Platonisasi Empat Musim

1.4K 119 7
                                    

Tatkala suara-suara lantang itu mulai melaknat
Menghinaku yang tiada guna dan sesat
Di saat-saat seperti itu aku ingin mengenangmu
Kamu, penuntunku yang kerap buta pula gagu
Pun kamu, yang menyiram pucuk-pucuk layu di puncak kemarauku

Bolehkah aku mengenangmu lagi?
Seperti saat kita selesai menonton pameran, lalu menanjaki jalan setapak panjang menuju rumah kedua kita
Kala itu kamu menularkan binarmu kepadaku,
dan di sana aku sadar kamu memang musim semiku

Bolehkah aku simpan kerling netramu di malam itu?
Melalui spion, menyusuri jalanan Jakarta dalam gelapnya malam, pandangan kita bertemu dan menyepi dari segala hingar-bingar sekitar
Paginya, saat resahku menyeruak lagi, tetap saja kamu mau mendengar kesedihan dan kegelisahanku
Seakan tanpa lelah,
Seakan tanpa paksa,
Musim dinginku selalu tersapu oleh senyummu

Pada gugurku, masih aku memanggil-manggilmu dari rentetan sel abu dalam otakku
Memintamu ada di sini; sebentar saja, sejenak saja hingga hujan petal itu mereda
Menenangkan dan memberanikanku, sejurus saja, sekejap saja, karena aku tidak tahu berapa lama lagi waktuku
Mungkin malam ini, esok, lusa, minggu depan, atau sampai dipan kayu mengungkungku

Ingatkah ketika kita masih belia, ketika limit kita hanyalah langit?

Kini kita menua, mendewasa, dan yang menjemput di penghujung hari hanyalah punggung pegal yang butuh dipijat

Tapi, kita ini platonis, bukan?

Kita p
          l
           a
             t
              o
                n
                   i
                      s
                         selamanya

=====

Prosa daur ulang
Untuknya, dan untuk Remi
Juni 2017

Dipublikasikan di Bibliophilia tanggal 17 Juni 2017

Nella Fantasia (Kumpulan Puisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang