Lima

73 15 6
                                    

Bangun dengan kepala berputar bukan pilihan yang diharapkan Seong-Joo. Laki-laki itu kesulitan menyeimbangkan tubuhnya ketika bangkit dari tempat tidur. Belum lagi, kepalanya terasa seperti ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum, membuatnya berniat melepaskan dulu kepalanya sementara waktu jika bisa. Seong-Joo bahkan perlu berpegangan pada pinggiran lemarinya ketika hendak membuka pintu kamar. Membayangkan kondisinya yang seperti itu, Seong-Joo malah bertanya-tanya tentang berapa banyak alkohol yang diminumnya semalaman.

"Alkohol sialan!" rutuknya sambil melayangkan tinju pelan ke arah lemari. Tinju yang terhitung sangat pelan untuk seorang laki-laki. Jika saja teman-teman di klub sepakbolanya tahu dia meninju sepelan itu, entah apa yang akan mereka katakan pada Seong-Joo.

Ketika berjalan pelan menuju dapur untuk memuaskan dahaganya, dengingan yang memekakkan malah terdengar di telinganya. Kening Seong-Joo berkerut, kepalanya beredar ke sembarang arah, mencari-cari asal suara yang merusak paginya itu.

"Telepon sialan!" Seong-Joo melemparkan gelas plastiknya ke wastafel kemudian berjalan ke arah sofa. Gagang teleponnya tergeletak di atas meja, mengeluarkan dengingan yang sudah dipastikan dapat merusak perasaan siapa pun di pagi hari secerah itu. sederet nomor terpampang di bagian display teleponnya. "Tidak dikenal," gumam Seong-Joo lirih.

Apa yang kulakukan semalam, pikir Seong-Joo. Dalam keadaan mabuk seperti itu, semua orang dapat melakukan hal apa saja, termasuk yang paling gila sekalipun. Dan kenyataan itu kini mengusik Seong-Joo.

Alih-alih berusaha mengingat dan membuat kepalanya semakin sakit, Seong-Joo menekan tombol redial, membiarkan nada sambung terdengar di telinganya sebelum digantikan dengan suara seorang gadis yang sama sekali tidak familiar untuknya.

"Yeoboseyo," sapa gadis itu lembut. Suaranya lebih lembut dari Min-Hee. Seong-Joo belum pernah mendengar suara itu sebelumnya, jadi dia memastikan bahwa gadis yang diteleponnya semalam bukanlah gadis yang dikenalnya. Mungkin gadis itu adalah pegawai bar yang dia mintai nomor ponselnya semalam-Seong-Joo sering melakukannya ketika mabuk. Entah ada berapa nomor telepon yang pernah dimintanya selama ini. Atau mungkin dia menelepon salah satu guru yoga baru di akademi tempatnya mengajar. Tetapi Seong-Joo tetap tidak bisa meyakinkan dirinya sendiri tentang siapa yang diteleponnya malam itu.

"Yeoboseyo."

"Apa aku mengenalmu?" tanya gadis itu setelah Seong-Joo tidak kunjung membalas sapaannya.

"Harusnya aku yang bertanya begitu padamu. Apa kau mengenalku?" Seong-Joo yang merasa lucu dengan situasi tersebut sontak tertawa kecil mendengar kalimat gadis itu.

"Kau yang meneleponku, mengapa aku yang harus mengatakan siapa aku? Apa sekarang etika menelepon sudah berubah?"

"Seingatku, tidak ada kode etik mengenai itu."

"Aku tidak peduli! Jika kau tidak ada perlu penting denganku, biarkan aku tutup teleponnya."

"Aku Seong-Joo!" Seong-Joo berseru kemudian menepuk dahinya pelan, merutuki kebodohannya yang dengan lantangnya menyebutkan nama begitu saja kepada orang asing. Jeda hening lama terjadi di antara keduanya. Seong-Joo yang biasanya begitu luwes berbicara dengan orang asing sekalipun, kini ikut terdiam dan seakan keheningan lawan bicaranya dapat menular.

"Jadi..." Seong-Joo angkat bicara. Menutup mulut berlama-lama itu tidak ada di kamus Seong-Joo. Jadi, dia memiliki tidak ingin terjebak dalam keadaan seperti itu.

"Jadi, karena aku sudah menyebutkan namaku, bagaimana jika kau menyebutkan namamu sehingga kita bisa saling mengenal dan tidak mencurigai satu sama lain, Nona. Sebagai informasi, aku bukan seorang agen pemasaran atau penipu ulung. Kau salah besar jika menganggap aku salah satunya."

PHONE'S REMINISCENCE (Memento Series #3)Where stories live. Discover now