Matahari hampir terbit ketika aku mengemasi barangku dan membawa ranselku keluar dari rumah di Ubud. Pak Adi aku bangunkan pagi – pagi untuk mengantarkanku ke Bandara untuk mengejar penerbangan pagi hari ke Jakarta. Telepon terakhir yang aku terima membuatku yakin kalau hal terbaik yang bisa aku lakukan untuk diriku saat ini adalah kembali ke Jakarta dan berhenti untuk berharap apapun. Kenyataan sudah banyak berbicara.

Keylila.
Aku memasukkan lagi handphoneku ke dalam tas setelah selesai menelepon Nathan. Baru saja aku memberitahukan padanya bahwa Anna bersedia untuk membujuk Harrys agar ia mau melakukan operasi aneurisma-nya. Tentu saja kabar ini adalah kabar yang membahagiakan sekaligus menyakitkan bagiku. Namun, demi Harrys menjalani operasi, aku akan melakukan apapun bahkan merelakan hatiku tersakiti setiap harinya.

Setiap hari melihat Harrys hidup tanpa ada lagi senyum kebahagiaan dan hanya pekerjaan nya yang selalu ia jadikan pelarian dari rumah. Jarang sekali ia berada di rumah, kecuali untuk tidur. Itu pun paling sering juga seminggu sekali. Ia lebih memilih tidur di hotel manapun dengan alasan lebih dekat perjalanan menuju Bandara. Sejak pindah ke rumah baru, Harrys malah semakin menjadi - jadi karena tidak ada lagi kontrol dari keluarganya. Yang paling menyakitkan adalah ia selalu tidur di kamar lain ketika berada di rumah dan beralasan ia ketiduran. Ia tentu tahu aku tidak semudah itu dibodohi, namun entah kenapa ia terus – terusan seperti itu. Mungkin saja ia berharap aku akan meminta cerai padanya, sehingga ia tidak akan menjadi pihak yang bersalah dengan kegagalan pernikahan kami berdua di mata keluarga besarnya. Tetapi aku juga tahu Harrys tentu tahu persis aku tidak akan melakukan itu. Apapun itu, aku tidak akan pernah menceraikannya karena aku sudah bersumpah untuk itu.

Pikiranku yang sedang melayang – layang tertarik kembali oleh kedatangan Anna. Ia duduk di sebelahku setelah semalaman berada di samping ranjang Harrys dan menemaninya. Matanya tampak lelah. Sebenarnya, aku sangat kasihan melihatnya. Ia hanya tidak tahu apa yang akan menimpanya setelah ini. Ia tidak tahu kalau Nathan sudah mengetahui semuanya dan sekarang sedang memilih untuk kembali ke Jakarta. Maafkan aku Anna, aku memang egois karena mementingkan Harrys dibandingkan hubungan kalian. Aku hanya bisa membatin saja dan pura – pura tersenyum pada Anna.

"Harrys baru saja siuman. Kamu bisa menemuinya Key." Ucap Anna pelan yang aku jawab dengan senyuman lebar.
"Thanks Ann." Aku setengah berlari menuju kamar Harrys di seberang.

Anna.
Aku mengusap wajahku dengan air kran. Wajahku sudah sangat kusut saat aku melihat wajahku dari bayangan di kaca. Sudah seharian juga aku tidak mandi. Beberapa saat yang lalu, aku memutuskan untuk kembali ke hotel dengan taksi. Aku pikir lebih baik aku kembali ke hotel dulu dan ke rumah sakit lagi setelah badanku terasa segar. Setelah berendam di dalam bathub selama 30 menit aku membaringkan tubuhku di tempat tidur dan memeriksa handphone. Sejak semalam, aku baru bisa membuka handphoneku. Beberapa pesan masuk dan aku membacanya satu persatu, hingga tanganku berhenti men-scroll saat melihat nama Nathan.

"Aku kembali ke Jakarta. Baik – baik di Bali Ann. Temui aku jika kamu sudah yakin dengan keputusanmu."

Segala prasangka langsung menggelayuti pikiranku seketika. Tidak sekalipun aku mengatakan pada Nathan tentang apa yang terjadi semalam, namun perasaanku mengatakan ia telah mengetahui semuanya. Dan ia memutuskan untuk melepaskanku dengan pilihanku. Aku memejamkan mata namun tidak untuk tidur. Otakku terus bekerja dan berpikir tentang bagaimana harus meyakinkan Nathan dengan pilihanku. Apakah ia masih mau mendengarku bahwa apapun yang aku lakukan dengan Harrys, tidak sekalipun aku berpikir untuk kembali padanya? Entahlah. Aku beranjak dari tempat tidur dan mengganti baju. Hari ini ada meeting terakhir yang harus aku datangi dan selesaikan sebelum kembali ke Jakarta.

Petrichor [END]Where stories live. Discover now