya.

"Jadi kau akan sekolah mode di Seoul?"

"Aku tidak tahu."

Keduanya terhanyut pada suara jangkrik dan angin malam yang semilir berhembus di sela-sela telinga. Selain suara-suara alam tersebut, tidak ada sepatah kata pun dari bibir keduanya, seolah semuanya kaku dan tidak mampu barang membisikkan sesuatu.

"Seong-Joo-ya..."

"Eo?"

"Apa kau sudah mengajak seseorang sebagai pasangan dansamu?"

"Maksudmu?"

"Pasangan dansa. Pesta kelulusan. Apa kau berniat pergi sendiri, Seong-Joo-ya?"

Seong-Joo bangkit dari tempat duduknya. Melihat tangannya sambil menatap mata Hye-Young lekat. Saat itu, Hye-Young yang berada di samping Seong-Joo ikut bangkit dan balas menatap Seong-Joo lekat.

"Bisakah kau pergi denganku saja?"

"Hye...Hye-Young-a."

"Aku serius. Bisakah kau pergi denganku saja?"

Jeda beberapa saat digunakan Hye-Young untuk mengamati keindahan mata Seong-Joo yang berwarna kecokelatan. Ketika menyadari Hye-Young memerhatikan dirinya sejak tadi, Seong-Joo malah cepat-cepat melempar pandangannya ke arah lain.

"S-sebaiknya kita masuk, anginnya semakin tidak enak saja," ujar Seong-Joo seraya bangkit dari tempat duduknya. Dengan cepat, Hye-Young mencekal pergelangan tangan Seong-Joo.

"A-aku... Sebenarnya aku..."

Hye-Young menghela napas panjang, berpikir apa dia harus melanjutkan kalimatnya atau malah mengurungkan saja kalimat itu tanpa perlu diketahui oleh Seong-Joo.

"Kau teman yang paling hebat dan aku... Aku menyukaimu."

*

Hye-Young bangkit dari posisinya, berjalan pelan menyusuri trotoar. Lima belas menit sudah dia keluar dari kafe tempatnya bertemu dengan Seong-Joo. Putaran-putaran kejadian melintas di benaknya. Tentang Seong-Joo dan masih pada malam di mana Hye-Young melakukan kesalahan terbesarnya.

Jika hari itu dia tidak mengatakan hal bodoh pada Seong-Joo, laki-laki itu mungkin tidak menjauhinya. Seong-Joo mungkin tidak akan meninggalkannya sepulang sekolah, berhenti bermain dengannya dan mengatakan pada dirinya bahwa ia akan berkencan dengan Gong Min-Hee.

Sejak awal Gong Min-Hee bukan sainganku. Bagaimana bisa aku berharap menang dari gadis paling cantik di Suwon itu, pikir Hye-Young sambil menyeret langkahnya menjauh.

"Kita tidak seharusnya bertemu kembali," ujar Hye-Young lirih, diakhiri dengan helaan napas panjang.

"Hye-Young-ssi!

Dengan satu teriakan saja, Hye-Young sudah bisa membalikkan tubuhnya. Laki-laki itu berlari dengan senyum di wajahnya. Senyum yang sayangnya sama sekali tidak membuat Hye-Young senang melihatnya.

Jika aku masih terlihat seperti Hye-Young yang dulu, apakah kau akan melihatku seperti ini?

"Ada yang harus kubicarakan."

"Kurasa tidak ada lagi yang harus kita bicarakan," sahut Hye-Young ketus.

Seong-Joo menggeleng sambil bersusah payah mengatur napasnya. "Apa kau keberatan jika kita bertukar nomor ponsel. Maksudku...bagaimana jika aku ingin bertemu denganmu lagi?"

"Tidak perlu menemuiku lagi."

"Tapi aku ingin menemuimu. Bagaimana?"

"Kalau begitu aku tidak akan menemuimu."

"Kalau begitu aku yang akan selalu menemuimu dan umm, aku masih menyimpan nomor telepon rumahmu. Tidak masalah jika kau tidak ingin memberiku nomor ponselmu."

"Kau!"

"Percayalah, aku tidak main-main dengan ini, Hye-Young-ssi. Lagipula, apa kau tidak berpikir untuk mencoba lebih dekat dengan seseorang? Mungkin Seoul akan jadi lebih menyenangkan dengan itu. Kau ingin mencoba?"

"Tidak terima kasih. Hidupku sudah sangat baik tanpa kencan-kencan konyol semacam ini, Seong-Joo-ssi."

Hye-Young melangkah lagi, meninggalkan Seong-Joo yang tengah mematung seorang diri di belakangnya. Laki-laki itu tidak tahu bagaimana hidup Hye-Young lebih baik ketika dia tidak memikirkan Seong-Joo. Dan bagaimana seluruh dunianya porak-poranda karena keberadaan Seong-Joo lagi.

"Hye-Young-ssi! Hubungi aku jika kau berubah pikiran!"

Dan Hye-Young sama sekali tidak ingin mengubah pikirannya.

***

Catatan Penulis: Part ini kok semakin pendek ya. :( Kamu ada masalah nggak sama part pendek semacam ini? Hehehe. Anyway, yuk baca cerita dari seri yang lain. Aku udah baca juga lho. Seru-seru! Intip di HandiNamire99 AsmiraFhea lianurida piadevina yaa :)

Cheers,
Dhamala Shobita

PHONE'S REMINISCENCE (Memento Series #3)Where stories live. Discover now