LaQueen - 5

6.7K 497 41
                                    


"Sea..."

Dan suara serak Qui hanya mampu tertelan bersama dengan ketakutannya. Ia yakin, hanya dirinya yang mampu mendengar kata pembuka itu. Sebuah nama yang mencoba ia lupakan sejak empat tahun yang lalu. Benteng kokoh tak kasat mata telah ia bangun. Untuk melindungi dari jurang pekat yang dulu menjatuhkannya. Ia berhasil keluar dari jeratnya, dan tak akan jatuh untuk kedua kalinya. Terperangkap dalam rayu mata safir yang tak henti menelanjanginya adalah siksa. Dan ia sebisa mungkin harus menghindari bahaya sejak sekarang.

Sementara Zurri telah terpenjara dalam geming yang ia ciptakan sendiri. Kedua safirnya menatap nanar biru yang terlihat penuh dengan takut dan gugup. Wajahnya menegang, rahang kokohnya tertarik ke belakang. Otot di sekitar lehernya mulai memperlihatkan likunya. Dalam satu tarikan napas, Zurri kembali memperlihatkan wajah datarnya. Ia kemudian berjalan pelan. Tanpa lagi menatap mata Qui dan melewatinya begitu saja dan keluar dari ruangan.

Queen terdiam, mencoba mencerna apa yang telah tercipta di ruangan ini. Aura kesakitan yang tiba-tiba menaungi dan memberikan pukulan kecil di dadanya. Semua keheningan ini terasa mengerikan. Sementara Qui terus menunduk, menyembunyikan cairan hangat yang akan meluber. Tangan Qui terangkat, mungkin untuk mengusap air matanya dan setelah itu dengan cepat ia kembali mendongakkan kepala dan menatap Queen dengan senyum di wajahnya.

"Aku merindukanmu, Queen!" pekik Qui sambil berjalan menuju ranjang Queen dan memeluk kakak kembarnya itu. Erat. Tanpa kata lagi, mereka menyalurkan cinta dan rindu yang tertahan kala perjumpaan itu terasa sulit. Qui tidak dapat menahan air matanya, ia kembali terisak di belakang Queen. Kesepuluh jemarinya mencengkeram erat kaos Queen.

"Apa yang terjadi padamu, Qui? Apakah kamu mengenal Zurri?"

Queen tahu tidak seharusnya ia bertanya hal itu kepada Qui di saat seperti ini. Saat di mana harusnya ia dan Qui menguarkan himpit rindu yang ingin menemui pelepasannya. Queen tidak tahu, berapa banyak bentang waktu yang mereka lewati tanpa salah satu di sisi. Qui memang memilih untuk hidup mandiri dan menetap di apartemen yang berbeda meskipun tetap berada di bawah langit kota Moskow.

Tetapi saat ini ada yang berbeda. Queen merasakan Qui begitu jauh untuk mampu ia gapai. Meski tubuh Qui berada dalam dekapannya. Gadis itu juga semakin kurus. Queen tidak tahu apakah seorang balerina harus memperhatikan berat badannya. Bagi Queen, kurus Qui tidak wajar. Seperti hanya tulang yang terbungkus oleh kulit. Queen semakin mengeratkan pelukannya dan mengelus punggung Qui pelan. Tidak berharap lagi mendapatkan jawaban. Karena ia tahu, Qui pasti telah mengenal Zurri sebelumnya dan sebentar lagi mungkin ia akan mendengarkan kebohongan dari bibir Qui.

"Ehmm... tidak Queen. Aku menangis karena aku terlalu khawatir dengan keadaanmu. Aku... takut." Qui melepaskan pelukannya dan tersenyum pedih sambil mengelus rambut pendek Queen. "Tapi aku lega karena melihatmu baik-baik saja."

"Dia hampir mati karena khawatir padamu." Lynee menimpali sambil terkekeh untuk mencairkan suasana.

Senyum samar keluar dari bibir Queen. Ia tahu, Qui pasti akan menyangkal. Tetapi ia tidak ingin menekan Qui lagi. Pandangan Queen kemudian tertuju pada perban yang membalut bekas suntikannya. Ia memejamkan mata, mencoba menahan pedih yang kembali bersarang di dalam hatinya. Sampai kapan ia akan menjadi lemah? Sampai kapan ia tergantung dengan suntikan ini? Sampai kapan ia akan menyusahkan orang-orang di sekitarnya?

Seandainya bisa, ia ingin melepaskan jerat ketergantungannya. Terhadap Kenny, Qui, atau siapa saja yang rela menjadi penopangnya. Jika sudah berada di posisi seperti ini, ia sungguh merasa seperti daging yang tidak berharga. Ia selalu berjanji dalam hati untuk tidak ceroboh, tetapi selalu saja ia melakukan kesalahan yang sama. Melihat raut khawatir dari Qui, tentu menyiksanya. Terlebih ketika tadi Zurri membawanya ke rumah sakit ini, Kenny begitu kalut.

LaQueenWhere stories live. Discover now