LaQueen - 29

2.2K 222 17
                                    

Ruang ini masih sama, seperti yang terakhir kali dilihat oleh Queen. Dengan gelap yang mendominasi tapi justru menciptakan rasa betah untuk terus di sini. Dalam belainya sepi, netra Queen terpaku pada lukisan Alanis yang terpajang manis di ruang empat dimensi ini. Lukisan yang sama dengan lukisan yang ada dalam galeri seni Leonard di kampus. Queen yakin, Zurri yang telah memindahkannya. Tapi Queen memang lebih suka lukisan itu ada di sini, di ruang yang semestinya--di kamar Alanis.

Jemari Queen menelusuri tiap sapuan warna yang pernah ditorehkan oleh seorang Leonard dengan penuh cinta. Lewat lukisannya, Queen merasa bahwa jiwa Alanis dan Leonard masih hidup. Menyapanya dalam suara yang tak bisa ditangkap oleh indera pendengaran, tapi hanya bisa ditangkap oleh sanubari. Queen tersenyum, terus membelai wajah sang ibu. Jiwa-jiwa dalam lukisan itu meneriakkan kebahagiaan dan cinta. Ah, seandainya ia bisa merasakan kebahagiaan yang sama. 

"Mommy beruntung sekali bisa dicintai begitu dalam oleh Daddy," desaunya selirih semilir angin pagi ini.

Senyum masih setia menghiasi bibir mungil gadis itu. Ia menghapus sedikit kristal yang menguar di sudut matanya. Luka memang tak bisa mendustai diri, nyatanya dalam ruang ini ia tak lagi mampu membendung duka yang telah lama tertahan. Begitu menapakkan langkah untuk pertama kali di sini--rumah Leonard--tempat diselenggarakannya pernikahan Laquisha dan Seazurri--Queen sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tak menangis. Tetapi ia tidak sanggup, sehingga ia pergi ke kamar Alanis. Ingin menumpahkan dukanya pada tubuh yang telah bahagia di ruang abadi.

"Mommy... Daddy... ternyata rasanya patah hati itu menyakitkan." Queen masih berusaha untuk menahan isakannya. Meskipun luka sedikit demi sedikit sedang menancapkan pisau tajam pada dirinya.

"Queen."

Seketika tubuh Queen menegang saat suara itu menyapa ruang pendengarannya. Queen segera menghapus air matanya tanpa sisa dan menoleh ke belakang. Di sana, di ambang pintu, telah berdiri seorang Seazurri Barnaby yang telah mengenakan tuksedo hitamnya. Queen mencoba melemparkan senyum, menyembunyikan kesakitannya.

"Selamat atas hari bahagiamu, Zurri."

"Aku bahkan belum menikah." Zurri mengingatkan. Ia berjalan mendekati Queen. Tetapi gadis itu justru melangkah mundur, menjauh. "Queen, mengapa menghindariku? Aku sungguh merindukanmu." Safir Zurri kini bersinar redup, mengikis habis sorot tajam yang selalu menjadi ciri khasnya. Jakun lelaki itu bahkan terlihat naik turun sesekali, menandakan bahwa ia sedang menelan salivanya. Apakah mungkin ia juga merasakan sakit seperti yang dirasakan oleh Queen?

"Zurri--" Kalimat Queen menggantung di ujung lidah, ia bahkan tak lagi mampu beraksara.

"Aku sungguh merindukanmu," bisik Zurri dengan suara yang parau. Bahkan Queen dapat menangkap kristal bening di sudut safir lelaki itu.

"Kamu tidak pantas mengatakan itu di hari pernikahanmu pada perempuan yang bukan calon mempelai wanitamu," ucap Queen dengan nada dingin. Ia mulai jengah dengan sikap Zurri.

Ia takut kalah dengan perasaannya. Ia takut menjadi penghancur kehidupan adik kembarnya untuk kedua kali. Jalan satu-satunya adalah menghilang, pergi dari kehidupan Zurri dan Qui. Hingga ia bisa menata kembali perasaannya. Dan saat ia kembali, ia telah melupakan segala rasanya pada lelaki itu.

"Aku hanya ingin jujur dengan perasaanku."

Senyum kecut keluar dari bibir Queen. "Tahukah kamu dengan mengatakan itu sama saja dengan menyakitiku?" Queen melemparkan tatapan nanar.

"Daddy...." Suara seorang bocah lelaki kecil memecah dialog antara Queen dan Zurri.

Leonardo Barnaby datang dengan jas hitamnya yang tampak rapi. Queen menatap mata safir bocah itu. Tidak mungkin ia egois memperjuangkan cintanya dan merelakan kebahagiaan bocah yang juga sangat membutuhkan ayahnya. Leon kecil berjalan pelan, jemarinya menggapai jemari Zurri. Zurri berjongkok, dengan tangan menggenggam jemari mungil putranya.

LaQueenWhere stories live. Discover now